Part 11 The Wedding Season

6.6K 742 5
                                    

"Sekarang lagi musim nikah, jadi bakal susah cari tempat di akhir pekan," ujar Samudra."

Aku dan Samudra sedang berada di restoran milik seorang perempuan paruh baya yang dia panggil Tante Vera. Entah apa hubungan mereka. Kami berdiri di atas rerumputan hijau yang menghampar bak karpet. Aku menebarkan pandangan ke sekeliling. Area makan terbagi menjadi dua, ruang tertutup dan terbuka. Ada beberapa meja dan kursi kayu di atas rumput. Lokasinya cocok, tapi harga paket yang ditawarkan lebih besar dari anggaran yang ditetapkan Madam. Samudra benar, mencari tempat lain pasti bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami. Mana waktunya mepet. Arrrgh! Gimana, nih? Jadi, pengin jedukin kepala ke tembok. Tentu saja tembok khayalan karena aku bukan jenis orang yang suka melukai diri sendiri.

Seandainya Bu Vera bisa dirayu agar mau nurunin harga. Sayangnya, aku payah dalam hal merayu orang. Mungkin aku bisa merayu Samudra agar membujuk Bu Vera. Kayaknya aku harus belajar jurus merayu dari Indah dan Rani. Mereka selalu berhasil meluluhkan hati cowok-cowok di kantor waktu butuh bantuan. Biasanya Indah dan Rani akan mengandalkan bahasa tubuh dan nada bicara. Aku jelas enggak bisa. Ugh! Ayo Nattaya jangan menyerah. Satu... dua... tiga. Aku memasang senyum manis terbaikku. Sementara tangan kananku bergerak untuk menyentuh lengan kiri Samudra. Kokoh. Bisa buat pegangan kalau enggak dapat pegangan di bus. Aku buru-buru melepaskan tanganku sebelum pikiranku lari ke mana-mana.

Samudra menatapku dengan wajah bingung.

"Tante Vera itu saudara?" tanyaku.

Saudara-saudara orangtuaku sering memanfaatkan hubungan darah demi mendapatkan potongan harga setiap kali mereka butuh tegel produksi pabrik milik keluargaku. Orangtuaku selalu memberi diskon dengan alasan enggak enak sama saudara. Sayangnya, saudara-saudara orangtuaku selalu berutang yang ujungnya tidak pernah dibayar lunas. Kantorku sih enggak mungkin lari dari tanggung jawab. Samudra enggak perlu khawatir soal itu.

"Dia adik ipar Mama."

"Berarti suaminya...."

"Adik Mama."

Aku mengangguk. "Kamu...." Aku mengganti nada bicaraku menjadi lebih manja. Tapi, terdengar sangat mengerikan. Jadi, aku kembali ke suara asliku. "Harus bisa merayu tantemu buat nurunin harga."

Dia melipat kedua tangan. "Kalau aku enggak mau?"

"Kamu harus mau," ujarku dengan nada tinggi. Eh, seharusnya aku merayu dia bukan judesin. "Paketnya terlalu mahal, melebihi anggaran Ma... eh Bu Ivone," ucapku dengan suara pelan.

Dia berpikir sejenak, lalu maju dua langkah dan mencondongkan badan hingga jarak di antara kami semakin menipis. Aku bisa merasakan embusan napasnya. Mau ngapain dia? Aku menahan napas. Jangan terintimidasi. Stay cool. "Oke, tapi kamu harus mau nemenin aku ke nikahan sepupuku besok." Bisikan Samudra sukses membuat bulu kudukku berdiri. Bukan karena suaranya mirip banshee, tapi bibirnya terlalu dekat dengan telingaku, membuat jantungku kebat-kebit. Aku lupa kapan terakhir kali aku berada sedekat ini dengan cowok. Tentu saja dengan mengeliminasi cowok-cowok yang berdiri di dekatku waktu aku berdesakan di bus.

Samudra mundur selangkah. Mulutnya kembali terbuka, tapi kata-kata yang meluncur hanya numpang lewat di telingaku. Perhatianku terpusat pada gigi taringnya yang berujung lancip, tapi tidak setajam taring vampir. Dia bisa memuaskan fantasi seksual cewek-cewek yang mendambakan kekasih vampir. Bukan fantasiku. Apa asyiknya sih punya pasangan yang enggak bisa kena matahari, umurnya lebih tua dari mbah buyutku atau seumuran denganku, tapi ketika aku menua dia tetap muda. Menurutku jauh lebih menyenangkan jika memiliki pasangan yang bisa diajak menghadapi segala macam kondisi cuaca dan akan menua bersamaku.

"Nat." Suaranya mengembalikan kesadaranku.

"Iya," balasku.

Senyum puas mengembang di bibirnya. "Kasih tahu alamat rumahmu besok aku jemput."

Young and RestlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang