1.1

47.7K 345 1
                                    

"Hai Stella, aku di sini" seseorang memanggilku sambil melambaikan tangannya.

Ternyata Ara, teman sekelasku yang sedari tadi kucari keberadaannya di kantin. Aku membalas lambaian tangannya dan mendatanginya dan sejurus kemudian aku duduk di sebelahnya.

"Kamu terlalu lama untuk seorang gadis" ejek Ara.

"Setidaknya aku tidak terlambat untuk datang ke kelas setiap harinya" belaku.

"Aku suka denganmu, kamu mampu membalas hal semacam tadi dengan membeberkan fakta kecil yang menyebalkan buatku." Ara sedikit merajuk dengan ledekan balasanku. Ara memang terkenal dengan sebutan Ratu Telat. Ia selalu terlambat datang ke kelas, padahal kelas selalu dimulai pukul 07.15, itu tidak terlalu pagi bagiku, tapi tentu saja, waktu setiap orang berbeda-beda, ada yang mengatakan hal itu terlalu siang, sebaliknya, ada juga yang mengatakan itu terlalu pagi.

"Kamu ada rencana apa sebentar sore?" Ara bertanya.

"Tidak ada, pulang, mengerjakan pekerjaan rumah, mengerjakan tugas sekolah jika memang ada dan tidur."

"Serius? Itu sangat,"

"Aku menikmatinya, aku baik-baik saja"

"Yakin? Aku yakin kamu butuh sedikit tantangan yang sudah lama tidak kita lakukan,"

"Stop, Ara," aku menyela pembicaraannya yang sudah dapat kutebak arahnya.

"Aku tidak akan berhenti nona Stella ku yang manis," Ara menyela kembali pembicaraanku

"Aku hanya ingin kita melakukan lagi apa yang dulu pernah kita lakukan bersama, juga beberapa uang itu" Ara menyunggingkan senyum dengan gigi putih rapi di baliknya yg sedikit terlihat malu-malu.

"Tidak setelah kejadian itu, Ara, tidak, kecuali,"

"Kecuali angkanya pantas." Ara menyelaku lagi.

Dia memang teman terbaikku yang tanpa aku katakanpun dia mampu menyelami isi hatiku. Tapi kejadian dengan pelangganku dulu sedikit banyak masih mempengaruhi pikiranku. "Pelanggan."? Benar, aku memiliki pelanggan, pria, rata-rata sudah berkeluarga, pengusaha kelas atas hingga karyawan biasa, golongan tua hingga golongan muda. Benar, aku seorang pekerja seks, setidaknya itu dulu, aku sudah tidak menerima pelanggan lagi sejak aku naik kelas tiga di SMA ku, aku memutuskan untuk fokus ke sekolah-ku.

Awal perubahan tersebut membuatku harus mengatur waktu dan uangku. Jelas saja, pelangganku mampu memberikan uang yang kuinginkan untuk kubelanjakan apapun yang aku ingin. Sedangkan Ara adalah teman sekelasku yang tidak sengaja ikut tercebur dalam pekerjaan yang bagi sebagian orang sangat tabu dan tidak pantas.

Entah apapun yang dipikirkan orang saat itu, aku hanya mengikuti naluriku, aku muda dan egois, jika hal semacam itu harus kulakukan dan akupun mampu melakukannya, akan kulakukan, lagipula itu hal yang mudah, aku hanya perlu bertemu dengan pria yang menyewa jasaku, menemaninya, melayaninya, kebanyakan nafsunya saja, hingga satu atau dua ronde kemudian ia akan tersungkur kelelahan, lalu dia akan memberikan nominal berapapun yang aku inginkan. Pekerjaan mudah, pelangganku senang, akupun senang. Ia mendapatkan kepuasaan seksual yang dicarinya dan aku mendapatkan uang yang kuinginkan dan kubutuhkan, ya, aku butuh uang untuk memenuhi keinginanku, itu dua hal yang jelas berbeda maksud dan tujuannya.

"Baiklah, kamu tetap Stella yang kukenal, persiapkan dirimu, kita carikan pendapatan tambahan buat kita berdua."

