Aku mengerjap, mencoba menghalau hantaman sorot lampu yang terasa menusuk mata ketika aku memaksanya terbuka. Kemudian nuansa putih yang familiar menyambutku.
Kuyakin aku saat ini berada di UKS ingat betul dengan nuansa putih, bau antiseptik, dan tempat tidur putih bergorden senada ini.
Tapi, tunggu!
Aku di UKS? Kenapa bisa? Apa aku pingsan?
"Iya, lo pingsan tadi." sahut seseorang tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku.
"Jihoon?!" pekikku. Lantas aku mencoba bangun, dengan bantuan Jihoon tentunya.
Oh lihatlah lelaki itu, wajah dan kepribadiannya sungguh bertolak belakang. Bagaimana bisa posisi duduk yang begitu manly dipadukan dengan senyum teramat manis itu?
Tic!
"Heh! Malah ngelamun." Jihoon menjentikkan jarinya didepan wajahku.
"Hehehe.." Aku hanya menyengir lebar.
"Ada ya, orang baru aja pingsan langsung cengar-cengir gini." ucap Jihoon dengan ekspresi lucunya.
"Ada. Nih.." ujarku sambil terkekeh.
Kulihat Jihoon mencebikkan bibirnya sambil menatap kesal kearahku.
"Lain kali kalo pusing bilang! Gak usah maksa lari, batu deh dibilangin!" ucap Jihoon dengan intonasi layaknya orang tengah marah.
"Iya.." jawabku lirih.
"Jangan iya-iya aja, Ris! Ini udah ketiga kalinya lo pingsan, dan kedua kalinya pingsan pas pelajaran olahraga. Emang susah ya buat bilang? Hmm??" kini lelaki itu menatap jengah kearahku dengan satu tangan berkacak pinggang.
Belum sempat aku menyahut, Jihoon kembali melanjutkan kata-katanya.
"Tinggal ngomong ke gue apa susahnya sih? Gak usah bikin heboh satu kelas, bikin gue gelagapan bingung. Gak bisa?"
Jihoon dan sifat dewasanya yang galak kembali muncul, Ia selalu memarahiku tiap kali aku pingsan. Namun, ini yang paling parah.
Aku menunduk lesu, karena memang disini aku yang salah. Selalu merepotkan, terlebih kepada armor ku ini.
"Maaf, sering ngerepotin Jihoon. Aku gak maksud buat gitu kok.."
"Hhh.. Nggak gitu Ris maksud gue, lo tuh.." kulihat Jihoon gelagapan melhatku, kontan tawaku menyembur melihat ekspresinya.
"Masih bisa ketawa? Hah?—" Jihoon kini mengapit leher dan kepalaku dengan sikunya.
"Jihoon! Lepasin ihh! Sak—kit.."
"—bodoamat! Ngeselin sih jadi orang!" ucapnya setelah melepaskan tangannya dari leherku.
"Iyaa, maaf.."
Jihoon tak membalas, dari sudut mataku kulihat Ia kembali menduduki ranjang lain disamping tempatku.
"Hoon?"
"Hmm.."
"Makasih ya."
"Gue gak butuh, cukup dengerin omongan gue, bisa?" Ia mendongak ketika mengucapkan kata terakhir.
"Iyaiyaa.. Janji deh. Tapi tetep aja, aku mau bilang makasih. Makasih udah bawa aku kesini."
"Bukan gue."
"Hah? Trus siapa?"
Kalau bukan Jihoon, trus siapa? Pak Jongin? Ah, tapi Pak Jongin kan tangannya lagi cedera, gak mungkin—
"Hyunjin."
HYUNJIN?
"Hyun—jin? Kok bisa??" Jihoon hanya mengedikkan bahunya.
"Nanti." gerakanku terhenti ketika mendengar suara Jihoon.
"Nanti kalo mau ketemu Hyunjin. Nanti, atau gak usah duduk sama gue lagi!"
Mau tak mau, aku menaikkan kembali kakiku keatas tempat tidur. Kulihat Jihoon tersenyum samar melihatku, lantas lelaki itu kembali fokus kepada ponselnya.
Soal Hyunjin..
Sebenarnya apa yang terjadi dengannya?
***
Aku tak cukup sabar untuk menunggunya keluar, kudorong pintu besi ini kemudian menghambur masuk, menyambut semilir angin yang langsung menerpa tubuhku.
Sosok yang tengah terlentang dibangku panjang dengan satu tangan terangkat menutupi wajahnya itu ternyata sama sekali tak terusik oleh kehadiranku.
Aku menduduki bangku panjang lain disamping tempatnya, lantas berdehem pelan, sengaja.
Benar saja, lelaki itu langsung merespon. Ia mengangkat tangan yang semula menutupi wajahnya, mendongak sekilas, lantas terkesiap terduduk begitu melihatku.
Lebamnya belum hilang, sungguh menodai wajah tampannya.
"Mau apa?" tanyanya galak.
"Ini.." kutaruh kantung plastik berisi obat merah dan plester diatas lengan bangku.
"Gue gak butuh." jawabnya tanpa bertanya apa isinya.
"Aku tau kamu butuh, Jin." Hyunjin mendengus kesal.
Kemudian hening. Kami diam, bungkam dengan pikiran masing-masing. Aku dengan pikiran perihal luka Hyunjin dan perkataanya kala itu, entah dengan lelaki ini.
"Hyunjin?" Ia tak menyahut, tapi kutahu Ia mendengarku.
"Gak ada yang mau diceritain sama aku?" Masih tak ada sahutan darinya.
Kutunggu..
Kunci menghadapi lelaki temperamen seperti Hyunjin hanya satu, sabar.
Dan masih tidak ada jawaban darinya.
Baiklah..
"Gak papa kalo masih gak mau cerita, aku siap dengerin kapan aja Hyunjin mau cerita." aku tersenyum.
"Aku keluar.."
Aku beranjak, takut jika aku hanya akan mengusiknya jika disana. Pintu besi ini baru terbuka seperempatnya ketika satu tangan mendorongnya kembali menutup. Tangan itu milik—
"Disini aja bisa gak sih?!" —Hyunjin
Kudongakkan kepala menatapnya, kutahu sorot tajam kedua bola mata hitam itu palsu. Siapa sangka dibalik sorot tajam itu tersembunyi sepi yang tengah menyelubunginya.
Hyunjin, lelaki itu kesepian. Aku tau itu..
●● A r m o r ●●
[]
Semoga suka ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
[ON HOLD] ARMOR
FanfictionLike a steel on armor, they faithfully protect me.. featuring : #Hyunjin Straykids #Lucas NCT #Jihoon WO All Rights Reserved Under Credits by Hooneyhwang