Better Person 11

154 9 0
                                    

Seharusnya gue juga gak pantes nangisin orang yang bahkan selalu memihak satu hati.
🎀Better Person 11🎀
.
.
.
.
.

"RIFKIII!" teriak Chika dengan suara sekeras-kerasnya. Sudah ia duga, tempat itu memang sepi. Tak ada seorang pun di sana. Hanya ada lumut, bebatuan, dengan daun-daun pohon yang mulai berterbangan. "Gue benci lo! Kenapa, sih, perasaan gue akan terus mengarah ke lo meskipun udah berpaling?"

Chika melipat tangannya sembari menatap langit yang luas itu. Rasanya, berdiri di sana seperti berdiri di rumah yang berlantai tiga. Pohon yang tinggi terlihat nyata di sini. Wajah Chika memerah, tangisnya turun, dengan kepala yang menunduk.

"Gue capek nangisin orang yang bahkan gak pernah sedih ngelihat gue pergi. Gue capek nangis yang bahkan, akhirnya sia-sia," ucap Chika melepas semua rasa sakitnya.

Angin terasa benar-benar sejuk kala itu. Namun, ia tak pernah bisa meredakan tangis Chika. "Tuhan, peluk gue sekarang, jangan biarin gue jadi orang jahat di antara mereka berdua."

Chika lama-lama terduduk dengan tangan yang memegang tepi balkon. Meski lapisannya terasa kasar sekalipun, serta sepinya membuat perasaan Chika semakin kalut, ia tetap di sini.

"Rif, gue benci lo," ucap Chika sembari menangis tersedu-sedu. Sebelah tangannya mulai menutup matanya yang bahkan tak pernah mau berhenti mengeluarkan air mata. Kakinya bersimpuh di atas aspal itu. "Gue lelah."

Bibir Chika bergetar hebat. Dadanya semakin sesak kala seseorang mulai mengusap-usap punggungnya dengan sabar. Tangisnya menjadi. "Gue mohon pergi dari sini, gue pengen sendiri," ucap Chika masih sibuk menatap gelapnya diri saat menutup matanya. Sekeras apa pun tangis Chika, tetap tak akan terdengar dari dalam gedung olahraga itu.

"Karena sendiri lo itu gak wajar. Gue takut, lo justru malah bunuh diri di tempat setinggi ini."

"Gue serasa udah mati, Gas. Gue serasa gak punya harapan. Rasanya, peringkat gue selama ini cuma sebatas angka dan perasaan gue hanya sebatas pasir yang tenggelam di laut."

"Nyatanya, kalo lagi sakit hati, seseorang emang cenderung mikirin sifat buruknya, Chik."

"Gue benci dia. Dia yang bahkan selalu menunjukkan bahwa gue itu bener-bener harus pasrah. Padahal, selama ini, hati gue selalu bahagia sebelum semuanya terjadi."

"Semuanya?"

Chika mendongakkan kepalanya. Bibirnya masih bergetar, air matanya berjatuhan sembari menatap awan-awan yang masih bergerak, selayaknya awan tersebut memendam harapannya selama ini.

"Gue bahagia banget sebelum gue nembak dia. Gue yang bahkan bisa ngerasain suka sesungguhnya. Gue yang bahkan masih bisa terbang dengan karir gue di sekolah. Gue yang bahkan selalu beroptimis gak akan nyerah," ucap Chika dengan sedikit tersenggal-senggal.

Bagas menatap nanar manik mata Chika yang bergerak, turut menatapnya dengan penuh rasa kecewa. "Gue capek untuk tahu, bahwa ditolak bisa ngebuat gue sejatuh ini, yang bahkan gak akan pernah sembuh. Gue capek, Gas."

Bagas seperti menahan napasnya kala Chika terus-terusan berbicara. Ada bagian dirinya yang turut sedih karena Chika sendiri tak pernah tahu, bahwa hati kecilnya mengharapkan seseorang di hadapannya. Namun, ia memang tak bisa memaksakan.

"Bukan lo doang yang capek, Chik." Suara Bagas terdengar tegas dan dalam. Bahkan, mata Bagas turut berkaca-kaca sembari duduk di samping Chika. Tangannya berhenti untuk mengusap-usap. Ia sendiri turut terluka.

"Gue juga suka seseorang yang bahkan, gak pernah tahu bahwa gue selalu ada."

Kali ini, Bagas mendongakkan kepala juga, menatap terbangnya burung-burung pipit yang nangkring di atas kabel listrik. Hidung Bagas memerah, ia hanya sanggup menahan segala tangisnya dalam diri sekarang.

