"Rifki."
"Chika."
Dua orang itu mulai memanggil nama satu sama lain setelah bel pulang sekolah dibunyikan. Chika dengan setumpuk buku yang didekap di dadanya dan juga rasa yang canggung. Sedangkan Rifki, ia memasukkan kedua tangannya ke saku sembari mengode temannya agar lekas pergi sejenak.
"Gue ada urusan. Gak usah kepo, oke?"
"Ooo, jadi dia alasan lo pinter, nih?" tanya Rehan.
Dio dan Rehan. Mereka tampak akrab dengan sosok Rifki di kelas. Dengan cekatan, Dio mulai membekap mulut Rehan dan meraih kerahnya agar segera keluar. Ya, Dio tahu siapa yang memberinya obat muntah saat itu.
"Dibilangin gak usah kepo," ucap Dio dengan mengamati jam tangannya. Rehan yang diseret-seret kerahnya itu sekadar menatap garang. Seolah ingin mengigit jemari Dion yang seenaknya sendiri.
"Yee, Rifki kan orang terdekat gue! Wajar, dong!" ucap Rehan dengan mengepalkan sebelah tangan dan meninju-ninjukan ke tangannya yang lain. Bahkan, ia mampu mendengar sepatunya berdecit kala ia diseret. Dio memang memaksakan.
Mereka berdua segera berjalan menuju balkon, kebetulan kelas Chika memang di lantai dua. Mereka mengamati lingkungan sekitar yang mulai sepi dan anak-anak yang piket sepulang sekolah. Kini, hanya ada Chika dan Rifki yang sedang butuh pembicaraan.
"Jadi?"
"Gak, Rif, lo duluan."
Rifki dengan dasi biru tua dan juga wajah lelahnya seperti belajar keras itu mengedarkan pandangannya dan membasahi mulut terlebih dahulu, lantas berdeham. Ada yang sakit kala Rifki melihat tatapan Chika. Bahkan, senyum di antara mereka tak terlihat tulus.
"Gue tahu ini salah."
"Apa yang salah?"
"Jadi, gue pikir, kita itu sebatas teman, gak lebih. Jadi, tolong anggap semuanya biasa aja."
Raut wajah Chika tak berubah. Ia sama-sama takut. Yang berbeda, jantungnya serasa ditepuk sebegitu kerasnya hingga rasanya ia ingin tumbang detik itu juga. Diamatinya mata Rifki yang menjadi candunya lamat-lamat. Chika mati-matian menahan air matanya keluar saat itu.
"Sama, gue juga berpikiran seperti itu, Rif." Chika tersenyum miris. Matanya tak menunjukkan bahagia sama sekali. Hanya ada rasa sesak di dadanya kali ini. Chika tahu, seharusnya, Rifki tahu apa yang ia maksud. Bahwa ia sepenuhnya berbohong.
"Ahhh, leganya. Dengan begitu, gue gak bakalan kepikiran lagi, Chik. Makasih, ya."
Rifki menepuk-nepuk bahu Chika sebanyak dua kali. Chika hanya mematung. Tidak bersorak riang maupun membalas tepukannya. Hati Chika terasa tertusuk sesuatu yang tajam. Apa alasan lo bisa bilang gitu ke gue, Rif? Setelah semalam pula kita bisa bercengkerama sebegitu dekatnya?
Rifki pergi.
Melangkah kaki menuju keberadaan temannya yang pastinya lelah menunggu. Chika dalam hati memaki-maki Rifki yang bahkan membuatnya mendapatkan banyak makna indah dari kosakata obrolan di ponsel. Saat Rifki benar-benar keluar dari kelas itu, Chika bersandar di sebuah meja dengan satu tangan yang menjadi tumpuannya. Ia meneteskan air matanya yang sedari tadi tertahan.
Gue capek, Rif. Capek melebihi apa pun. Seharusnya gue tahu kalo lo itu benci gue. Seharusnya gue gak berharap, kalo akhirnya harus melepaskan gini.
Chika membekap mulutnya sendiri. Menatap langit kelas yang kosong. Kejadian ini seperti ia ditolak sebelumnya. Lama-lama, semakin diingat, hatinya tersayat. Chika mampu merasakan air matanya jauh lebih deras dibandingkan apa pun. Isakkannya yang muncul dengan keras membuat Chika terus-terusan menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Better Person ✔
Teen Fiction"Karena cinta belum tentu bisa datang untuk kedua kalinya dengan perasaan yang sama, jadi gue bisa milih bakal sakit sekarang atau di kemudian hari." -Chika "Gue gak tahu apa itu cinta karena itu cuma omong kosong belaka yang emang gak akan pernah...