Ara bangkit dari tempat duduk, dan memesan makanan, aku menyusul di belakangnya. Kami makan bersama siang itu, masuk kelas dan mengikuti pelajaran hingga jam sekolah berakhir.

"Kita ke rumahku dulu, kamu bisa pakai bajuku." Ara memberi instruksi seperti biasa.

Kami berjalan ke mobilku. Ya, mobil, aku memiliki BMW 318i klasik tahun 1991 berwarna hitam yang di modifikasi khusus untukku, mobil ini aku dapatkan dari pekerjaan lendir yang aku jalani dulu dan masih aku rawat hingga saat ini tetap mampu berjalan di jalanan Jakarta yang padat.

Aku melaju perlahan di jalanan Jakarta sore hari yang mulai padat dan rumah Ara tak terlalu jauh dari sekolah, kami bersiap, dan melaju ke mall terdekat yang biasanya menyediakan stok pria yang ingin menyewa jasa kami.

Kami tiba di salah satu mall di Jakarta utara, aku dan Ara berpencar seperti biasa mencari pelanggan masing-masing. Beberapa waktu vakum membuat ku sedikit canggung hingga akhirnya ada seorang pria mungkin usianya di pertengahan tigapuluh mendekatiku yang tengah berjalan di promenade mall teesebut.

"Hai," sapanya sambil tersenyum, kemudian melanjutkan sambil kami berjalan.

"Sendirian?" tanyanya singkat.

"Iya, aku sendirian," balasku sambil tersenyum.

"Kalau begitu, kamu pasti mau menemaniku minum kopi."

Minum kopi adalah salah satu kegiatan dari beberapa kegiatan lain yang dijadikan semacam peraturan tak tertulis untuk memulai tawar-menawar harga untuk mem-booking jasaku.
"800ribu perjamnya," serangku perlahan sambil tersenyum meskipun ada keraguan untuk mengiyakan dan juga keraguan apakah pria ini akan setuju dengan harga yang ku berikan.

"Harga yang pantas untuk gadis secantik kamu,"

"So, we have a deal?" kataku sembari berpendapat pada diriku sendiri bahwa aku masih piawai mencari pelanggan.

"Sampai aku mengetahui syarat dan peraturannya" kata pria itu tetap tersenyum.

"Harga tidak termasuk kamar dan kondom, wajib kondom tentunya, all service kecuali anal, BDSM, hardcore, CIM, CIF, seperti biasa" jelasku.

"Deal" pria itu terlihat senang.

"Jangan senang dulu, om," aku mulai memanggilnya dengan panggilan khusus itu untuk mencairkan suasana dan sialan, aku masih pandai merayu.

"Om mau berapa jam?" tanyaku.

"Tiga jam saja..." ia terdiam sebentar lalu melanjutka, "Siapa namamu?"

"Stella, om" jawabku ramah sambil tersenyum.

"Well, Stella, kamu bisa memanggilku Margo"

"Nama om sedikit..." aku berpendapat namanya agak aneh untuk wajah orang Indonesia.

"Percayalah kamu takkan ingin tahu nama panjangku" sambar om Margo dengan tertawa.

"Kalau begitu aku tidak akan bertanya lebih jauh om"

"Jangan panggil aku 'om', Margo saja."

"Well, okay, Margo."

Margo menggandeng dan menggengam tanganku dan berkata.

"Ayo kita bergegas, aku tidak sabar ingin menghabisi buah dadamu yang sedari tadi merayuku"

"Jangan terburu-buru, Margo, mereka bisa menunggu" jawabku nakal.

"Ah, aku menemukan orang yang salah hari ini".

Aku dan Margo meninggalkan mall tersebut dan menyeberang jalan lalu masuk ke hotel yang kurasa sudah di siapkan Margo untuk ini. Aku mengabari Ara, Ia memberitahu bahwa ia sedang transaksi dengan calon pelanggannya dan mengatakan selamat bersenang-senang untukku dan kubalas dengan kalimat padanya untuk menjaga dirinya.

Kabut di Bukit PinusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang