Aku duduk dan mengucek-ucek kedua mataku, lalu menatap jam dinding yang kutempel di atas pintu. Mataku pun melebar
Sudah pukul 05.30. Arrrgh! Aku bakal telat!
Pada hari kerja aku bangun pukul 04.30 karena banyak yang harus kulakukan sebelum berangkat. Ibu lagi jalan-jalan di Bali dan Lombok bareng teman arisan, Kanya ada acara kantor di Bandung dan menginap di sana. Jadi, tidak ada yang membangunkanku hari ini.
Aku meloncat dari dipan, mengambil pakaian dalam dari lemari, lalu keluar dari kamar. Kusambar handuk dari jemuran yang ada di samping kamar mandi, kemudian masuk ke kamar mandi. Selesai mandi, aku memakai pelembab dan bedak, lalu turun ke kamar kucing.
Tidak ada waktu untuk membersihkan kotoran kucing, mencuci pasir dan mengganti dengan pasir yang masih bersih. Aku hanya punya waktu untuk memberi makan.
Kuambil toples berisi biskuit kucing dari lemari yang ada di depan ruangan. Kucing-kucingku berjejer di depan pintu kaca sambil mengeong. Kubuka pintu geser, dan masuk ke dalam. Bau kotoran kucing membuatku mengerutkan hidung. Lima ekor kucing berbulu tebal langsung mengerumuniku. Kubuka toples yang kubawa, lalu kusendok makanan biskuit dan kuletakkan ke dalam lima tempat makan kucing. Mereka langsung makan dengan lahap dan aku keluar dari kamar kucing. Setelah mencuci tangan, aku naik ke kamarku untuk ganti pakaian dan bersiap berangkat. Aku tidak sempat menyiapkan bekal untuk sarapan. Biasanya aku sendiri yang menyediakan makan pagi untuk kubawa ke kantor. Mbak Yah, pembantuku, baru datang pukul tujuh karena harus memasak sarapan untuk anak-anaknya yang masih sekolah.
Kukunci kamarku dan bergegas menuruni tangga. Baru sampai di lantai satu, aku merasakan gejolak di perutku. Langsung kuletakkan tas di atas meja di ruang keluarga.
"Pasti mau nongkrong." Mas Damar, kakakku yang nomor dua, berdiri di ujung tangga. Matanya masih merah. Dia memang biasa bangun jam segini.
"Mules." Aku masuk ke kamar mandi di lantai satu.
Lima menit kemudian, aku keluar. Mas Damar sedang berjalan di ruang keluarga sambil membawa segelas teh panas.
"Mas, nanti Mbak Yah suruh buang eek kucing sama ganti pasir, ya," kataku.
"Iya," jawabnya malas.
Aku keluar rumah. Jalanan di depan rumahku sudah dipadati mobil dan motor. Aku terpaksa naik ojek online sampai ke halte Transjakarta terdekat. Kalau naik angkot, aku bisa telat. Selama perjalanan aku mengalami sport jantung dan harus merelakan dengkulku berbenturan dengan mobil demi mencari celah. Kemacetan lalu lintas pada Senin pagi memang luar biasa.
Sampai di halte, aku harus berlari menuju pintu agar tidak ketinggalan bus yang sedang berhenti. Kupeluk ranselku erat-erat dan masuk ke dalam. Selain untuk melindungi dompet dan ponsel dari copet, aku juga menjaga dadaku dari sentuhan cowok-cowok mesum yang mencari kesempatan.
Bus yang kutumpangi penuh sesak. Entah sampai kapan aku harus berdiri dengan satu kaki sambil memeluk ransel dengan kedua tangan. Kaki kananku mulai pegal, tapi aku tidak bisa berpijak. Enggak mungkin kan nginjek sepatu cowok yang berdiri di sebelah kananku?
"Hatchi!"
"Uhuk... uhuk...."
Aku mendengar suara orang bersin dan batuk. Berapa banyak kuman dan virus yang berjalan-jalan di bus ini untuk mencari tempat baru. Sebenarnya, aku membawa masker. Tapi, benda itu akan membuatku kesulitan bernapas. Semoga aku enggak ketularan batuk atau flu. Dum spiro, spero. Selama aku bernapas, aku berharap. Ngomongin soal harapan, kupikir semua orang yang ada di dalam bus ini, yang sebagian besar adalah pegawai kantoran, rela bangun pagi dan berjejalan demi menggapai harapan. Harapan untuk kehidupan yang lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Young and Restless
Ficción GeneralNattaya adalah salah satu dari jutaan pekerja di ibu kota yang harus pergi pagi pulang petang. Waktunya pun lebih banyak dihabiskan di kantor dan jalan. Ketika sebagian besar perempuan seusianya sibuk mencari suami, dia lebih tertarik untuk memenuhi...