Iris

5K 663 18
                                    

Bunga Iris merupakan bunga yang dilukis oleh pelukis Vincent Van Gogh yang diberi nama “Bunga-bunga Iris” dan merupakan satu dari sekian karyanya pada saat-saat terakhirnya.

Lukisan tersebut menjadi lukisan yang termahal saat dijual. Dalam bahasa Yunani berarti pelangi dan memiliki banyak arti diantaranya kesetiaan dan kepercayaan. Di mana sebuah ikatan tanpa kepercayaan yang benar tak akan sampai kepada muara keabadian.

Siang yang tidak begitu terik, tapi membuat pikiran Bunga cukup terik melihat Hafsah yang sedang memberi penjelasan di depan kelas. Kesimpulan dari obrolan perempuan ini dengan seseorang ditelpon yakni dia masih menyimpan perasaan terhadap Ayyaz yang tak lain suami dirinya.

Beres kelas saat jam akan menunjukan waktu ashar, Bunga tak banyak bicara hari ini. Pikirannya terasa terkuras habis.

“Hey, tumben tidak banyak bicara hari ini?” Tanya Hafsah ceria sekali.

Bunga menatap wajah yang pasti sekuat tenaga menyembunyikan lukanya itu.

“Boleh aku bertanya padamu?” Tanya Bunga.

Hafsah mengangguk menunggu.

“Perihal suamiku, dia bukankah pernah satu pesantren denganmu? Bagaimakah ia dahulu?” Tanya Bunga ingin tahu reaksi gadis ini.

Terlihat perubahan diraut wajahnya. Bunga siap mendengar jawaban gadis ini. Kini gadis di hadapannya menangis.

“Maaf, Maaf sekali untukmu Bunga. Aku tak pernah bermaksud menyimpan perasaan ini. Seberapa keras aku mencoba melupakan, tapi selalu seperti ini. Jangan terganggu. Maaf.” Lirihnya seolah perasaannya tumpah saat itu juga.

“Aku tak mengerti, kenapa dirinya begitu mengikat diri. Terus-terus aku beristigfar, tapi selalu menangis tak jelas seperti ini.” Terisak perempuan itu.

Bunga hanya diam, tangannya terulur menggenggam tangan Hafsah, dia perempuan yang baik sekali. Tak pernah keluar ucapan menyakiti. Sekarang pun dia begitu merasa bersalah di hadapannya.

“Aku akan coba bicarakan sama Mas Ayyaz tentang ini.”

“Jangan Bunga, aku tak menginginkan dia mengetahuinya.”

“lalu apa? Kamu mau terus-terusan sakit saat melihat kami? Aku pun tak mengerti kenapa dia memilihku dibanding dirimu. Aku tak mengetahui. Andai aku tahu, sudah aku tolak lamarannya tempo dulu.” Pekik Bunga, ada kesal dalam hatinya.

Tangis Hafsah semakin menjadi, dia tadinya hanya ingin berkeluh kesah. Cape rasanya terus berusaha baik-baik saja padahal itu tidak sama sekali. Dia pun takut menampilkan dua wajah kepada sahabatnya, Bunga.

“Kiraku perasaanmu lebih besar kepadanya dibanding aku.” Lirih Bunga sambil berlalu.

Hafsah pasrah ditempatnya, dia tidak mengejar langkah Bunga. Langkah Bunga terasa lunglai, dia pulang ke rumah pun enggan karena ada Mamanya dan pasti juga Subagjo. Air matanya jatuh sendiri tanpa diprediksi. Sesak sekali.

Telponnya berdering, panggilan video Call dari suaminya. Buru-buru dia menghapus air matanya. Tapi tetap saat mereka saling bertatapan Ayyaz menangkap jejak tangis diwajah isterinya.

“Kenapa?” Tanya Ayyaz, lembut sekali suaranya. Khawatir sekali wajahnya.

“Tidak apa-apa Mas, Bunga hanya mendadak melankolis saat melihat mendung.”

“Semoga itu benar. Kamu mau pulang sekarang?”

Bunga menggeleng. “Bunga menunggu Mas jemput kesini, nanti pulang ke rumah sama-sama.”

“Hampir maghrib mungkin mas jemput kamu, ini setelah ashar langsung mengajar private. Gak papa?”

“Gak papa, Bunga bisa diam diperpustakaan, baca-baca di sana.”

BungaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang