Akan ada tahapannya lo melupakan seseorang. Meski bertahun-tahun sekalipun.
🎀Better Person 25🎀
.
.
.
.
.Seorang perempuan berusia sekitar dua puluh tahun memegang tas ranselnya dengan kuat. Matanya mengedar pada area universitas terkenal di Solo. Udara semilir sesekali mengibas rambutnya yang dikuncir tengah menggunakan karet kecil.
"Chika!" teriak seorang lelaki yang tak jauh dari keberadaan Chika.
Chika yang merasa dipanggil dengan suara familier itu segera menoleh ke sumber suara dan benar, napasnya benar-benar tertahan. Ada yang bergejolak lagi di hatinya.
Laki-laki tersebut mulai berlari dengan senyuman yang mengembang. Di lubuk hati Chika, ia ingin menjauh dari tempat itu. Namun, ada alasan ia harus tetap di sini.
Tanpa aba-aba, lelaki dengan tinggi sekitar seratus delapan puluhan itu mulai memeluk Chika. Tumbuhan dengan daun menjari itu begitu menyejukkan. Rifki tak memperhatikan orang lain yang diam-diam mencuri pandang juga ke arahnya. Ia terlihat sangat keren.
"Gue rindu lo, Chik. Gue beneran tahu arti cinta. Tentang rasa gue sama lo."
Chika tak membalas pelukan itu. Dulu, itu adalah mimpi bisa dipeluk Rifki sedalam ini. Bahkan, jemarinya menggerayang di sekitar pinggangnya dan juga matanya membuat Chika tertegun. Ia juga rindu hal yang sama. Ia rindu menatap wajah Rifki setelah sekian lama.
"Gue kira bakalan satu SMA sama lo."
Chika meneteskan satu air matanya. Sungguh, ia hafal benar bau Rifki yang menjadi candu baginya dulu. Bahkan, pelukan itu seolah menjadi penyatu mereka berdua lagi. Sesungguhnya, Chika ingin menjauh dari hal-hal yang menyakitkan.
"Lo bilang semua ini salah, Rif. Lo bilang kita sekadar teman. Gue gak suka pake bahasa 'rindu' segala. Apalagi, pelukan yang gak bakalan ada maknanya lagi," ujar Chika dengan setetes air mata lagi yang menyusul.
Ingin rasanya ia memegangi dadanya yang terasa berdenyut. Pikirannya benar-benar melayang pada setiap perjuangannya. "Gue pikir, gue beneran bisa setia sama yang namanya cinta."
Chika menelan ludahnya kuat-kuat. Matanya tak sanggup untuk tak menangis. Bahkan, tangannya terasa tak berdaya untuk mendorong tubuh Rifki untuk menjauh.
"Lo pernah bilang, bahwa gue gak pantes buat lo. Lo gak pernah tahu gimana caranya gue berusaha ngebenci lo karena terlalu sayang."
Pelukan itu perlahan-lahan meregang. Chika dapat merasakan bahwa tangan Rifki terasa kaku. Bahkan, napasnya seperti tersendat untuk membalas ketidakmungkinan yang dirasakannya.
"G-gue sakit setelah kejadian itu. Gue capek ngelaluin itu sendirian. Lantas, gue beneran punya keluarga di sisi gue," isak Chika dengan menatap langit yang cerah sat itu.
Chika memang harus menghadapi ini. Alasannya menjauh sejauh-jauhnya, demi misinya. Ia butuh keteguhan agar misinya lancar.
"Maafin gue, Chik. Maafin gue ...," ucap Rifki dengan suara yang berat. Chika peka terhadap aura kesedihan di wajah Rifki saat itu. "Gue selalu punya alasan untuk itu semua."
"APA ALASANNYA, RIF? KURANG JAHAT APALAGI, SIH, LO? KENAPA LO ITU BENERAN GAK TAHU PENDERITAAN CEWEK? APA SEREMEH ITU GUE DI MATA LO? APA KURANG PERJUANGAN GUE BUAT BIKIN HIDUP LO LEBIH BAIK?" ucap Chika dengan sedikit berteriak. Air matanya turun begitu saja. Semuanya. Dari kedua mata.
Tangan Chika sempat menunjuk-nunjuk dada Rifki, seperti Rifki memang sumber masalah dari semuanya.
"Dan lo pasti punya alasan kenapa lo juga rela ngomong, kalo lo punya pikiran yang sama. Lo yang menjauh dari gue, bahkan, wajah lo yang tampak bersyukur saat kelas sembilan kita gak sekelas lagi. Gue juga terluka lihatnya, Chik. Yang gue kagumi, lo gak pernah berpaling sekalipun dari gue."
Rifki meraih dagu Chika dan menangkupnya dengan kedua tangan. Mata Chika terlihat begitu kalut. Bahkan, Rifki yang sedikit berkeringat pun tak lelah untuk bisa bicara dengannya. Rifki serasa hancur dari awal. Begitu pula dengan Chika.
"Itu semua gara-gara kakak gue, Rif. Lo juga punya kakak kandung yang udah ngelukain kakak gue. Mana mungkin gue bisa suka sama saudaranya secara statusnya udah ngerusak perasaannya?
Kakak lo itu selingkuh di mana-mana. Mungkin, saat itu emang SMA, tapi lo tahu sendiri, Rif!"
Pundak Chika bergetar. Ia masih bisa melihat mata Rifki secara dekat. Tatapan yang sangat ia impikan dari dulu. "Gue beneran takut digituin. Secara, lo udah ngebuat gue sakit berkali-kali. Alasan apa lagi yang buat gue perlu untuk gak jauh dari lo?"
"Chik. Kakak gue itu bukan gue. Gue udah berubah berkat lo. Bahkan, Salsa sekalipun gak bisa sejauh itu." Satu tetes air mata juga turut turun dari mata bening Rifki. Chika terisak semakin keras saat itu. Hingga ia membekap mulutnya sendiri. "Kakak lo pasti ngelakuin itu biar lo gak nangis terus gara-gara gue, 'kan? Dia bahkan nyuruh Keyla biar gue menjauh dari lo. Bahkan, ada pesan yang ia ketik, tapi gue tahu itu pembajakan."
"Apalagi, setelah gue berjuang, lo semakin parah, Rif. Lo bahkan dikabarin suka balapan liar, pernah mabuk gitu. Gue benci hal-hal berbau gitu. Gue capek, semakin dalam, gue sendiri juga yang miris." Chika mengentak-entakkan sepatunya agar ia bisa mengalihkan perasaannya sebentar. "Meski rasa setia gue emang gak pudar, penolakan yang kedua, hari sebelum gue sakit parah, itu ngebuat gue wajib jauh."
"Gue juga tahu banyak tentang lo, tanpa lo sadari, Chik. Alasan gue menjauh juga karena sedikit terganggu, apalagi mau kelas sembilan, di mana UN pasti akan jadi puncaknya.
Gue gak bermaksud nyakitin hati lo, gue cuma pengen membenahi semuanya sendirian dengan kata-kata lo."
Ah, kini, pertanyaan yang terus terulang di benak Chika terjawab oleh orangnya langsung. Rifki memiliki kumis tipis di bawah hidungnya, dengan wajah yang semakin putih. Tatapannya bahkan lebih teduh dibandingkan dulu. Tata caranya memperlakukan Chika, ia sudah berhasil menjadi orang yang lebih baik.
"Chika," ucap seseorang yang menyahut dari belakang Chika. Chika segera mengusap air matanya meski masih berbekas. Meski air matanya bahkan terus-menerus turun karena terpikir oleh asmaranya yang satu ini.
"Bagaimanapun, gue gak bisa ngalahin takdir, Rif. Gue udah milih Bagas yang lebih peka buat gue. Maaf. Setidaknya, gue bangga sama lo yang udah berubah kayak begini. Mari kita anggap semuanya udah selesai dan lupakan perlahan-lahan. Akan ada tahapannya lo melupakan seseorang, Rif. Meski bertahun-tahun sekalipun."
Bagas datang dengan setumpuk buku dan lengkap dengan kacamata hitam di matanya. Ia mengenakan kemeja hitam putih saat itu. Ditepuk-tepuknya bahu Bagas dengan tatapan sayang meski mata Chika tampak tersiksa melihat kehadiran Rifki sendiri.
"Gue akan ngelupain lo, Chik. Maaf untuk segalanya. Makasih udah ngebuat gue jadi orang yang lebih baik."
Bagas berusaha mengenal sosok di depannya. Ia lebih rapi seperti dugaannya. Mendengar penuturuan Chika, ia semakin lega. Bagaimanapun, harus ada yang terluka demi dua insan saling jatuh cinta. Ia juga kembali sadar, setelah ini, hidupnya akan lebih bebas karena penyesak hatinya dulu akan menjauh.
"Lo bakal dapet orang yang lebih baik pula, Rif."
--TAMAT---
KAMU SEDANG MEMBACA
Better Person ✔
Teen Fiction"Karena cinta belum tentu bisa datang untuk kedua kalinya dengan perasaan yang sama, jadi gue bisa milih bakal sakit sekarang atau di kemudian hari." -Chika "Gue gak tahu apa itu cinta karena itu cuma omong kosong belaka yang emang gak akan pernah...