Better Person 17

138 9 0
                                    

Kalo mereka susah, mereka yang harusnya berhenti dari semuanya.
🎀Better Person 17🎀
.
.
.
.
.

"Rif, tolong suruh temen-temen lo ikut kerja buat ngebuat mading yang bagus, ya? Hal-hal yang berat atau buruk bisa terjadi tanpa bantuan mereka," ucap Riku sehalus mungkin dengan tangan yang sedari tadi mengepal di balik pinggangnya. Ia tengah menahan emosi agar rayuannya berhasil.

Jam istirahat. Lagi-lagi, Rifki benar-benar sering untuk tidak keluar kelas dan Riku melihat catatan Rifki yang sesuai dengan papan tulis. Rifki tampak berubah. Sesekali, matanya melirik bosan ke arah Chika yang menyuruhnya begini. Katanya, selagi ada kesempatan, di sana ia harus mengambilnya.

"Gak mau. Hak Asasi Manusia, dong! Kalo mereka susah, mereka yang harusnya berhenti dari semuanya. Lagi pula, wali kelas kita itu juga kayak gak peduli. Buat apa kita peduli?"

Riku megusap janggutnya sabar. Ia mulai mondar-mandir di depan kursi Rifki. Mencari alasan logis. "Ya, dengan gak pedulinya wali kelas, itu tandanya kita harus kreatif dan ngebuat dia tersenyum meski hanya diam-diam."

Rifki kini berdecak sembari melanjutkan untuk menyalin materi. Wajahnya sangat tak acuh, membuat Riku ingin menonjok wajahnya dengan batu yang besarnya tiga kali lipat dari ukuran sekolah ini. Keyla sendiri harap-harap cemas melihatnya dari jauh.

"Singkirin wajah lo," ucap Rifki sembari melihat kepala Riku yang memiring dan menatap Rifki. Bahkan, ia tidak menunjukkan respons baik untuk membantunya membujuk para cowok tak tahu diri.

Riku tak tahu, bahwa di sana ada Chika yang sedari tadi menunduk dan menunggu dengan hati yang terus menjerit. Riku selalu mengseolahkan semuanya sama. Mau ia sedekat apa pun dengan orang lain, ia tak pernah bermaksud mengambil hati seseorang. Itu yang menenangkan Chika. Riku mudah bergaul dengan laki-laki meski banyak debat sekalipun.

"Setidaknya menyelesaikan atau mencicil, gitu? Jadi, kita gak bakal terbeban di akhir."

"SINGKIRIN WAJAH MEMBOSANKAN LO DARI HADAPAN GUE!" ucap Rifki dengan gemas sembari mengambil penghapus papan tulis dari dalam lacinya. Kelicikan Rifki yang memang tak terduga sekalipun. Diletakkannya di depan wajah Riku hingga Riku sendiri yang mengepalkan tangan langsung mengarahkan tinjuannya ke arah Rifki, tetapi segera ditangkas.

"BUSET, GUE UDAH PENGEN MAKAN PENGHAPUS MALAH DIKASIH PENGHAPUS BENERAN! RIFKI!"

Rifki menarik penghapusnya dan segera berlari keluar kelas. Sebelumnya, matanya sempat melirik ke arah Chika yang menatapnya sedatar mungkin atau mengalihkan dengan berbicara pada perempuan lain. Ada yang aneh dan ia tahu, bahwa sebenarnya, ini yang diharapkannya.

Riku dengan pipi yang menghitam itu melihat tangannya yang terluka berat akibat cengkeraman Rifki. Hingga saat Riku mengejar tanpa mempedulikan wajahnya, ia terpanggil. Tepat saat ia hampir meraih rambut kepala Rifki dan menjambaknya sekeras mungkin, lantas menendangnya.

"Udah, Rik!"

Jujur saja, Chika mengucapkan itu secara refleks setelah menahan diri sedari tadi. Riku dengan potongan rambut pendek itu menggeram keras dan berdecak, lantas memegang pipinya yang cemong. Sungguh, wajahnya terlihat mengerikan saat melihat cermin di kelas itu.

"Gak usah pake penghapus papan tulis sekalipun, wajah lo udah ngeri, Rik!" tukas Keyla sembari terbahak-bahak dan memegang perutnya. Riku menatap tajam sekali. Namun, keinginannya tertahan. Langkahnya mulai ia bawa untuk keluar kelas. Bukan karena ia mengejar Rifki lagi, tetapi membersihkan wajah.

"Gue heran, kenapa di kelas ini ada orang yang berkarakter kayak gue itu cuma satu. Gue doang. Jadinya, gue kesulitan buat ngehajar cowok sebanyak itu."

"Dari situ, lo emang bisa diandelin, Rik!" puji Keyla yang suaranya tak kedengaran karena Riku sudah benar-benar menjauh dari kelas tersebut. Chika hanya bisa memejamkan mata lelah dan meluruskan kakinya dengan posisi duduk miring. Sikutnya ia tumpangkan pada mejanya dan meja Riku. Ia tahu, rencana yang sudah dimulainya tak akan berhasil. Rencana yang ia buat sendiri.

***

"Chik, kayaknya ini hal terakhir yang kita lakukan di bulan ini, ya?"

Chika masih terdiam. Tangannya tiba-tiba berhenti untuk memasukkan benang-benang yang akan ia jadikan suatu rajutan.

"Gue bener-bener udah nyerah untuk ngebujuk cowok-cowok gak berpendirian itu. Rasanya, kalo kita ngelakuin dua hal bersamaan, rasanya melelahkan banget. Secara, satu minggu lagi piknik dan kita bener-bener gak dipaksa untuk melakukan ini seawal mungkin."

Riku lagi-lagi menyahut. Matanya menatap nanar untuk pekerjaan laki-laki yang masih kosong di sini. Memasang paku-paku, menyingkirkan meja-meja yang menutup tembok, dan juga membenahi posisi LCD di kelas tersebut.

"Kenapa gak lo aja, Rik?" tanya Nana dengan sunginggan senyum di bibirnya. "Kan dilihat-lihat, lo itu cewek rasa cowok. Siapa tahu, lo beneran sekuat mereka, 'kan?"

Riku yang tengah meminum air mineral bawaan dari rumah itu seketika menyemburkannya ke arah Keyla sembari tersedak. Keyla sekadar memasang wajah kaget dan mengeluarkan suara ingin menangis.

"WAJAH GUE, RIK! HUEEE," ujar Keyla sembari berlari ke tempat di mana tasnya berada dan mengambil tisu untuk membersihkan wajahnya. Secara, jika ia mau melawan Riku, ia sendiri yang akan kena getahnya. Bahkan, kena tonjokkan si profesional itu sekalipun. Menyeramkan.

Orang lain yang di sana sontak tertawa. Riku hanya menoleh ke sumber suara dengan salah satu alis terangkat. "Gue gak ada kaitannya dengan ini sejak awal, oke?"

Chika justru pura-pura tidak dengar. Matanya kembali menyusuri rajutan yang akan ia pasang di sekitar dinding nanti. Sesungguhnya, Riku pernah memintanya untuk menghapuskan namanya dari peserta tugas mading di kelas itu. Namun, akhirnya itu perjanjian untuk dirinya sendiri dan orang lain belum mengakuinya.

"Ah, Riku kelamaan. Sini ya, gue tunjukkin gimana caranya," ucap Chika dengan mengerucutkan bibirnya. Ia bangkit dari duduknya dengan tangan kosong. Tubuhnya kini mulai mengarah ke pojok ruangan, tepat di mana sapu dan alat kebersihan lainnya berada.

Ternyata, Chika benar-benar melakukan hal itu. Ia mulai meraih plastik hitam yang telah ia siapkan sebagai pemimpin kelas yang bijaksana. Diambilnya sebuah palu yang terlihat begitu berat dan Chika sama sekali tak menunjukkan rasa lemahnya.

"Ayo, Chik, semangat!" seru Riku sebagai penonton.

"Semangat apanya, maju, kek." Keyla datang dengan wajah yang sudah kering dan mulai menoyor kepala Riku.

Chika mengambil sebuah kursi dan menanjakinya. Dibawanya sebuah paku yang cukup tebal karena dinding sekolah itu sangat keras. Chika sekadar memasangkan pakunya tepat ke titik yang sudah ia buat agar tidak melenceng. Pada ketukan pertama, Chika baik-baik saja dan paku itu justru penyok.

"Wah, siapa yang beli paku kok kurang kuat gitu," ujar Riku yang berlagak seperti ahli netizen. Melihat itu, Keyla tertawa tebahak-bahak, sedangkan yang lain tetap serius pada pekerjanya diiringi lirikan mata, betapa hebatnya Chika yang mau mencoba.

"Bukan pakunya yang kurang kuat, cuma posisi lo yang kurang kuat aja. Sini, biar gue yang ngelakuin. Itu tugas cowok."

Keyla menutup mulutnya dan memundurkan tubuhnya kaget. Jantungnya bertebaran seperti serangan jantung melihat sesuatu yang tidak mungkin.

Ya, hal tidak mungkin sekarang berubah menjadi mungkin. Bima yang barusan mengucapkan kata tersebut dan tangan mengulur, diikuti dengan beberapa laki-laki di belakangnya, seolah keterbujukan kemarin memang berhasil. Beberapa laki-laki itu termasuk Rifki pula, membuat Chika seperti menahan napasnya.

"Kenapa harus gini?" bisik Chika sembari memalingkan wajahnya. Ini tidak sesuai harapannya.

Better Person ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang