"Gaunnya bagus." Tatapan mata Rani terpaku ke istri Pak Yusman yang memakai gaun putih berpotongan lurus yang panjangnya menyapu lantai. Manik-manik yang menghiasi baju itu memberi kesan mewah.
"Itu Jenny Packham. Beli di Singapura," terang Belinda sambil menusuk cumi bakar dengan garpu.
"Pasti mahal. Emang dia kerja jadi apa?" tanya Indah sebelum memasukkan siomay ke mulut.
"Manajer keuangan," jawab Belinda yang kenal dengan istri Pak Yusman.
"Terlalu sibuk kerja kali ya, sampai telat nikah," kata Indah.
Society is so tiring. Pak Yusman dan istrinya sama-sama sudah memasuki usia empat puluh tahun. Ini merupakan pernikahan pertama bagi mereka.
"Enggak nikah dikatain perawan tua. Nikah dibilang telat," ujarku sambil meraih segelas es teh dari meja minuman.
"Seharusnya nikah sebelum umur tiga puluh," balas Rani.
"Dua tahun lagi Mbak tiga puluh, lho. Kapan dilamar?" Fitri mengambil segelas soda berwarna hitam.
"Nunggu Ryan lulus kuliah."
"Salah sendiri cari cowok masih kuliah," ujar Indah.
"Kerja sambil kuliah," ralat Rani. Ryan, pacarnya seorang lulusan D3 yang sedang mengejar gelar S1 sambil bekerja.
"Makanya jangan pacaran sama brondong. Mending cari cowok yang lebih tua, mapan dan kalau bisa tajir juga," kata Indah.
"Iya, biar hidup terjamin," balas Belinda.
"Cari suami kaya di mana, ya?" tanya Rani.
"Gimana kalau kamu nikah sama cowok tajir, tapi harus mau tandatangan perjanjian pra-nikah. Isinya kalau cerai kamu enggak bakal dapet apa-apa dari dia. Bahkan hak asuh anak juga jatuh ke tangan dia."
"Pikirannya negatif, ih," omel Rani sambil mengelap bajunya yang ketumpahan kuah soto mie dengan tisu.
"Aku ngomongin fakta." Kuletakkan gelas kosong ke meja, lalu kuambil suvenir pernikahan Pak Yusman yang sejak tadi kutaruh di meja. Suvenir berupa mug itu terlalu besar untuk dimasukkan ke dalam tas mungilku.
Kutinggalkan teman-temanku karena terlalu malas untuk bergabung dengan obrolan mereka. Sebenarnya aku udah pengin pulang, tapi apa daya sebagai penebeng aku harus menunggu yang lain. Tadi aku ke sini bareng Indah, Rani, Fitri, Satya dan Meta nebeng mobil Roni. Kos Fitri yang terletak di Kebon Kacang menjadi titik kumpul kami. Kami sudah salaman dan tinggal menunggu giliran foto.
Aku sampai di depan pagar yang membatasi dermaga dengan laut. Embusan angin laut menerpa tubuhku yang dibungkus patchwork dress batik warna gelap berlengan pendek. Sementara beberapa helai rambut bob sebahuku berlarian. Aku memandang kumpulan awan jingga kemerahan yang mengiringi kepergian matahari. Perlahan-lahan warna langit berubah menjadi gelap, memberi giliran pada bulan dan bintang-bintang untuk menerangi bumi. Lalu, kualihkan perhatianku ke Laut Jawa yang membentang di hadapanku. Ada dua kapal pesiar bersandar di dermaga. Kapal-kapal itu menjadi latar belakang pelaminan tempat Pak Yusman dan istri bersanding.
Aku berjalan menjauh dari laut dan berhenti di dekat meja minuman. Kuambil segelas air putih, lalu kuteguk isinya. Mataku memindai marina yang ada di area pelabuhan Sunda Kelapa ini. Kulihat Indah, Rani, Fitri dan Satya sedang mejeng di photo booth berkonsep kapal. Di sana ada kemudi kapal, jangkar, ban pelampung dan tong kayu. Kubaca tulisan yang terpampang di photo booth pelan-pelan, "Happily ever after starts here." Aku mendecak. "Mitos."
"Kamu bukan penggemar dongeng?"
Aku menoleh ke kiri. Samudra berdiri di sebelahku sambil memegang gelas berisi air putih. Hari ini badannya dibalut kemeja batik lengan pendek dan celana panjang hitam. Drop dead gorgeous. Aku memutar kepalaku dan kembali memandang photo booth. "Kalau menikah sama dengan bahagia kenapa banyak orang cerai?"
![](https://img.wattpad.com/cover/132937307-288-k157668.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Young and Restless
General FictionNattaya adalah salah satu dari jutaan pekerja di ibu kota yang harus pergi pagi pulang petang. Waktunya pun lebih banyak dihabiskan di kantor dan jalan. Ketika sebagian besar perempuan seusianya sibuk mencari suami, dia lebih tertarik untuk memenuhi...