Better Person 6

297 16 0
                                    

Kapan sih lo tahu bahwa gue bisa jadi seperti yang lo pengenin? Kenapa lo bahkan gak pernah ngerti bahwa ada orang yang sedia untuk lo di belakang.
🎀Better Person 6🎀
.
.
.
.
.

"Ini udah semua, 'kan?" tanya Chika sembari mengusap pelipisnya itu. Sesekali ia melihat Bagas yang melihatnya secara samar. Entahlah, ia merasakan hal tersebut setiap dekat dengan Bagas.

"Udah." Jihan mulai memberikan bentuk lingkaran menggunakan jemarinya pertanda memang sudah beres. Ia kemudian mengambil segala sesuatu yang ada di meja perpustakaan sana. "Kayaknya gue bakalan bawa pulang yang ini, sama yang ini. Ternyata, selama ini, gue selalu bikin cerita yang gak sesuai kaidah. Banyak-banyaknya gitu, sih."

Chika hanya menuliskan segala yang penting selama ia baca. Sedangkan Keyla asyik mendengarkan lagu sekarang. Untung ia berteman dengan Chika. Jika tidak, mungkin karir Keyla juga tak akan berjalan lancar.

"Berarti, menulis karya fiksi itu gak perlu asal comot, ya. Kita perlu tahu banyak gimana alur ceritanya. Jangan gak jelas kayak ceritanya si Keyla. Oh ya, bulan depan kayaknya bakal ada lomba baca puisi tingkat kabupaten di SMP lain. Tulis nama kalian di sini, ya. Kelas delapan emang banyak kegiatan yang buat ngiler kecuali Keyla."

Chika membungkam bibirnya meski dalam hati ingin tertawa. Bahkan hanya gara-gara headset yang ia pakai tidak membuat raut wajahnya berubah sekalipun. Ingin sekali ia mencopot atau menaruhnya agar hatinya tersengat listrik dan sadar diri.

"Udah selesai?" tanya Keyla yang perlahan mencopot peralatan musiknya sembari melihat sebuah catatan kecil yang mulai beredar di meja persegi panjang milik perpustakaan itu. Pasalnya, mereka butuh riset lebih, perpustakaan inilah menyediakan apa yang dibutuhkan.

"GAK USAH IKUTAN AJA SEKALIAN," ucap Jihan sembari menatap gemas Keyla yang rambutnya dikuncir tengah itu. Bahkan, sedari tadi ia membaca komik yang kurang erat dengan tema risetnya kali ini. Sungguh, saat itu Chika ingin tertawa sekeras-kerasnya.

Bagas mulai menuliskan nama Chika tanpa disadari. Chika sendiri yang duduk di sebelah Bagas mulai terheran sendiri. Namun, ia hanya menatap kertas di sampingnya dengan tatapan normal.

"Udah gue tulisin, biar gak ribet."

Perhatian kecil. Hal itu sama sekali tak membuat Chika memalingkan perasaannya. Ia sekadar mengangguk sembari memberikan catatan tersebut kepada pemiliknya sekarang.

Kapan sih lo tahu bahwa gue bisa jadi seperti yang lo pengenin? Kenapa lo bahkan gak pernah ngerti bahwa ada orang yang sedia untuk lo di belakang.

Saat itu, Keyla adalah orang pertama yang berdiri di tempat tersebut. Ia bahkan tidak menulis namanya di buku catatan milik Jihan tersebut. Cukup banyak yang tidak menuliskan nama, padahal tentu, kegiatan langka ini adalah kesempatan terbaik mereka.

"AKHIRNYAAA," ucap Keyla sembari merentangkan tangan dan memejamkan matanya. Padahal, tiga jam di sana ia tidak mencari materi-materi penting apa pun.

"Apa cuma gue, sih, yang mikir kalau dia gak guna banget untuk ini?" batin Jihan sembari menghela napasnya panjang karena badan Keyla tampak geser ke arahnya.

Chika yang berhadapan dengan Keyla itu juga ikutan berdiri. Sontak, orang lain juga ikutan berdiri dan mengambil beberapa buku yang dibutuhkan. Kebanyakan bukunya adalah buku bekertas kuning dan juga sedikit usang meski sudah diberi sampul bening agar terlihat layak.

Bagas yang menggunakan setelan kemeja dengan rangkap baju putih polos situ tersenyum senang. Mungkin, lomba puisi nanti akan dikhususkannya kepada Chika, yang mana, Chika akan tahu siapa sebenarnya sosok yang selalu mengikuti hatinya seperti bayangan.

Perpustakaan itu tampak ramai hari ini. Mereka merapatkan tubuhnya untuk membiarkan langkah kecil mereka sanggup sampai ke tempat peminjaman. Lagi-lagi, Bagas hanya bisa memejamkan matanya sebelum langkah tersebut. Ia memang butuh waktu untuk dekat meski sebagai insan, ia tak bisa terang-terangan mengungkapkan.

"Mereka mungkin gak pernah tahu, kalau dulu, sewaktu SD lo pinter banget buat bikin cerita," tukas Chika sembari tersenyum tipis. Sesekali, mata hitamnya itu melihat jam tangan hitamnya sendiri. Mungkin, ada perpindahan kebiasaan seorang Keyla yang lebih suka dunia penggambaran.

"Lain kali gue bakal nunjukkin diri yang lebih istimewa meski bukan bidang ini sekalipun," ucap Keyla sembari tersenyum mantap. Bahkan bagian dari hatinya seolah tertekan untuk melakukan hal yang selama ini diremehkan beberapa orang. "Ngomong-ngomong, jangan pingsan lagi. Berat. Aku gak akan kuat nungguin kamu di UKS."

Mata Chika membulat seketika. Ia kemudian membuka mulutnya akibat kaget Keyla selalu mengulang masa lalu itu lagi. Jujur, Chika sendiri tidak tahu kenapa pingsan bisa selama itu. Berjam-jam. Apa lagi, benaknya berulang kali mengatakan kata "Rifki" meski Keyla menolak keras-keras.

"Idih, lagi dipuji-puji malah balesnya masa lalu." Chika menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri sembari berdecak. Hingga akhirnya, mereka sudah sampai tempat di mana mereka akan meminjam buku. Saat menyerahkannya, mata Chika mengedar ke luar. Ada bayangan seseorang yang membuat Chika tertegun.

"Biarin," jawabnya sembari menaikkan kedua alisnya. "Masa lalu itu menyeramkan kalau dibahas, makanya gue pengen lihat semburat wajah lo gimana. Mau kayak setan sekalipun gue bakalan ketawa."

"Untung sahabat."

"Untung gak bercanda."

Di tempat tersebut, terdapat beberapa map dan alat penganalisis sembagai anggota perpustakaan tersebut. Penjaganya yang kebetulan berjilbab itu tersenyum. Namun, tiba-tiba, suara Chika membuat Bagas sendiri kaget.

"Gue ngelihat seseorang yang gue incar selama ini. Kayaknya, gue harus ke sana," ujar Chika setelah beradu pendapat di dalam otaknya sendiri. "Key, titip ya, bawain kartu identitas gue sekalian."

Menit itu, Chika berlari ke luar perpustakaan, mengamati bayangan orang tersebut mulai menjauh. Mata Chika yang benar-benar jelas saat itu tidak menghalanginya untuk mempersaksama sosok tersebut.

Gue tahu, orang yang lo incar itu Rifki. Secara, gue lihat sendiri, ke mana arah penglihatan lo, Chik. Tapi, untuk apa dia di sekitar sini?

Semua orang di sana cukup mengalihkan perhatiannya, yang kemudian menganggap semuanya biasa saja karena Chika pandai untuk mengatur keadaan. Sedangkan Chika sendiri, masih terus berlari sembari terus melihat sosok yang berjalan di atas jalanan aspal. Memakai baju biru tua dengan bawahan jersey.

Rifki.

"Gue gak bisa jauh-jauh dari perpustakaan karena harus balik ke sekolah juga buat nganalisis riset tadi lagi dan tentu, dijemput orang tua di sana. Jam setengah lima, Chik," ucap Chika sembari ngos-ngosan. Jujur, ia tidak kuat, meski sangat dekat.

Apa ini yang dinamain, kita dekat, namun tak bisa menggapai?

Saat mulai mendongak, orang tersebut sudah tidak ada. Padahal, Chika sudah bertekad tahu segalanya tentang Rifki meski diam-diam. Waktu itu, Chika sempurna mengeluarkan rasa lelahnya untuk menarik dan melepas napas.

"Lo mau ngapain di sini?"

Tempat itu cenderung lebih sangar karena masuk suatu gang yang benar-benar tak jauh dari perpustakaan. Chika masih ingat, gang tersebut bukanlah gang rumah Rifki berdasarkan daftar murid. Keringatnya semakin deras melihat orang di hadapannya, dia memang benar-benar akan mati sekarang.

Better Person ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang