Lo itu tahu gak sih, susahnya perempuan? Udah disakitin cowok sana-sini, disuruh ini-itu, dan menstruasi. Lo pikir kurang apa coba deritanya?
🎀Better Person 16🎀
.
.
.
.
."Chik, kenapa kemarin lo gak masuk?" tanya Keyla sembari menggunting sebuah batang pohon pisang yang sudah disetrika untuk membuat hiasan mading. Warnanya cokelat sedikit kegosongan seperti garis-garis panjang dan permukaannya terkesan kasar.
Memang, kemarin Chika sempat tidak masuk satu hari. Dari situ, banyak perubahan yang akan terjadi.
Chika bersimpuh di atas lantai dengan jam tangan hitam yang melingkar pergelangan tangan putihnya itu. Rambutnya tergerai dengan kepala menunduk. Mencoba untuk mengelem kardus-kardus yang belum dicat sama sekali.
"Ah, kesiangan. Kayak pas itu, di depan gerbang."
Diam-diam pikiran Chika melayang pada banyak kejadian yang telah ia alami sendiri. Mungkin, banyak cuplikan dirinya yang tersingkir, tetapi ia masih menganggapnya ada.
"Lo gak biasa ngasih alasan kayak gitu. Ada yang spesifik, gak? Kayak pas pelajaran IPS tadi, lo sampai ngasih tahu tanggal di mana sejarah peperangan itu ada. Wah, keren banget!" teriak Keyla dengan mata antusias, membayangkan Chika yang sebelumnya berdiri di depan meja guru sembari menjelaskan ke arah teman-temannya.
"Lagi pula, sesiang apa pun lo bangun, nyatanya lo selalu berangkat, 'kan? Lebih baik terlambat daripada kehilangan hal itu," lanjut Keyla sembari berdiri dan barang-barang di tangannya telah ia letakkan ke atas lantai, tepatnya di atas plastik hitam yang disebar begitu saja.
Jendela masih dibuka, tetapi pintu kelas hanya dibuka separuh. Terkesan gelap dan lampu tidak dihidupkan walau hanya satu buah. Sinar matahari yang meyeruak di bagian belakang memang cukup untuk menerangi. Keyla mulai memasukkan jari telunjuk dan ibunya ke mulut, mulai memberi kode seperti siulan.
"Gue mau nemenin Jihan ke Memu untuk beli peralatan yang kurang, ya buat mading. Lo di sini aja sama anak-anak lain."
Chika mendongak, tepat Keyla seperti ingin beraksi untuk berlari-lari di luar ruangan atau bebas sejenak dari tugas seperti ini. Keyla tentu tidak suka melakukan apa yang tidak sesuai kegemarannya.
Hanya ada sekitar enam sampai sepuluh orang perempuan yang ikut serta untuk pembuatan mading hari itu. Laki-laki sama sekali tidak ikut serta. Bahkan, Riku sekalipun yang tampangnya seperti laki-laki sudah mengumpat dan memarahi berulang kali. Entahlah apa yang akan terjadi berikutnya. Generasi kelas delapan di sekolah itu khusus laki-laki cukup memprihatinkan.
"Kalo perempuan bisa melakukan hal kayak begitu, kenapa laki-laki harus ikut serta, hah?" ucap Dio sembari membanting kursi dengan halus. Ia sudah menggendong tas. Hanya dia laki-laki terakhir setelah Riku berusaha membujuk. Tubuh Dio terkesan pendek dengan mata yang sipit.
"LO ITU TAHU GAK SIH, SUSAHNYA PEREMPUAN? UDAH DISAKITIN COWOK SANA-SINI, DISURUH INI-ITU, DAN MENSTRUASI. LO PIKIR KURANG APA COBA DERITANYA? KARMA ITU ADA, LHO! AWAS AJA LO GAK NGEBANTUIN. SETIDAKNYA BUJUK TEMEN LO YANG PENGECUT ITU!"
Riku mengumpat berulang kali sembari mengarahkan telunjuknya ke arah bahu Dio. Bahkan, ludahnya ingin saja keluar karena kebanyakan bicara. Dio sekadar memasang wajah jeleknya seperti risih disentuh-sentuh dan perlahan kabur meski sebelumnya, kerahnya ditarik dari belakang dan Dio bisa lolos.
"KALO COWOK ITU PENGECUT, MEREKA GAK BAKALAN MENANG DI PERTANDINGAN OLAHRAGA, BEGO!"
Riku naik pitam. Tangannya mengepal. Sudah ditolak untuk membantu, sekarang ia justru malah balas mengumpat. Riku mungkin sedikit kasar untuk jenis kelaminnya, tetapi ia cukup sangar untuk membantu kaum perempuan yang tersakiti seperti ini. "TANPA PEREMPUAN, KELAS INI HANCUR TAU, GAK!"
Semua orang saat itu tengah mengambil barang dari kelas lain. Sedangkan Riku hanya bisa menghela napas dan menendang pelan kaki meja yang ada di depannya. Matanya melotot dengan berkacak pinggang. "Buset, gue juga ogah, bukan lo doang. Cuma, suportif, dong!"
Keyla tiba-tiba datang dengan botol-botol plastik di tangannya dan berdiri membeku di depan cermin yang ditempel di sekitar papan tulis. Mulutnya membuka sempurna dengan tangannya yang melepas benda di tangannya hingga suara terbantingnya terdengar.
"Gak usah ngajak perang. Gue udah usaha."
"Serius, wonder woman kayak lo bisa kalah dari sekian banyak cowok gila di kelas ini."
"Ini namanya wajar. Gue juga gak ada yang bantuin. Lagi pula, gue juga ogah buat ikut-ikutan, lebih enak main game di rumah. Ya, gue sadar diri dan ngehargain orang lain."
"Dih, malah puitis di saat semuanya udah gagal."
"KEYLA! LO JANGAN BANYAK BACOT, GUE UDAH TENSI SAMA COWOK-COWOK ITU JANGAN GANTIAN LO!"
Bukannya mengambil botol-botol itu, Keyla justru berlari ke luar kelas sembari berteriak seperti orang yang butuh pertolongan darurat. Riku sekadar menggertakkan giginya dan berlari mengejar Keyla yang bahkan seenaknya berbicara, tetapi malah kabur.
"BIMA! TEMEN LO YANG GILA INI PASTI UDAH KETULARAN OLEH MANUSIA KAYAK LO!" teriak Keyla sembari melihat ke belakangnya, tepat saat Riku sangat dekat dengan tubuhnya. Riku memang bukan ahli olahraga saja, tetapi ia juga ahli mengejar orang berdosa seperti Keyla.
"GAK ADA BIMA DI SINI!"
Mereka terus berlari melewati beberapa kelas yang sudah tertutup ventilasinya karena memang ada jadwal khusus seperti kelas Chika yang cukup rajin.
Chika kini membangkitkan tubuhnya sembari meletakkan semua kardus yang dibentuk menjadi bentuk koala. Kini, tinggal diberikannya kepada ahli mengecat karena gambarannya tak boleh gagal. Memotong kardus menggunakan gunting saja sudah membuat jari Chika dan teman-temannya memerah dan terasa patah.
"Chik, ini nanti kasih foto-foto di kelas kita, ya?" tanya Nana sembari mengarahkan tangannya ke area kosong pada mading. Ia tengah berjinjit di atas kursi kelas karena bagian mading tersebut cukup tinggi atau melebihi batas ketinggiannya.
"Deket kamera aja pada ogah, apalagi mau difoto!" celetuk Riku yang sedari tadi duduk tenang memperhatikan temannya bekerja keras. Nyatanya, tugas Riku hanyalah menyuruh para laki-laki berhati sok manis untuk datang dan ia gagal. Sekarang, Riku sekadar pasrah sembari berpikir cara apa lagi yang bisa ia gunakan.
"Di media sosialnya aja, ya, mereka foto pake motor lho, Rik! Pada sok ganteng gitu, apa itu gak termasuk 'mau difoto'?"
"Ya, ini kan urusannya beda. Kalau soal kelas pasti pada ogah. Lelah hayati, Bang." Riku memasang wajah memelasnya dengan mengusap dadanya yang datar. Matanya terpejam seperti menghayati dan ia adalah orang paling tersiksa di kelas itu.
"Lo mah gak keringetan sama sekali, Rik. Bayangin kita yang ngebuat pegel-pegel pake tangan sampai nulis di atas kertas pun rasanya ragu."
Kali ini, suara murid lain menyahut dengan nada suara yang mengenaskan. Riku sekadar memutar bola matanya dan melipat tangan. Sedangkan Keyla, ia justru merasakan seseorang yang familier melewati kelasnya secara cepat. Cowok yang memakai seragam dan kepalanya ia tundukkan. Kenapa jam segini, masih ada murid lain yang lewat kecuali murid kelas ini?
"Chika sebagai ketua kelas itu ngegas banget tahu, gak! Lomba mading itu masih dua bulan lagi setelah piknik dan dia bener-bener ngelakuin seolah lebih cepat itu selalu baik," sindir Riku sembari cengegesan. "Gue seperti merasakan aura kesalahan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Better Person ✔
Teen Fiction"Karena cinta belum tentu bisa datang untuk kedua kalinya dengan perasaan yang sama, jadi gue bisa milih bakal sakit sekarang atau di kemudian hari." -Chika "Gue gak tahu apa itu cinta karena itu cuma omong kosong belaka yang emang gak akan pernah...