Ford Everest hitam itu berhenti di depanku. Kubuka pintu mobil, lalu masuk dan duduk di samping pengemudi. Mobil itu menembus kemacetan jalan raya sebelum memasuki kompleks perumahan yang bentuk rumahnya mengingatkanku pada rumah yang sering muncul di sinetron. Bangunan beton itu memiliki pilar-pilar besar dan megah.
Pak Salim, sopir Madam, menghentikan mobil di depan salah satu rumah. Ukuran rumah itu lebih kecil dari rumah lainnya. Rumah ini pasti pernah mengalami masa kejayaannya. Sekarang aku melihat cat tembok yang mengelupas di beberapa bagian.
Kupikir rumah Madam bakal lebih bagus dari ini. Mungkin dia belum sempat merenovasi rumah. Atau dana renovasi rumah sudah dialihkan untuk membayar biaya sekolah anaknya yang menimba ilmu di sekolah internasional. Why should I care?
Seorang perempuan berambut sasak yang memakai rok terusan batik sutra muncul dari dalam rumah. Dia diikuti oleh seorang perempuan muda yang membawa tas tangan hitam. Bosku memberi perintah pada pembantunya, lalu masuk ke dalam mobil. Pak Salim menjalankan mobil yang akan membawa kami ke pabrik Piurity Organic di Tangerang. Hari ini kantorku mengadakan factory visit untuk media. Rombongan jurnalis dan tim PR bersama marketing berangkat naik bus dari kantor. Sementara Bu Madam memintaku untuk bareng dia naik mobil pribadi. Tadi, aku naik bus dari rumah sampai ke halte Transjakarta yang paling dekat dengan rumah Madam dan dijemput Pak Salim.
"Nat, tolong buatin presentasi tentang kosmetik organik. Bulan depan saya jadi pembicara di forum internasional," kata Madam waktu mobil sudah meluncur di jalan tol.
Madam mulai menjelaskan apa saja yang harus kutulis di presentasi. Inilah alasan Madam mengajak aku bareng dia, untuk membahas pekerjaan. Ugh! Menyebalkan.
Setelah berada di dalam mobil Madam selama hampir dua jam, akhirnya aku bisa menghirup udara bebas. Tur dimulai pukul 10:00, sesuai rencana. Setelah mengunjungi tempat produksi dan melihat proses pembuatan kosmetik, rombongan media dibawa ke kantin untuk makan siang. Tentu saja menu makanan yang disajikan berbeda dengan makanan yang biasa disantap para pegawai pabrik.
Habis makan siang kami balik ke Jakarta. Kali ini aku menolak ajakan Madam dan memilih naik bus. Aku menjadi penumpang yang terakhir masuk ke bus yang memiliki komposisi tempat duduk 2-2 itu. Jadi, hampir seluruh bangku sudah terisi.
"Enggak bareng Madam?" tanya Indah yang sudah duduk manis di samping Rani.
"Enggak," balasku sambil berjalan menuju bagian belakang.
Aku melihat ada dua kursi kosong di dekatku. Keduanya terletak di pinggir karena kursi di samping jendela sudah diduduki. Kursi di sebelah kanan diduduki seorang cowok berkumis yang sibuk mengetik di ponsel. Sementara di belakangnya ada seorang cowok berambut ikal yang duduk sambil memandang ke luar jendela. Sebelum kendaraan berkapasitas 40 penumpang ini mulai bergerak meninggalkan tempat parkir, aku memilih duduk di samping si berambut ikal.
Dia melirik sekilas waktu aku menghempaskan pantat ke kursi. Lalu, dia meletakkan tangan kiri di pinggir jendela dan memejamkan mata. Sekilas aku melihat goresan tinta yang terukir di bagian dalam bisep kirinya. Kayaknya selama ini tangannya bersih dari tato. Atau aku kurang memperhatikan karena lebih fokus ke wajah.
Rasa penasaran membuatku berkali-kali meliriknya untuk melihat tulisan yang tertera di sana. Matanya masih terpejam, jadi kuputuskan untuk menatap bisepnya lebih lama sampai aku membaca I will become what I deserve. Tiba-tiba, dia menoleh dan menatapku dengan alis terangkat.
Awkward.
Aku memaksakan senyum. "Mm... tatomu penggalan lirik lagu Ben Howard yang judulnya The Fear, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Young and Restless
Ficción GeneralNattaya adalah salah satu dari jutaan pekerja di ibu kota yang harus pergi pagi pulang petang. Waktunya pun lebih banyak dihabiskan di kantor dan jalan. Ketika sebagian besar perempuan seusianya sibuk mencari suami, dia lebih tertarik untuk memenuhi...