Better Person 14

127 7 0
                                    

Chika tak pernah suka takdirnya, kadang. Saat ia benar-benar harus bijak di mana dirinya tak menginginkan sesuatu.
🎀Better Person 14🎀
.
.
.
.
.

Hari Kamis, tepat seorang Rifki harus mengikuti babak final pada tim basketnya. Rifki berdiri dari tempat duduknya untuk menyiapkan posisi di mana ia harus berdiri. Di tengah, tepat ia yang menjadi kapten di sana. Saat berjalan dengan sepatu dan pelindung lututnya itu, matanya sempat menyusuri sebagai permulaan pada tempat duduk pengunjung. Chika tak ada di sana.

Hitungan satu sampai tiga dimulai. Rifki yang sudah bersiap dengan ancang-ancang itu kemudian menatap setajam mungkin lawan dan bolanya, sehingga ia bisa benar-benar fokus. Tubuh tingginya terlihat kokoh. Matanya tak berkedip sekalipun. Ia mulai menyentuh bola basket dengan sepenuh tenaga dengan mata melirik-lirik.

"RIF, KE SINI, RIF!"

Rifki yang men-dribble dengan santai, tetapi gesit dalam suatu celah pun segera melakukan crossover dan melemparkan bolanya ke arah seorang pria dengan rambut hampir botaknya. Wajahnya lebih putih dibanding Rifki. Rifki berlari dengan gesit, tak peduli pundaknya menabrak pemain lain karena mereka bukan sumber umpan di sini.

"KEL!" teriak Rifki saat sudah menekati ring basket. Tangannya melambai-lambai. Siapa pun yang tak melihatnya pun akan tetap mendengarnya. Secara, Rifki memang benar-benar menantang setiap dalam urusan penting.

Detik itu, Rifki menangkap bola dengan dua tangan dan melompat tanpa menyentuh tanah. Melemparkan bolanya, hingga sorak-sorai di sana semakin ricuh. Berpikir bola itu akan masuk atau tidak. Rifki diam-diam menahan napasnya.

Kakinya terasa berkeringat pula sekarang. Matanya menatap lelah sembari fokus lagi. Ternyata, bola tersebut memang benar-benar masuk. Rifki hanya bisa tersenyum miring. Ia kini menoleh sejenak. Entah apa yang terjadi padanya. Ia sendiri tidak tahu. "Chik, tumben lo gak dateng." Rifki menunduk sembari melihat sepatu ungu dengan pita oranye itu. "Ah, gue ngomong apaan, sih!"

Baginya, itu adalah pertama kalinya ia mengharapkan sosok Chika dan penasaran pada Chika. Entahlah, itu termasuk dalam suatu timbal-balik antara kebaikan atau benar-benar hal lain. Namun, saat quarter berikutnya dimulai, Rifki benar-benar kurang fokus.

Rifki yang menghela napas berulang kali untuk menetralisirkan paru-parunya itu kemudian berlari lagi. Terlihat lebih mengerikan larinya sekarang. Ada emosi yang berkumpul di otaknya. Emosi karena Chika tidak datang. Alasan buruk macam apa ini?

Hingga saat seseorang menyahut nama Rifki dan Rifki justru tengah memandang arah lain, bola mulai terlempar, mengarah pada Rifki. Mata Rifki saat itu benar-benar membelalak karena baru menyadari sesuatu.

"RIFKI!!!"

Kejadian langka itu pun terjadi. Kejadian yang bahkan diyakini memang tak akan pernah terjadi. Sosok Chika datang dari pintu masuk dan berlari ke arah Rifki sembari membelalakkan matanya. Tubuh kurusnya itu terlihat terbirit-birit. Hingga tubuhnya sudah tepat menghadap ke Rifki, bola tersebut mengarah ke kepalanya di bagian belakang.

"Chi-Chika?" tanya Rifki tak percaya. Sungguh, ini mustahil.

Chika lagi-lagi menatap wajah Rifki seperti saat terlambat di depan gerbang. Menatapnya antusias, pula kebingungan. Ia baru sadar, bahwa bola itu dilempar oleh orang berbadan gemuk dan lemparan yang tentunya sangat mengerikan. Bagaimana tidak terasa pecah, bola basket itu cukup berat, sedangkan kepala Chika pasti dirasa lebih ringan daripada itu.

Orang-orang di sana terdiam sejenak. Bahkan, wasit yang ikut mengatur sekadar membuka mulut menanti apa yang akan terjadi. Sebelumnya, kepala Chika seperti lapisan yang memantulkan bola. Para pengunjung di sana sangat tidak percaya akan kejadian ini. Chika? Ketua kelas? Untuk apa ia melakukan ini?

Chika tak pernah suka takdirnya, kadang. Saat ia benar-benar harus bijak di mana dirinya tak menginginkan sesuatu. Orang mengetahui dirinya menyukai seseorang tanpa perasaan alias ditolak. Baginya, ia akan lebih anti sosial karena karirnya pasti akan lebih turun hanya sebab perasaan.

"Lo gak papa, Chik?" tanya Rifki dengan kebingungan. Keringatnya masih menetes di dahinya. Baginya, Rifki terlihat tampan.

Perlahan-lahan, tubuh Chika terombang-ambing dengan pandangan memburam. Detik itu, Chika terjatuh lagi di pelukan seseorang. Terjatuh dengan kepalanya yang terasa berdenyut. Ia tahu, otak bagian belakangnya telah terkena masalah sehingga gerak tubuh dan keseimbangannya menjadi menurun.

Untung saja bukan otak bagian depan yang berhubungan dengan pemikiran khususnya. Rifki hanya melihat Chika yang tumbang dengan tatapan nanar. "Kenapa, sih, harus lo lagi yang terluka?"

***

"Itu bukan mimpi, 'kan?" Chika terbangun dengan kepalanya yang teras berdenyut hebat. Rasanya, tidur berjam-jam tak membuatnya sembuh. Ia bangun di atas kasur dengan langit di luar jendela sudah menggelap. Ini sudah termasuk sore hari.

"Iya." Keyla menjawab sedikit acuh karena tengah membaca novel di kamar Chika. Tepatnya di pinggir kasur Chika sembari menyeruput minuman yang diyakini Chika, memang dibuatkan mamanya. "Gue heran, deh, Chik. Hidup lo itu kayaknya isinya pingsan terus dan akhirnya, gue nungguin lagi."

Wajah Keyla tampak frustrasi seperti berat harus terlibat dalam ketidakstabilan hidup Chika. Mulut Keyla yang sibuk mencerocos itu seketika menyimpulkan senyum. Matanya menyipit, membuktikan bahwa ini semua memang baik-baik aja.

"Lo yang ngajak gue buat lihat pertandingan finalnya Rifki malah lo yang pingsan sendiri. Gimana keadaan otak lo? Udah sembuh? Udah baikan, belum?" Keyla meletakkan buku novelnya di atas nakas dan tangannya kini ia gunakan untuk mengelus-elus kepala Chika yang terkena bola basket sebelumnya.

"Mama lo khawatir, tahu, gak, Chik! Sampai gue harus ribut-ribut nungguin Mama lo bawa mobil. Untung, sewaktu SD, gue pernah belajar cara ngelihat tingkat kesehatan seseorang, secara, gue kutu buku dulu. Ya, lo masih baik-baik aja. Jarak bola yang dilempar agak jauh, sehingga gravitasi atau lukanya semakin mengecil pula. Namun, bagaimanapun, itu pasti sakit. Gue gak pernah mau ngerasain."

Chika menegakkan tubuhnya sembari meletakkan kepalanya di punggung tempat tidur. Matanya terpejam. Rasanya, ia berani sekali saat itu. Tak peduli apa pun risikonya, ia tetap nekat melakukan hal di luar batas menyukai seseorang.

"Gue harap itu mimpi, Key. Gimana, coba kalo orang lain tahu, bahwa suka gue sama Rifki itu bener-bener dianggap ada? Gue takut reputasi gue, ya ... gitu."

Chika mengusap wajahnya kasar. Kali ini, ia mulai menepuk-nepuk pipinya. Berharap itu bukan dirinya. "AAAA, KEYLA, KENAPA GUE HARUS BEGINI!"

"ITU KHAYALAN CHIK. ITU GAK AKAN PERNAH TERJADI. APA GUE GAK USAH MASUK SEKOLAH AJA BESOK? AH ITU JUSTRU SEMAKIN GAK MUNGKIN!" teriak Chika sembari mengambil gulingnya dan menyembunyikan kepala di sana.

Keyla menarik-narik guling Chika dengan gemas. Chika terlihat seperti orang kurang akal jika begini. Apa hanya gara-gara bola basket, sikapnya berubah?

"Gue udah bilang kok sama yang lain, kalo itu cuma kebetulan dan secara, lo emang heroik buat semua temen-temen lo." Keyla tersenyum menenangkan hati sahabatnya. Ia masih saja menarik guling Chika, berharap raut wajah Chika membaik.

Kini, satu pertanyaan yang masih tersisa di benak Chika. Apakah Salsa melihat semua itu?

Better Person ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang