"Okay. Thank you," tutup seorang bule paruh baya berperawakan tinggi besar. Bos Rhandra berdiri dan mendekati Madam. Mereka berjabat tangan.
"See you soon," kata Madam sebelum meninggalkan ruang rapat. Aku dan Belinda mengekor dia. Hari ini kami datang ke kantor Rhandra di daerah Kuningan untuk meeting. Setelah membahas proposal yang kutulis dan menggodok ide selama dua jam, rapat berakhir. Nantinya, akan ada rapat lanjutan.
"Nat," panggil Rhandra.
Aku berhenti berjalan dan menoleh.
Dia berdiri di depan pintu ruang meeting. Tangan kanan Rhandra memegang buku bersampul Che Guevara yang sedang telanjang dada di atas dipan sambil memegang pipa cerutu. Dia berjalan mendekat. Kuputar badanku dan berhadapan dengan dia. Rhandra mengulurkan buku. "Ini bukumu, kan?"
Kubuka halaman pertama buku berjudul Mencintai Che karangan Ana Menendez itu. Ada tulisan September 2009 dan tanda tanganku. Aku memang memiliki kebiasaan menandatangani buku dan menulis bulan dan tahun pembelian buku. Aku lupa kapan Rhandra meminjam novel yang ceritanya aku sudah agak lupa. Pokoknya aku beli buku itu karena ada Che Guevara. Jaman kuliah aku memang sangat tertarik dengan Che Guevara dan suka membaca buku tentang dia. Gara-gara Che Guevara pula aku dan Rhandra menjadi dekat. Kencan pertama kami pun juga berhubungan dengan tokoh pemberontak asal Argentina itu. Waktu itu kami nonton film "The Motorcycle Diaries" yang diadaptasi dari memoar Che Guevara yang menceritakan perjalanannya menjelajahi Amerika Selatan, yang diputar klub sinema kampusku.
"Aku nemu buku itu waktu cari barang di gudang," ungkap Rhandra.
"Di gudang?" tanyaku sambil menekankan kata gudang dan memasang wajah sebal.
Aku paling benci kalau minjemin barang ke orang dan si peminjam enggak menjaga barangku dengan baik.
Dia menggaruk kepala dan memasang wajah bersalah. "Aku enggak tahu kenapa sampai di sana. Mungkin waktu pindah rumah."
"Kamu pindah ke mana?"
"Masih di Kalimalang."
"Oh."
"Nat, ayo!" teriak Belinda.
Aku memalingkan muka dan melihat Belinda sudah berada di ujung koridor, sedangkan Madam sudah menghilang. "Iya." Kugeser pandangan mataku kembali ke Rhandra. "Sampai ketemu minggu depan."
"Oke."
Aku langsung menyusul Belinda dan keluar dari kantor Rhandra. Ternyata, Madam sudah menunggu kami di depan lift. Kami bertiga turun ke lobi dan balik ke kantor naik mobil Madam. Sampai di kantor, aku menyempatkan diri untuk makan siang di tempat biasa sebelum ketemu Samudra. Bisa bangkrut aku kalau sering makan di GI.
Aku tiba di food court Grand Indonesia tepat waktu. Samudra sudah sampai di sana terlebih dulu. Di atas meja sudah ada sepiring nasi putih dan ayam panggang serta segelas kopi tetes.
"Enggak pesan makan?" tanyanya.
"Aku udah makan." Kuhempaskan pantat ke bangku. "Aku butuh bantuanmu."
Mata Samudra fokus ke piring, sedangkan kedua tangannya menggerakkan sendok dan garpu. "Apa?"
Aku mulai menceritakan peluncuran kampanye Piurity Organic yang sedang kukerjakan. Dan, aku juga mengungkapkan konsep peluncuran dan tempat yang diinginkan Madam. Dalam perjalanan balik ke kantor Madam bilang kalau menginginkan tempat terbuka yang ada rumputnya. "Kamu ngerti, kan?"
Sudut-sudut bibirnya bergerak dan membentuk senyum. Bukan jenis senyum yang kusukai. Dia memasang senyum miring. "Aku mau bantuin kamu, tapi ada satu syarat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Young and Restless
Fiksi UmumNattaya adalah salah satu dari jutaan pekerja di ibu kota yang harus pergi pagi pulang petang. Waktunya pun lebih banyak dihabiskan di kantor dan jalan. Ketika sebagian besar perempuan seusianya sibuk mencari suami, dia lebih tertarik untuk memenuhi...