2.2

17.5K 173 3
                                    

"Suatu hari kau akan meledakkan dirimu sendiri di dalam mobilmu"

"Tidak beralasan, katakan saja kau tidak mampu membuatnya berlari lebih cepat"

"NOS yang kau inginkan terlalu besar. Kakimu berat, kau menginjak gas terlalu dalam. Jika sesuatunya 'tidak berjalan lancar', mobilmu hanya akan menjadi peti mati untukmu, dan aku tak ingin iu terjadi"

"Kalau begitu buat semuanya 'berjalan lancar'. Aku tidak ingin didahului oleh Tuan Toyota tidak tahu diri itu"

"Itu butuh lebih banyak modal dan butuh mekanik yang lebih mampu membangun mobil balap untukmu"

"Aku tidak butuh mobil balap. Aku butuh mobil harian yang mampu untuk membalap"

"Aku kenal seseorang"

"Sebaiknya kau cepat hubungi orang itu"

"Kau akan butuh uang lebih banyak untuk mobilmu"

"Kau akan mendapatkannya, buatlah perencanaan pembelian dan biaya, dan turunkan mobilku dari atas sana"

"Well, Stella tetaplah Stella". Dimas menurunkan mobil teman keras kepalanya itu dari dongkrak hidrolik.

"Awas kau nanti". Stella masuk ke mobil setelah mobilnya turun dari alat hidrolik.

"Latihlah kakimu agar tidak terlalu berat, aku tidak ingin melihat mobilmu meledak dengan kau ada di dalamnya. Itu bukan cara yang cantik untuk mati, terlebih untuk orang sepertimu"

"Lalu bagaimana mati yang cantik menurutmu?"

"Saat melakukan hal yang kau suka, misalnya"

"Balapan adalah hal yang kusuka"

"Thats fair enough"

"Bye sayang" Ara mengecup nakal bibir Dimas dan masuk ke dalam mobil.

Stella dan Ara pergi meninggalkan Dimas di bengkelnya. Stella tak merasa ada yang salah dengan mobilnya. Hanya memang menurut komputer -sesuai yang di jelaskan Dimas tadi, mobilnya tidak memiliki respon yang cukup ketika dia menginjak gas, hal ini membuat suatu hal yang dikatakan sebagai akselerasi yang lemah. Dimas berpendapat bahwa mobilnya tidak akan mampu melakukan start yang cukup baik untuk memimpin ketika 'balapan'. Namun Stella berkata bahwa Ia tidak butuh penghitungan terkomputerisasi untuk mengetahui respon mesinnya terhadap caranya mengemudi.

Stella dan Ara sudah memasuki jalan utama, Stella melajukan mobilnya perlahan. Ara yang duduk di sebelahnya asyik dengan telepon genggamnya.

"Aku tidak mengerti apa yang ada di kepala kekasihmu itu"

"Setidaknya pacarku itu tidak membawa mobil ini ke tempat pembuangan besi tua" Dimas adalah kekasih Ara sejak lama.

"Aku tahu, tapi setidaknya dia harus punya solusi untuk mobilku dan bukannya menyalahkan caraku mengemudi"

"Dia lebih mengerti mobil, Sayang, dan kamu hanya mengendarainya"

"Hmm" Stella membalas dengan menggumam malas. Ia tetap bersikukuh dengan pendapatnya bahwa tidak ada yang salah dengan caranya mengemudi; dan hal itu juga tidak berhubungan dengan mesinnya yang kurang mumpuni.

Stella masuk tol, berjalan pelan di sisi paling kiri dan sesekali mendahului truk yang berjalan pelan, tak berselang lama, sebuah mobil hatchback terdengar menderu dari belakang. Mobil itu melaju cepat, Stella melihat dari kaca spionnya. Mobil itu melintas di sisi kanannya dan menjauh.

"Fuck! Aku harusnya bisa mendahuluinya, atau setidaknya mensejajarinya" Stella mengumpat.

"Akui kekuranganmu, Sayang" Ara sedikit menyanggah.

Kabut di Bukit PinusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang