Gue juga capek ngomong sama orang yang bahkan gak akan pernah ngerti gue.
🎀Better Person 13🎀
.
.
.
.
.Siang sepulang sekolah, mata Chika menjelajah banyak melihat tempat yang sebelumnya cukup mengerikan baginya. Gang di mana ia pernah tersiksa. Dari jauh, tempat tersebut disesaki banyak warga dengan pakaian rumahan dan pengendara yang ingin tahu.
"Ada apa di sana?" tanya Chika sembari mengerem sepedanya di pinggir trotoar. Masih sibuk melihat dari kejauhan. Di keranjang sepedanya, sudah ada banyak buku yang diikat, pasalnya ia keberatan membawa tas di punggungnya.
Dengan kaki sebelah yang masih menggunakan sepatu hitam itu, Chika dengan wajah lelahnya mendesah. Kakinya yang digunakan sebagi tumpuan kini mulai ia gunakan untuk mengayuh sepedanya. Ia takut sendirian ke tempat itu sebelumnya. Namun, mengingat tempat tersebut ramai dan ia menaiki sepeda, tentu membuat kesempatan selamatnya semakin besar.
Degup jantung Chika tak karuan saat itu kala melihat reporter dan wartawan di mana-mana. Mereka tampak sudah selesai melakukan pekerjaan dilihat dari tingkahnya yang meletakkan kembali properti ke dalam tas hitam. Wajah mereka terlihat serius sekali. Rasanya, Chika ingin memutarbalikkan sepeda, takut ini ada hubungannya dengannya yang datang kemarin.
Gapura gang tersebut berwarna putih dengan lambang yang bagus. Tingginya normal. Chika hampir masuk beberapa senti ke sana, tetapi suatu suara membuatnya menoleh.
"Lo ngapain di sini? Mau ikut campur?"
Chika sontak memundurkan sepedanya dan memarkirkannya di tempat yang lebih sepi dan lebih dekat dengannya. Ia menghela napas dengan keringat yang mengucur. Sungguh, penasaran di dalam otak Chika membuatnya harus berani menghadapi semua ini.
"Gue selalu ingin tahu tentang lo, Rif."
Rifki. Ia tengah terduduk dengan jaket hitam yang berkepala itu. Tangannya ia masukkan ke dalam saku, tampak misterius dengan kaki yang sedikit lebar dan juga mata tajam lagi.
"Udah gue bilang, lo gak pantes."
"Kenapa di antara banyak orang yang lihat, lo cuma peduli gue, hah? Apa salah gue yang pengen tahu juga?" tanya Chika sembari berjalan santai. Rasanya, ia pun ingin goyah, tetapi hatinya sudah tersulut.
Rifki masih duduk di sebuah kursi taman yang berwarna sedikit kecokelatan. Tampangnya kursi itu benar-benar layak pakai. Hanya ada dia seorang. Chika sendiri sadar, wajah Rifki tidak tidak akan dikenali dengan masker yang dipakainya.
"Apa salah gue ngelindungin lo?"
Jantung Chika semakin bertebaran. Ingin sekali ia tersenyum, tetapi rasa malu di dirinya membuatnya terus menahan diri.
"Ngelindungin sampah di hidup gue biar gak gak ganggu lagi," lanjutnya lagi dengan sinis.
Senyum Chika masih merekah. Chika berdiri di sebelah kursi yang diduduki Rifki. Ia akan berusaha untuk tak peduli ucapan menyakitkan Rifki. Chika menolehkan kepalanya. Memundurkan satu langkah saja dan melihat di mana tempat sasaran itu sesungguhya. Ternyata, tempat itu.
"Kenapa lo bisa di sini?" tanya Chika.
"Ini tempat umum."
Chika berdecak. Ia mulai memutar bola matanya. Rasanya, aneh saja orang misterius seperti Rifki bisa di sini. Ia seperti ingin mencari gara-gara.
"Ada polisi di sana. Tempat mengerikan temen lo itu dikerubungi banyak orang, meski gue gak bisa lihat garis larangannya. Cukup jauh, tapi mata gue bener-bener tahu itu tempat yang kemarin." Dahi Chika semakin berkerut. "Harusnya lo juga kena status penahanan, tapi ternyata, lo bebas dan justru memberanikan diri dengan masker itu."
"Lo seneng gue tersiksa? Udah gue duga lo emang penurun kesempatan hidup gue." Rifki berdiri sembari menyeringai di balik masker hitamnya itu. "Gue juga pengen tahu selebihnya di sini. Secara langsung. Gue gak ada urusan apa-apa sama minuman keras itu dan hal gelap lainnya yang udah kebongkar. Masker ini, biar Gero gak ngenalin gue dan njeblosin gue meski gak mungkin sekalipun. Dia selalu tahu caranya ngelemahin seseorang."