"Nasib kita sama, Gas." Chika menoleh ke arah Bagas yang tampak tersiksa. Mata Bagas bahkan juga berair sepertinya.

"Kenapa, sih, cinta itu gak pernah tahu, bahwa orang yang diharapin justru gak pernah memihaknya?"

"Kenapa juga, sih, cinta gak pernah sadar, bahwa ada hati lain yang siap untuk menerimanya meski disakiti berkali-kali?" balas Chika menyambung pertanyaan Bagas sembari menatap sebelah wajah Bagas.

"Dari situ, semua butuh perjuangan," ucap Bagas sembari tersenyum kecut. Setetes air matanya turun. Bagas lagi-lagi tersenyum sembari mengusapnya. "Seharusnya gue juga gak pantes nangisin orang yang bahkan selalu memihak satu hati."

Bagas menghela napasnya kasar sembari tertawa seperti banyak yang ganjal selama ini, tetapi ia tetap diam. Ia menoleh ke arah Chika yang tampak kesakitan. Mata Chika sudah bengkak, pipi Chika yang sebelumnya merona saat datang ke sini pun hilang. Bagas benci itu.

"Pasti sakit ya, Gas?"

"Pasti, sakitan lo yang mengharapan orang seperti dia, meski akhirnya lo jatuh berkali-kali. Sama sikapnya yang gak sesuai, sama sosok yang selalu menghalangi lo, dan juga hati lo gak pernah sadar sesuatu yang lebih luas." Kayak perasaan gue yang udah terpendam dari dulu.

Kali ini, Chika juga tersenyum kecut. Ia mengingat, sudah berapa kali air matanya menetes akhir-akhir ini. Sudah berapa kali wajah menolak Rifki membuat Chika sakit sendiri. Rifki tentu tak akan pernah membohongi perasaanya sendiri. Bahwa rasa benci itu memang selalu buruk untuk Chika.

"Bentar lagi, udah ganti quarter buat pertandingan basket. Pasti, ada orang yang mulai berdatangan ke sini meski hanya sedikit. Gue gak mau ada yang ngelihat rasa sakit lo kecuali orang terdekat. Karena karir ketua kelas itu pasti penting, 'kan?" tebak Bagas sembari melihat bagaimana sikap pandai Chika selama ini.

"Gue gak tahu, kenapa jalan gue bener-bener sad terus, Gas. Semuanya itu terasa datar-datar aja. Gak ada yang bahagia." Chika menghela napasnya. "Gak ada yang bahagia kalo dia ngebenci gue terus. Gue capek akan hal itu."

Bagas mulai berdiri sembari mengusap celananya yang sedikit kotor menggunakan tangan sembari menatap Chika yang masih membeku. "Pada hakikatnya, setiap cowok itu gak bener-bener ngebenci. Sekalipun ngebenci, dia juga ngasih perhatian, 'kan?"

Bagas mulai memberikan uluran tangan kepada Chika. Chika menatap tangan yang terulur di depannya sembari tersenyum lega. "Makasih, Gas. Lain kali kalo gue sedih atau butuh sesuatu, gue gak akan segan-segan ketemu lo." Chika tersenyum mantap sembari mengusap tangisnya cepat-cepat. Ia menerima uluran tersebut dan berdiri.

"Gue akan selalu ada di sini sebagai sahabat lo."

Senyum Chika semakin merekah. Tangannya yang masih bergenggaman itu kemudian ia amati dengan amat sayang, lantas melepasnya perlahan-lahan. "Gue juga selalu ada sebagai sahabat lo yang selalu lo andalin di setiap karir ataupun perasaan lo sekalipun."

Bagas menundukkan kepalanya sembari tersenyum pahit. Lagi-lagi, dadanya terasa sesak mendengar kata-kata Chika. Ia paling benci jika akhirnya, ia juga menceritakan sosok pada orang yang sama.

Helaan napas lega yang terdengar dari Chika membuat Bagas tersenyum tipis.

"Gue balik dulu, ya, ke tempat supporter. Kalo gue berubah pikiran, gue bisa pulang ke rumah sekalian. Biar gue gak bisa nangis lagi karena di rumah gue bakalan tidur sepuas-puasnya."

Bagas menganggukkan kepalanya. Ia kemudian melihat Chika dengan rambut yang dikuncir seperti biasanya berjalan meninggalkannya dengan langkah yang begitu santai. Tak tergesa-gesa, bahkan wajah yang cerah.

"Gue harap, dengan kedekatan kita sebagai sahabat ini, lo semakin sering tersenyum dan ceria meski bukan gue orang ngebuatnya sekalipun, Chik."

Better Person ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang