"Mirip si cewek matre," ujar Ibu.
Aku memandang sosok yang dimaksud ibuku, seorang cewek yang memakai celana panjang ketat warna hitam dan blus peplum hijau. Dia sedang mengobrol dengan dua orang perempuan muda di dekat pintu gereja.
"Bu, daripada ngomongin cewek enggak penting itu mending doa minta ketenangan batin," usulku.
Ibu melirikku dengan wajah judes, lalu dia berpaling ke depan. Tangan kanannya mengipasi badan dengan buku misa. "Fotonya lama banget, sih. Makeup-nya keburu luntur, tuh," ujar Ibu tidak sabar.
"Narsis," balasku.
Kini tatapan mata kami tertuju pada sepasang pengantin yang berdiri membelakangi altar bersama kedua orang tua mereka dan seorang pastor. Sudah hampir setengah jam mereka melakukan sesi foto dan belum ada tanda akan berakhir.
"Keluar sekarang aja," ajakku sambil bangkit dari bangku.
"Salaman dulu sama pengantinnya. Tuh, udah selesai," kata Ibu. Dia berdiri dan kami berjalan ke depan altar untuk bersalaman dengan Jude dan Pia serta kedua orang tua mereka. Pastor yang baru saja memberkati pernikahan mereka sudah tidak kelihatan.
"Makasih, Tante udah datang," kata Pia. Wajahnya terlihat sumringah meskipun keringat menetes di dahinya. Kebaya putih yang membalut badannya juga mulai basah oleh keringat.
"Cuma berdua?" tanya Jude
"Iya, dokter Lucy kapan nyusul adiknya?" tanya Ibu.
Aku mencubit lengan Ibu.
Ibu melotot ke arahku. "Ini anak kenapa nyubit-nyubit?"
"Lucy enggak punya pacar. Lha dia lebih suka kucing daripada cowok," kata ibu Jude.
Lucy, kakak Jude, hanya memasang senyum tipis.
"Sama kayak Nattaya, lebih milih kucing daripada cowok," balas Ibu.
Jude mengendurkan dasi yang dia pakai. "Nanti datang ke resepsi?"
"Enggak. Hari ini banyak kondangan. Nattaya juga harus ikut pameran di JCC," kata Ibu.
"Kamu ke JCC?" tanya Pia antusias.
Aku mengangguk.
"Kenapa enggak bareng Samudra? Dia juga mau ke JCC," usul Pia.
Ide buruk. Kalau aku nebeng dia, pasti bakal awkward banget. Mengingat ketiga pertemuan kami yang tidak pernah berjalan baik. Tapi, tawaran ini cukup menggiurkan karena daerah ini tidak dilalui Transjakarta. Jadi, aku harus naik bus biasa tiga kali. Kantorku mengikuti pameran produk organik selama tiga hari. Acara ini diselenggarakan oleh Titimangsa Creative. Hari ini adalah hari kedua pameran.
"Samudra!" Suara cewek berbadan mungil itu memekakkan telingaku.
Kugerakkan kepalaku ke arah pintu. Aku melihat seorang cowok berkemeja warna biru tua sedang berjalan seorang diri menuju pintu. Tatapan mataku tertuju ke bokongnya yang bergerak naik turun. Pantatnya terlihat padat dan bulat meskipun tersembunyi di balik celana chino cokelat. He has a pinchable ass. Aku baru tahu kalau pantatnya seksi. Ups, aku lagi di gereja kenapa mikirin pantat cowok? Kutarik pandangan mataku kembali ke Pia dan Jude sebelum Samudra menoleh.
"Kamu kenal dia?" bisik Ibu.
Aku mengangguk.
"Teman kantor?" tanyanya lagi.
"Mm... aku sering ketemu dia untuk urusan kerja," balasku.
"Nattaya mau ke JCC juga. Kenapa kamu enggak kasih dia tumpangan?" kata Pia setelah Samudra ada di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Young and Restless
Ficción GeneralNattaya adalah salah satu dari jutaan pekerja di ibu kota yang harus pergi pagi pulang petang. Waktunya pun lebih banyak dihabiskan di kantor dan jalan. Ketika sebagian besar perempuan seusianya sibuk mencari suami, dia lebih tertarik untuk memenuhi...