Chika menatap begitu dekat dan dalam mata Chika. Chika terlihat gemetaran sebenarnya meski dari suara, ia memang benar-benar lantang seperti ujian pidato di sekolah kemarin-kemarin. Sungguh, Chika ingin pingsan ditatap oleh orang yang bahkan ia dambakan selama ini. Namun, ia selalu membataswajarkan semua.
"Minuman keras? Hal gelap?"
"Gue bukan sumbernya dan gue secara logika gak bakalan kena. Gue sebenernya bosen setiap tahun harus gini terus, tapi gimana lagi, gue emang orang yang emosi."
Dalam hati Chika, ia berteriak keras. Bagaimana Rifki jujur akan semuanya. Bahkan, ia merasa, bahwa Rifki memang benar-benar percaya pada orang seperti Chika.
"Dari mata lo, lo udah ketahuan, tahu, Rif."
"Udah lah basa-basinya. Sekarang, gue mau tanya ke intinya." Kali ini, suara Rifki terdengar tegas. Sudah Rifki duga Chika akan tertarik ke sini sebelumnya, ditambah apa yang diucapkan Chika untuk ke perpustakaan lagi sepulang sekolah saat berada di kelas.
Rasa takut Chika semakin membuat suhu tubuhnya meningkat. Apa-apaan ini? Rasanya, meski Rifki sering dikatai bodoh karena jarang mengerjakan tugas, Rifki benar-benar licik. Selalu ada hal yang tersembunyi, membuat Chika sendiri penasaran dan akhirnya terjebak. Ia kalut akan hal itu.
"Siapa yang ngelaporin ini semua?"
"Gue gak tahu."
Untung saja, tempat yang diduduki Rifki memang cukup jauh dari tempat kejadian. Namun, Chika masih bisa melihat ramainya dari posisinya sekarang.
"Gak ada yang pernah tahu tempat itu, Chik kecuali orang-orang gelap dan lo."
"Gu-gue?"
"Dengan begitu, orang baik kayak lo emang sumber masalah dari semua ini."
"Masalah? Bukannya ini justru jadi hal baik buat lo? Gue pengen lo berubah untuk menjadi orang yang lebih baik! Gue capek untuk tahu bahwa lo itu nakal! Gue capek tahu bahwa lo itu segelap ini! Gue capek bahwa lo juga gak punya hati nurani!" ucap Chika sedikit berteriak. Rasanya, ucapan Rifki yang dalam dan menantang itu membuat jiwa Chika meciut. Ia takut.
"Mungkin lo bener-bener pinter, tapi lo gak bakalan bisa menipu orang kayak gue. Kesenangan, sumber kebahagiaan gue, semuanya berawal dari situ."
Chika menengadah. Tangisnya mengucur satu tetes. Rasanya, pikirannya ikutan kalut jika tahu bahwa Rifki menganggap hal yang berbeda dengan Chika sendiri. "Itu semua masalah buat lo bukan kebahagiaan!"
"Gue juga capek ngomong sama orang yang bahkan gak akan pernah ngerti gue."
Dari air muka Rifki, Chika masih mendapatkan kebaikan di salah satu sisi ciptaan Tuhan di hadapannya. Mata Chika sesekali ingin terpejam, tetapi ia masih kuat untuk memberinya semua keterangan meski berkaca-kaca sekalipun.
"Ya, lo keren bisa lolos tahap lomba basket kemarin." Salah satu pikiran tersebut membuat hati Chika tenang. "Cara lo untuk kompak dengan temen lo. Percayalah, jangan sesat kayak gitu."
"Lo bukan orang tua gue, gak usah sok ngatur!" ucap Rifki. "Kalo bukan lo yang ngelakuin, siapa lagi? Gue? Gak usah ngaco, Chik! Gue gak bakalan ngelaporin karena gue bener-bener gak berani karena dia udah gue anggap saudara sendiri!"
Rifki mulai membalikkan tubuhnya. Dengan wajah yang penuh emosi itu. Setelah tiga langkah berjalan seolah tidak terjadi apa-apa, tiba-tiba teriakan seorang gadis membuat Chika terkaget sendiri. Ia menyebutkan bahwa dia pelakunya.
"Gue yang ngelapor demi lo."
Salsabila namanya. Sosok yang mendekati Rifki terus seperti induk dan anaknya. Detik itu juga, Chika menghela napas sembari mengusap matanya. Ia menunduk, tak mau Salsabila salah paham akan kehadirannya. Menghampiri sepedanya terparkir dan melesat pergi dengan mengedarainya.
"Gue lelah untuk jadi pencari celah di antara mereka. Lo terlalu bodoh untuk peduli, Chik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Better Person ✔
Teen Fiction"Karena cinta belum tentu bisa datang untuk kedua kalinya dengan perasaan yang sama, jadi gue bisa milih bakal sakit sekarang atau di kemudian hari." -Chika "Gue gak tahu apa itu cinta karena itu cuma omong kosong belaka yang emang gak akan pernah...