Part 15 In Loving Memory

5.6K 629 9
                                    


Aku memindai kursi- kursi yang ditata berderet di rerumputan hijau menghadap panggung mungil. Di antara wajah-wajah jurnalis yang duduk di sana aku tidak menemukan Andreas. Dia ada undangan acara lain atau sudah di-rolling di desk lain?

"Saya mengucapkan terima kasih pada rekan-rekan media yang sudah hadir hari ini." Suara Indah mengalihkan perhatianku ke atas papan kayu berlapis karpet hijau menyerupai rumput. Dia berdiri sambil memegang mikrofon di tangan kanan. Sesekali matanya melirik cue card berisi contekan jalannya acara dan pertanyaan yang dia pegang. Kata-kata keluar dari mulutnya dengan lancar, seakan-akan pekerjaan sehari-harinya memang cuap-cuap di atas panggung. Jika aku yang harus berdiri di sana mungkin aku sudah ngompol.

Aku mengamati rok midi terusan warna hijau yang memeluk pinggang. Entah dia sempat beli baru baru atau tidak. Aku baru mendapat kabar dari Samudra kalau dia belum menemukan MC pada Sabtu sore dan langsung memberitahu Indah.

Indah memanggil Pak Ronald, Bu Ivone, Rhandra dan Mr. Blake untuk naik ke panggung. Mereka duduk membelakangi backdrop putih berisi logo Piurity Organics dan Bhumi Conservacy serta tulisan, "Peluncuran Kampanye #PiurityOrganicPeduliBumi." Di panggung juga ada delapan pohon lidah mertua yang masing-masing ditanam di dalam polybag hitam. Tanaman yang akan diberikan kepada konsumen yang berbelanja minimal senilai seratus ribu rupiah. Lidah mertua bisa hidup di dalam ruangan dan tak perlu sering-sering disiram. Tumbuhan yang cocok dengan gaya hidup kaum urban yang menjadi target pasar perusahaanku.

Indah membuka percakapan dengan narasumber dan acara berakhir dua jam kemudian. Perutku sudah berteriak minta diisi. Sayangnya, aku belum bisa makan karena harus mendahulukan tamu. Jadi, aku memutuskan untuk ke toilet. Waktu keluar dari toilet, aku melihat Rhandra di dekat tembok yang ditanami tanaman hijau merambat. Kami beradu pandang.

Shit! Seandainya dia tidak melihatku, aku bakal kabur. Berhubung dia telanjur mengetahui keberadaanku, aku terpaksa mendekatinya.

Kuamati bungkus rokok warna merah yang dia pegang. Merek rokok favorit Bapak. "Aku enggak tahu kalau kamu perokok."

Dia mengangkat bahu.

Apakah dia merokok sejak dulu, tapi tidak pernah merokok di dekatku? Atau dia menjadi perokok setelah kami berpisah?

"Akhirnya kamu berani bikin tato. Orangtuamu enggak keberatan?" Tatapan matanya tertuju ke pergelangan kaki kiriku bagian dalam.

"Bapak enggak pernah komentar. Ibu sih sampai sekarang masih enggak suka. But, my body is mine. Bagi satu dong."

Dia menatapku bingung, lalu mengulurkan bungkusan rokok. "Kamu merokok juga?"

Kuambil sebatang rokok. "Pendapatku soal rokok masih sama."

"Perokok adalah makhluk egois. Seharusnya mereka dijadikan satu agar saling membunuh," dia menirukan kata-kata yang pernah kuucapkan. "Enggak tertarik bikin sajak tentang rokok?"

Rupanya dia belum lupa soal keinginanku untuk memiliki tato dan pendapatku soal rokok, juga tentang puisi yang kubuat. Dia adalah satu di antara sedikit manusia di muka bumi yang tahu soal puisi yang kubuat. Kadang kita terlalu takut untuk menunjukkan banyak hal pada orang di sekitar karena takut dianggap aneh atau diolok-olok.

"Kamu satu-satunya cewek yang kukenal yang demen mengungkapkan kritik sosial lewat sajak."

"Aku dibenci. Aku dicintai. Aku mampu menyebabkan kematian. Aku menjadi sumber penghidupan."

"Kamu harus nulis puisi galau," godanya.

"Gimana kabar orangtuamu?"

Raut mukanya berubah menjadi mendung. "Mereka udah berpulang."

Young and RestlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang