Anyelir

6.4K 704 25
                                    

Bunga yang memiliki filosofi yang bertentangan, di saat warna satu melambangkan kebahagiaan, warna lain melambangkan keraguan.Seperti halnya kehidupan yang tak lepas dari dua sisi hitam putih yang berdampingan.

Takdir kedepan hanya sebagai harapan, apa yang terjadi detik ini adalah kenyataan. Begitulah para abdi perasaan seharusnya paham. Tidak memperumit perasaan yang memang sudah tidak ada lagi harapan.

Tapi hati selalu punya alasan untuk duduk diam, memperpanjang luka kekecewaan sebagai bentuk pendewasaan. Tak mudah untuk melepaskan apa yang sudah terlanjur dikekang oleh hati.

Tetap jangan menjadikan takdir yang berpihak kepada cinta yang benar membuat kita menyimpan kecemburuan tak masuk akal.

Sepulang dari kelasnya. Hafsah mengejar langkah Bunga, mengajaknya untuk pulang bersama.

“Gak papa, aku biasa pulang sendiri.” Tolak Bunga.

“Katanya kita teman, menolak tawaran baik itu gak baik loh.”

“Ya udah deh.”

Dua perempuan itu beriringan keluar dari gedung, jam menunjukan jam dua sore. Langkah mereka santai menuju parkiran.

“Kalau suamimu kerja, kamu sendiri dirumah?”

“Iya, karena setelah pulang dari sini aku harus kembali belajar, melancarkan hapalan karena maghrib harus disetorkan. Kalau enggak gitu, disuruh berdiri sampai isya menjelang sambil menghapal.” Jelas Bunga sambil tersenyum.

“Wuahh, tegas sekali ya.”

“Bukankah harus begitu? karena itu untuk kebaikan. Manusia itu dekat dengan sifat lalai kalau gak digituin aku pasti malas. Mas Ayyaz tahu itu.”

Hafsah tersenyum getir, harapan masa depan yang pernah ia canangkan memang benar-benar menyenangkan. Ayyaz lelaki yang begitu mengayomi, berbudi luhur dan tegas jika masalah syari'at. Dan benar itu terealisasi dalam pernikahannya dengan perempuan yang sayangnya bukan dirinya.

Hafsah kembali menghela nafas.
Di mobil Hafsah tidak membuka pembicaraan, Bunga pun demikian. Dia terlalu canggung untuk membuka obrolan. Sampailah mobil Hafsah di depan rumahnya.

“Makasih sudah mau direpotkan, mampir dulu. Sebentar lagi ashar. Bisa ashar di sini. Mas Ayyaz pulang biasanya sebelum maghrib.” Tawar Bunga.

Hafsah tidak menolak, keingin tahuannya membawanya masuk lebih jauh ke dalam rumah itu. Rumah yang terasa damai. Benar saja, tidak berapa lama adzan ashar berkumandang bersamaan dengan deru mesin motor yang berhenti. Wajah tampan Ayyaz masuk dengan menjinjing kresek ditangannya.

“Assalamualaikum, Mas pulang.” Ujarnya mematung saat melihat Hafsah duduk dikursi ruang tamu mereka. Mata mereka saling pandang penuh keterkejutan.

Ayyaz tahu betul saat mata itu tak sengaja saling tatap. Ayyaz membuang pandangannya dan hanya menganggukan kepalanya tanda salam.

“Mas loh kok udah pulang?”
Tanya Bunga sambil membawa air putih ditangannya.

Ayyaz hanya tersenyum, mengusap kepala isterinya dan melabuhkan kecupan dikeningnya.

“Mas mau shalat berjama’ah di masjid ya.” Pamitnya kembali keluar dari rumahnya lewat pintu belakang.

Bunga tersenyum sambil menyimpan air minum di meja.

“Gak biasanya mas Ayyaz pulang jam segini, diminum dulu mbak. Shalat ashar ayo kita langsung ke mushola. Mas Ayyaz shalat berjama’ah di masjid.”

“Sepertinya aku pulang aja ya, nanti shalat di masjid aja.”

“Ouh ya sudah.”

Hafsah pamit dengan perasaan kembali mengerubungi hatinya, entah kenapa air mata kembali berlinang dimatanya.

BungaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang