2.3

14K 135 3
                                    

Semalam aku merasakan kenyamanan tidur bersama temanku yang selalu ada untukku, yang dengannya aku membagi tawa dan sedih, optimisme dan pesismisme, kenyang dan lapar, sadar dan mabuk. Pagi ini aku terbangun, Ara masih tidur sambil memelukku seolah aku adalah kekasihnya, tapi seperti inilah akan kami habiskan bersama. Kami saling memuji bersamaan dengan saling menghina, kami saling membangun bersamaan kami saling menghancurkan, kami saling menjaga bersamaan kami saling meninggalkan.

Ara nantinya akan menjadi perempuan yang baik bagi suami dan anak-anaknya jika memamg itu kelak yang dia inginkan -memiliki keluarga. Tapi suatu hari, Ara pernah berkata bahwa dia tidak ingin memiliki ibu mertua yang menyebalkan dan selalu memberikan aturan. Kultur di timur kebanyakan membuat perempuan yang menikah seolah 'dijadikan pembantu' di keluarga suaminya. Padahal -menurut Ara ada sebuah ajaran kuno yang berkata bahwa seorang laki-laki akan pergi meninggalkan orang tuanya untuk bersatu dengan istrinya, meskipun Ara tidak mengerti makna 'bersatu' secara jelas, tapi menurutnya bahwa kehidupan pernikahan adalah tentang dirinya dan suami juga anak-anak kalau memang sudah di karuniai.

Anak-anak adalah karunia menurutnya, karena mereka tidak hadir hanya karena hubungan seks, anak-anak hadir melalui banyak proses, seks yang intens, sperma dan telur yang sehat, nutrisi si calon ibu selama kehamilan, proses persalinan yang baik dari para penyedia layanan kesehatan, penanganan bayi baru lahir yang baik, pemeriksaan kesehatan rutin, pemberian vaksin, ASI, dan banyak lagi hal rumit lain. Oleh sebab itu Ara berpikir bahwa memiliki anak berarti mendapatkan karunia.

Aku melepaskan pelukan Ara, Ia kini memeluk guling yang ada di ranjang itu. Aku turun dari tempat tidur, melihat jam, ternyata masih sangat pagi. Aku melangkah ke dapur, menuangkan jus jeruk dan memgambil selembar roti lalu mengoleskan mentega tipis-tipis dan memasukkannya ke alat pemanggang roti. Roti itu keluar dari pemanggang, aku mengambilnya dengan tisu dan membawa roti dan jus di tanganku ke kamar.

Di kamar, aku duduk di kursi kecil dekat jendela yang mengarah ke timur dengan pemandangan ke kolam renang di bawah lalu makan roti dan minum jus yang ku bawa. Setelahnya, aku kembali naik ke ranjang, kembali memeluk Ara yang masih nyenyak tidur. Aku masih merasa lelah, pagi ini sangat baik. Aku memutuskan untuk tidur kembali.

Aku mendengar seseorang memanggil namaku, dari balik kelopak mataku yang masih terpejam, aku samar melihat cahaya yang lembut dan seketika berubah menjadi sangat terang. Ara ada di jendela, membuka gordyn jendela itu dan membuat cahaya masuk ke dalam kamar.

"Apakah setiap hari aku harus membangunkanmu, Nona Muda?" Ara menggerutu sambil bertolak pinggang.

Aku menyipitkan mataku karena cahaya matahari tepat di mataku.

"Tapi ini hari minggu, aku mau tidur" aku melingkupi tubuhku dengan selimut.

"Kalau kamu sudah memiliki suami kelak, dia akan membangunkanmu dengan mengatakan bahwa banyak tugas yang harus diselesaikan hari ini"

"Aku sepertinya tidak keberatan" aku bicara dari dalam selimut.

"Kalau begitu, beberapa pria akan membangunkan istrinya dengan penisnya yang sudah menegang dan menjejalkannya ke mulutmu"

"Oh, sialan, aku lebih suka jus jeruk ketimbang penis suamiku nanti di pagi hari" kali ini aku membuka selimut sebatas kepalaku.

"Ah, itu tidak seburuk kelihatannya. Aku pernah memiliki klien yang membangunku pagi hari dengan ciuman gemas seolah aku adalah bayi"

"Itu hanya kalau kamu beruntung" aku terduduk.

"Keberuntungan hanya milik mereka yang putus asa dan tidak memiliki pengharapan. Kalau kamu memiliki pengharapan dan optimisme, keberuntungan tidak akan pernah kamu andalkan"

Kabut di Bukit PinusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang