Aku menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Sampai di dapur, aku menaruh jaket di sandaran kursi. Indra penciumanku tergelitik oleh aroma nasi goreng.
"Kalau doyan ya dimakan," ujar Ibu.
Ibu benci memasak. Setiap memasak dia akan mengucapkan kalimat itu.
Aku memasukkan nasi goreng buatan Ibu ke dalam kotak makan. "Makasih." Kutaruh kotak itu ke dalam tas, lalu kupeluk Ibu. "I love you, Mom."
"Udah sana berangkat." Ibu melepas pelukanku.
"Mas Angga belum pulang?" tanya Mas Damar sambil menuruni anak tangga.
"Mending enggak usah pulang daripada bikin pusing." Ibu memulai drama di pagi hari.
"Di depan ada ojek dua, tuh," ujar Mas Damar, sambil menatap jendela.
Kesempatan terbaik untuk kabur dari drama. Aku pamit dan keluar dari dapur. Kanya menyusulku.
"Nat, jaketmu ketinggalan." Mas Damar mengulurkan jaketku.
"Makasih. Mau dipeluk?"
"Ogah."
"Peluk aku aja, Mbak." Kanya merentangkan kedua tangan.
"Berpelukan," ujar kami bersamaan sambil berpelukan.
"Buruan, nanti telat," kata Mas Damar.
Aku dan Kanya bergegas mendekati driver ojek. Biasanya kami naik angkot, tapi sekarang sudah pukul 06.15 Dengan kecepatan angkot satu kilometer per sepuluh menit, kami bakal lama sampai di halte Transjakarta. Buntutnya, kami akan telat.
"Nanti jadi nonton, kan?" tanya Kanya.
"Iya." Aku naik ke jok belakang motor.
Berkat perjuangan tukang ojek yang jeli dalam mencari celah antara dua mobil yang melaju, aku sampai di halte sesaat sebelum bus yang kutumpangi tiba. Pencapaian terbesarku pagi ini adalah mendapat kursi di bus. Semoga di tengah jalan enggak ada ibu hamil atau orang tua yang perlu diberi tempat duduk. Aku memasang earphone yang akan memberi jarak antara aku dan manusia-manusia yang menumpang bus ini. Bukannya antisosial, aku malas meladeni orang yang mengusik kehidupan pribadiku. Awalnya dia nanya kerja di mana, tinggal di mana, lalu mulai mengulik hal yang lebih privat. It will ruin my morning.
Sebenarnya, aku mau mengobrol dengan orang asing asal tema obrolannya berisi. Contohnya, mengobrol dengan seorang sopir taksi yang mengibaratkan hidup sebagai roda, "Kadang di atas, kadang di bawah." Maksudnya adakalanya bahagia, tapi ada susahnya juga. Hari ini dapat rejeki nomplok, kemarin cuma dapat satu penumpang. Atau aku pernah mendengarkan curhat seorang ibu yang membanting tulang sendirian demi membayar cicilan rumah dan menghidupi anak. Aku belum pernah mengalami masalah yang dihadapi ibu itu atau punya solusi, tapi aku bisa meminjamkan telinga dan meluangkan waktu untuknya. Mungkin orang-orang di sekitarnya enggak ada yang bisa dan mau mendengarkan keluh kesahnya, sampai dia curhat sama orang asing seperti aku.
Penyuara jemala yang menempel di telingaku tidak tersambung dengan musik. Aku bisa mendengar dengan jelas obrolan antar penumpang dan adu klakson para pengemudi mobil.
"Datang ke nikahan Risa bareng, yuk," ujar seorang cewek yang berdiri di depanku.
"Makanya cari pacar, biar ada teman kondangan," balas temannya. "Kenapa kamu enggak terima si Aji."
"Aku enggak tertarik sama dia."
"Mau jadi jones terus?"
"Aku bukan jones."
I feel you, Girl. Ugh! I want to bitch slap your friend.
Ini salah satu hal menyenangkan dari naik angkutan umum, mengetahui secuil kisah kehidupan orang lain tanpa perlu mengenal atau berkomunikasi dengan orang itu. Setiap orang punya cerita. Kadang kala, aku merasa terhubung dengan seseorang sampai pengin memeluk orang itu dan bilang, "Hey, you're not alone." Sekali waktu aku pengin nimpuk orang karena terlalu naif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Young and Restless
Ficción GeneralNattaya adalah salah satu dari jutaan pekerja di ibu kota yang harus pergi pagi pulang petang. Waktunya pun lebih banyak dihabiskan di kantor dan jalan. Ketika sebagian besar perempuan seusianya sibuk mencari suami, dia lebih tertarik untuk memenuhi...