Krisan

5.7K 624 8
                                    

Filosofi bunga krisan ini diambil dari bentuk bunganya yang indah, yang begitu banyak memiliki mahkota di tengahnya dan dengan beragam varian ukuran yang bersatu atau berpusat dari kelopaknya yang bsar jadi maknanya apapun perbedaan yang ada, jika  nyatanya hatinya telah terhubung dalam sebuah ikatan, maka selamanya akan tetap bersatu.

Suasana di pesantren pagi ini terasa mencekam bagi Bunga, dia kesal melihat keseluruhan keterkaitan ini. Kenapa dia tidak terlahir dekat dengan ruang lingkup suaminya. Dia selalu merasa tahu diri saat berucap atau pun bertingkah laku, takut salah, takut malu-maluin suaminya.

Mata coklatnya kesal melihat Hafsah yang cekatan, ramah, santun, lembut tutur katanya sedangkan dirinya tidak. Bunga kesal, kecemburuan terasa membakar hatinya.

Kenapa? Harus ada masa lalu itu, tapi diingat lagi dirinya pun memiliki masa lalu. Wajahnya ditekuk selagi menyapu halaman pesantren.

Satu usapan tangan menyentuh kepalanya. Bunga mendongak dan melihat suaminya sedang tersenyum kearahnya.

“Matahari tidak bersinar cerah hari ini.” Ujarnya.

Bunga menurunkan tangan suaminya, dia langsung berlalu begitu saja. Ayyaz tersenyum geli.

“Perempuan cemburu memang begitu Ustadz, sabar.” Timpal Fahim yang berdiri di sampingnya.

“Dari mana kamu tahu istriku cemburu?”

“Angin memberitahuku.” Jawabnya enteng dan berlalu setelah mengucap salam.

Ayyaz hanya menggeleng, mengikuti langkah istrinya. Mau sampai kapan istrinya itu merajuk seperti itu. Bunga tetap menyapu halaman, membersihkan agar bersih seperti semula dan anak-anaknya menghampirinya. Memberikan pesan dari suaminya.

Rani berbisik ke telinganya.

“Katanya kalau kakak cemburu bilang iya aja.”

Bunga menghela tidak menimpali suaminya dahulu. Dia meredakan sifat kekanak-kanakannya sejenak. Perasaannya terasa tak masuk akal memang. Apa perempuan yang mencintai selalu seperti ini? Merajuk.

Bunga tidak paham dengan perasaan baru ini. Dirasa sikapnya tidak ada faedah sama sekali Bunga pun menghampiri Ayyaz yang sedang mengawasi para santri beres-beres.

Bunga langsung menggenggam tangan suaminya.

“Maafin Bunga mas yang marah gak jelas, Bunga emang cemburu.hehe.”

Ayyaz hanya tersenyum, menggenggam tangan istrinya erat.

“Mas dulu memilih Hafsah karena ingin menjauh dari dirimu, pikir mas kamu bukan seseorang yang bisa sejalan dalam kehidupanku, sulit diarahkan. Aku mengingkarinya dengan berlari menerima proposal ta’aruf Hafsah.”

Ayyaz menerawang jauh. Bunga mendengarkan dengan saksama.

“Tapi keputusan aku saat itu membuatku sakit, Aku membuat Hafsah pun sakit mungkin saat itu. Entahlah Bunga, dulu dirimu serasa tabu untuk hidupku. Sekarang, jangan terbebani dengan Hafsah, berbesar hatilah padanya. Dia seorang wanita shalihah yang mas berikan harapan semu tapi tetap memberi senyum kelembutan pada kita.”

Bunga menatap suaminya. Ayyaz pun demikian.

“Jika urusan cemburu, cemburuku lebih besar padamu. Banyak ketakutanku, aku tak memiliki apa pun, selain rasa tanggung jawab untuk dunia dan akhiratmu. Aku tak memiliki kekuasaan, dunia tak dalam genggamanku sedangkan dalam hidupmu banyak lelaki yang menawarkan itu semua untukmu. Bahkan ayahmu pun bisa memberikan bumi dan seisinya kepadamu.”

“Mas, Bunga gak pernah mau semua itu. Bagaimana dunia ini sempat membuatku terjerumus ke dalamnya. Aku tak masalah jika itu kamu yang di sini bersamaku.”

BungaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang