Gue tahu, lo suka dia. Gue tahu itu sejak dulu, sejak pandangan lo bahkan bisa melebihi tatapan ke gue. Tatapan yang ngebuat gue hanya bisa merasakan sakit diam-diam.
🎀Better Person 5🎀
.
.
.
.
."Chik?"
Pertanyaan seseorang itu membuat Chika yang mengerang dan membuka matanya pelan sontak terkejut. Ia pun mengarahkan penglihatan ke arah sosok laki-laki yang tengah duduk sembari membaca buku.
"Rif, gue tahu gue aman di sisi lo."
"Chika? Lo baik-baik aja, 'kan?"
"Gue tahu itu, lo gak usah sok naif. Gue tahu, selama ini lo juga mikirin gue seperti yang gue harapin."
Bagas yang sudah sampai halaman tengah itu kemudian membatasi dan mulai menutupnya serapat mungkin. Diletakkanya pada meja bertaplak hijau bunga itu. Wajahnya kali ini tak main-main. Ada rasa tak mau kehilangan di sana.
Chika masih melirik Bagas yang dekat dengan tempat tidur UKS itu. Ia bahkan tersenyum-senyum sendiri. Bagas sendiri melihat tangan yang mengayun-ayun dan mata sayu Chika. Sungguh, ia tidak tega menghancurkan kebahagiaan kecil itu.
"Gue tahu, gak ada yang gak mungkin di dunia. Gue percaya sama hal itu."
"Chika," ucap Bagas semakin serak dan berat. Bahkan ia tersenyum kecut. Kenapa ia harus berada di kondisi ini? Bahkan, ia tak pernah membayangkan seseorang salah tebak dirinya. "Gue bukan Rifki. Gue Bagas. Lo kenapa?"
Bagas masih berdiri tak berkutik. Sedangkan di luar, tengah ada guru yang berbincang dengan guru lainnya. Area yang digunakan upacara sudah tampak sepi jika dilihat dari jauh. Hanya ada beberapa murid yang berlewatan.
Gue tahu, lo suka dia. Gue tahu itu sejak dulu, sejak pandangan lo bahkan bisa melebihi tatapan ke gue. Tatapan yang ngebuat gue hanya bisa merasakan sakit diam-diam.
"Gak, lo Rifki. Bagas itu beda lagi. Gue hafal, kok wajahnya gimana," ucapnya masih senyum-senyum sendiri. Bahkan, keringatnya yang mengucur, serta wajah pucat itu tak pernah mengganggu suasana hatinya. Chika memang perempuan kuat.
"Chika, aku da—"
Riku yang sedang bersenandung ria itu kemudian menutup mulutnya. Bahkan, telinganya sempat bergerak-gerak saat mendengar suara Chika. Meski kakinya belum melangkah ke ruangan tersebut sekalipun.
"LO APAIN CHIKA GUE, HAH?" lanjutnya lagi. Ia terlihat kaget saat Chika mulai pingsan lagi. Padahal tadi, ia beruntung melihat kelopak mata Chika terbuka.
"Lo ngapain di sini, Gas?" tanya Keyla sembari memicingkan matanya. Mereka berdua mulai mendatangi Chika yang posisinya tepar tidak jelas. "Kenapa dia bisa pingsan sambil senyum-senyum sendiri kayak begitu?"
Bagas yang mendengar suara tersebut sontak memundurkan tubuhnya dan tersenyum kikuk. "Lo kelamaan datengnya. Gue ke sini karena kebetulan lewat mau nyalin data dari buku itu. Cuma, ngelihat jadwal istirahat baru dimulai dan gue sampai pertama kali, ya gue langsung jenguk."
Kalau bukan gara-gara lo yang pingsan begini, gue gak bakalan rela hadir dan ngebales pertanyaan sewot temen lo, Chik.
Riku berdeham membuat wajah Bagas seperti kepiting rebus. Dipelintirnya rambut panjang yang dikuncir setengah itu. Langkahnya mulai mendekati Bagas yang terlihat menyembunyikan sesuatu.
Keyla masih di depan pintu. Melipat tangannya sembari melihat tubuh Riku yang tinggi mulai menyudutkan Bagas. Riku terlihat sangat ganas saat meneliti gerak-gerak yang aneh.
"Gue heran sama lo sebenernya. Gue tahu apa yang terjadi, jadi lo gak perlu bohong. Soalnya, gue pengen menelan lo bulat-bulat akan satu hal."
Keyla tak sengaja tertawa. Bahkan ia seperti tersedak sesuatu. "Lo pasti laper makan orang ya, Rik?"
"Gue mau lanjut dulu," ucap Bagas sembari mengarahkan tatapannya ke sebuah buku yang ada di atas meja itu. Kedua tangannya mulai ia masukkan saku dan ia mulai berjalan dua langkah sebelum suatu suara menyahutnya lagi.
"Eits, lo gak bisa kabur dari gue meski lo termasuk orang baik selama ini. Lo pasti mau numpang atau ngalihin tugas jurnalistik, ya?"
Salah satu tangan Riku mulai menjalar ke lengan Bagas yang sudah dirapatkan itu. Bagas sempurna melototkan matanya saat itu. Tak sadar, bahwa perempuan bertubuh kecil seperti Riku mampu menahan sekuat mungkin hingga ia tak bisa melangkah lagi tanpa paksaan.
"Gue kira apa, ternyata itu yang mau ditanyain?" tanya Bagas sembari tersenyum manis. Berharap wajah kalemnya membuatnya terbebas dari rasa suka diam-diamnya itu. "Tentu aja gak dan ya, tolong lepas tangan anu lo ini."
Riku melepas tangannya yang melingkari lengan Bagas dengan kedua alis bertaut. Ia bahkan tak melihat manik mata cokelat itu lagi. Ia merasa malu setengah mati.
"Biarin dia pergi, lagian itu juga gak penting. Dia kan termasuk anak pintar di sekolah. Jadi, gak mungkin dia mau numpang tugas begitu."
"Yee, kan bisa aja kalau dia punya alasan khusus untuk melakukan hal tersebut pada Chika."
Chika masih memejamkan matanya. Keyla mendekati tubuhnya yang terbaring sembari mengelus lembut rambutnya. Gue gak tahu, kenapa semuanya kayak begini, Chik. Gue tahu semuanya sebagai teman khusus lo yang pandai melogika pula.
"Rik."
"Apa?" tanya Riku yang duduk di sebuah kursi sembari mengerucutkan bibirnya. Bahkan, dari tampang fisiknya, ia juga berusaha mencari alasan kenapa Bagas di sini.
"Nggak usah terlalu dipikirin hal beginian. Biarin semuanya berjalan sebagaimana mestinya kecuali kalau lagi darurat."
"Apa maksud lo?" Riku menatap tajam ke arah Keyla yang menatap lekat wajah Chika itu. Sangat sayang.
"Gak papa, lo cocok sama Bima."
Riku mengerutkan dahinya sembari bangkit dari duduknya dengan segera. Bahkan, seperti ada petir di matanya. Membuat jantung Keyla berdetak sangat cepat.
"APA LO BILANG?"
"Jangan ribut di sini. Gue gak suka orang ribut padahal kondisi orang lain juga sakit."
Aduh, aman gue.
Riku menggeram dalam hati. Bahkan wajahnya ingin membuat Keyla remuk sekarang juga. Ia pun kembali duduk di suatu kursi yang mana mejanya terdapat pot berbunga dan koran. Ia mengamati Chika dengan dalam. Menerawang lagi.
"Key. Chika kapan ya sadarnya? Gue ngerasain hal yang aneh, tapi sayangnya, gue emang bener-bener salah nebak untuk kejadian yang pasti. Lo tahu apa yang terjadi?"
Keyla mengedarkan pandangannya, hingga pandangannya tepat pada saat mata Rifki menatap lurus ke arah Chika yang tengah tertidur meski dari kaca yang tembus pandang nan jauh sekalipun. Mata Chika bergerak-gerak tanpa disadari mereka berdua saat itu.
"Kalau gue tahu, itu juga bakalan gue rahasiain karena lo tuh kalo emosian juga pengen gue musnahin meski gak bisa karena lo lebih tomboi."
"Minggu depan, gue ada lomba karate di gedung olahraga. Lo sama Chika dateng, ya?" alih-alih Riku sembari menundukkan kepalanya. Tubuhnya tampak tak bergerak di kursi yang berisi busa banyak dan berkayu jati itu. "Gue pikir, Chika butuh semangat meski yang disemangatin itu harusnya gue di sana."
Spontan, Keyla mengatur deru napasnya yang tak terkontrol seketika. Ia mulai berjalan kecil ke kursi panjang yang ditempati Riku sekarang. "Lo mungkin gak tahu garis besarnya. Namun, dari garis kecil yang benar-benar lo ketahui, lo udah jadi sahabat yang baik." Karena perkataan lo barusan ada kemungkinannya, Rik.
Riku memutar bola matanya. Bahkan, kala berniat baik pun, ia serasa rendah dalam segi penelitian kondisi seorang manusia. "Cewek selalu salah, Key."
"Suatu saat gue bakal kasih tahu lo apa yang sebenernya terjadi sama temen sebangku gue itu." Kecuali kalau kondisi dan seseorang udah merubah alurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Better Person ✔
Teen Fiction"Karena cinta belum tentu bisa datang untuk kedua kalinya dengan perasaan yang sama, jadi gue bisa milih bakal sakit sekarang atau di kemudian hari." -Chika "Gue gak tahu apa itu cinta karena itu cuma omong kosong belaka yang emang gak akan pernah...