Tarik napas dalam-dalam, lalu keluarkan. Siapkan mental. Jangan terbawa emosi. Aku berdiri di depan pintu ruangan Bu Ivone. Kuangkat tangan kanan ke arah pintu, lalu kutarik kembali. Aku belum sanggup menghadapi Madam.
"Mbak, kok masih di situ?" ujar Norma yang duduk di dekatku.
"Iya." Kuketuk pintu di depanku dan baru masuk setelah mendapat jawaban dari dalam. Lalu, aku duduk di depan bosku.
Tatapannya fokus ke laptop. "Gimana progress-nya? Udah ada berapa tagar?"
This is it. Inilah alasan Madam memanggilku, untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan kampanye yang kugagas. Sejak diluncurkan hampir tiga pekan lalu, kampanye ini masih belum ada gaungnya. Madam menargetkan sepuluh ribu tagar. Sayangnya, hingga hari ini jumlahnya baru mencapai ratusan. Kalau jawab jujur pasti aku diomelin. Mau bohong nanti repot juga kalau Madam minta bukti.
"Baru... dua ratusan," jawabku jujur.
Perhatian Madam beralih dari Macbook ke arahku. Bola matanya nyaris copot. "Kenapa baru segitu?"
"Kan belum ada sebulan."
Seandainya kampanye ini gagal, tahun depan aku bakal jadi pegawai tak dianggap yang pertama masuk daftar orang yang perlu ditendang saat ada perampingan perusahaan. Kantorku mirip balita yang sedang merangkak sebelum mampu berjalan dengan kaki. Kemungkinan mengalami kesulitan finansial sangat besar.
"Kamu boleh keluar. Nanti kita meeting sama marketing jam tiga."
Yah, enggak bisa pulang tenggo. Anak-anak marketing bakal membunuhku karena ada rapat mendadak.
"Saya, permisi dulu." Aku berjalan meninggalkan ruangan. Kepalaku terasa seperti habis dipukul dengan palu. Nyeri ini udah kurasakan sejak tadi. Pertemuan dengan Madam mampu meningkatkan rasa sakit. Aduh kenapa pinggang ikutan nyeri? Biasanya ini terjadi sebelum datang bulan. Tapi, haidku baru saja selesai. Kuurut pinggangku dengan tangan kanan. Mana mungkin aku kena radang sendi. Aku jarang pakai sepatu hak tinggi. Sepertinya, hari ini aku sedang diuji. Hufh.
Waktu kembali ke ruanganku, aku disambut wajah-wajah bete. Rupanya berita soal rapat dadakan sudah tersiar. Pukul tiga sore, tim marketing berkumpul di ruang rapat bersama Bu Ivone. Dalam rapat hari ini semua dimintai ide untuk meningkatkan kampanye. Jam dinding menunjuk pukul enam waktu rapat selesai. Akhirnya bisa pulang, tapi aku enggak sanggup naik bus. Kalau minta jemput sopir, nanti sampai rumah jam berapa? Lalu lintas jam pulang kantor pada hari Jumat bakal lebih padat dari hari biasa. Dari rumah ke sini bisa makan waktu dua jam. Mau naik ojek bakal nambah penderitaanku. Taksi kucoret dari daftar. Naik taksi sendirian dalam keadaan sehat aja aku males, apalagi waktu sakit. Aku harus naik apa, nih? Wait a minute. Dia mau nganter enggak, ya?
"Nat, ayo balik," ajak Rani.
"Aku nunggu jemputan."
"Dijemput Babang Ojol?" tanya Indah.
"Bukan."
"Kakak?" tanya Indah lagi.
Kepo banget, sih?
"Samudra."
"Enak ya punya pacar. Ada yang jemput," kata Indah.
"Aku punya pacar, tapi balik sendiri," balas Rani.
"Ganti pacar aja, Mbak," celetuk Fitri.
Rani berdiri sambil mencangklong tas. "Enggak, ah."
"Duluan, ya," pamit mereka.
Kini, aku menjadi satu-satunya penghuni ruangan. Kuraih ponselku. Mending nelpon atau kirim WA? Nelpon ajalah biar lebih cepat.
"Halo," sapaku.
![](https://img.wattpad.com/cover/132937307-288-k157668.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Young and Restless
Narrativa generaleNattaya adalah salah satu dari jutaan pekerja di ibu kota yang harus pergi pagi pulang petang. Waktunya pun lebih banyak dihabiskan di kantor dan jalan. Ketika sebagian besar perempuan seusianya sibuk mencari suami, dia lebih tertarik untuk memenuhi...