Armor | 09

131 29 23
                                    

"Om minta tolong kasih ini ke Hyunjin ya, nak. Terimakasih.."

——

Kusentuh saku rok seragamku yang menyimpan amplop coklat dari Ayah Hyunjin. Aku sungguh penasaran apa isinya, tapi sangat lancang jika membukanya, bukan?

Yang harus kulakukan saat ini mencari dimana Hyunjin dan—


BRAKK!!


Aku mendengar bunyi gebrakan meja dari arah kelasku, disusul suara teman-temanku yang saling beradu mulut. Oh, ada apa ini??

"LO JANGAN ASAL NUDUH, ANJING!" Kudengar suara Jihoon tengah mengumpat. Tiba-tiba saja perasaanku tak enak.

"Gue gak nuduh! Emang kenyataannya kalo temen lo itu pelac—"

"Jihoon!!!" teriakku mencoba menggagalkan aksi Jihoon yang baru saja akan menampar temanku.

"Jaga omongan lo!" desis Jihoon.

Demi Tuhan, ada apa ini??

"Heh! Gue bener-bener enek ya sama kelakuan lo!" sentak temanku tepat didepanku.

Berbagai pertanyaan menghujam otakku. Belum sempat salah satunya terucap, Jihoon dengan cepat berdiri didepanku—memosisikan dirinya sebagai tameng.

"STOP nuduh yang enggak-enggak kalo lo gak punya bukti apapun!" desis Jihoon menahan katup kemarahannya.

"Trus ini apa kalo bukan bukti?!"

Aku, pun Jihoon, kaget melihat layar ponsel temanku yang menunjukkan foto yang kuyakin itu aku, terlihat tengah berangkulan dengan seorang pria. Foto itu diambil dari arah samping.

Tunggu! Itu aku dan Ayah Hyunjin!

Sungguh, aku tidak sedang melakukan apapun! Malam itu tanpa sengaja aku bertemu dengan Ayah Hyunjin, Ia mengingatku dan memintaku untuk menyerahkan amplop coklat tadi pada Hyunjin.

Dan soal rangkulan itu, aku bersumpah itu bukan rangkulan atau pelukan! Bukan! Paman itu hanya menepuk pundakku karena ceritaku soal Ayah. Ayahku yang sudah berada disisi Tuhan saat ini.

"Ris... ini... apa?" Jihoon menatapku dengan wajah memerahnya, matanya menyorot kekagetan dan ketidakpercayaan.

"Aku... Aku bisa jelasin, ini—"

"Alah gak usah ngeles lo! Jelas-jelas ini elo, mau lo apa sih sebenernya? Hah?!" sentak temanku yang juga terlihat sangat marah padaku.

Aku bungkam, bisa kurasakan tanganku bergetar menahan gejolak didada.

"Siapa dia?" tanya Jihoon teramat datar. Membuatku takut.

"Dia... dia..." Aku ingat jika identitasnya tak bisa kubongkar. Aku sudah berjanji pada Hyunjin.

"Gak bisa jawab kan lo!" sentak temanku untuk kesekian kalinya. "Pergi aja lo sana! Sampah!"

Astaga! Hatiku sakit mendengar itu. Sebegitu tak sukanya kah mereka padaku?

"Gue bilang jaga omongan LO!" Jihoon kalap, bisa kulihat seluruh wajahnya memerah.

Dasar nggak tau diri! Aku dengan mudahnya membuat sakit hati orang yang selama ini telah menjadi teman baikku. Kutelan sesak ini sebisa mungkin.

"Ini fakta, Hoon! Please, wake up! Lo itu udah tertipu sama kepolosannya!"

Jihoon terdiam. Apa Ia marah padaku? Tolong.. Jangan!

"Jihoon, ini gak seperti yang mereka pik—"

"Diem lo! Lo tuh gak pantes disini." salah satu temanku mendorong bahuku.

[ON HOLD] ARMORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang