Better Person 23

130 9 0
                                    

Gimana jadinya kalo gue milih menjauh saat gue udah berhasil ngebuat lo jadi orang baik? Apa yang bakal terjadi?
🎀Better Person 23🎀
.
.
.
.
.

Sudah satu minggu semenjak piknik itu usai. Kabarnya, besok mereka akan berjumpa lagi. Chika masih saja sibuk dengan ponselnya. Tubuhnya telungkup, dengan kamar yang begitu gelap. Gelap sekali. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tepat untuk ia tidur.

Chika

Rif, lo gak tidur?

Rifki

Gue gak bisa tidur

Karena lo ngechat gue terus

Chika tersenyum malu-malu tanpa rasa kantuk di wajahnya. Ia memamerkan giginya yang sudah digosok dan juga mata yang sangat kuat untuk melihat cahaya di gelap. Padahal, itu bukan hal yang baik. Yang disayangkan adalah, Chika benar-benar melupakan misinya.

"Jadi, gue alasannya gak bisa tidur?" tanya Chika dengan meletakkan jemari tangannya ke bawah dagu. Chika bahkan belum memakai selimutnya, hanya sekadar menyalakan lampu kecil. Jemari semangatnya itu kemudian diletakkan di atas ketikan.

Chika

Ya udah, tidur sana, gue

gak bakalan ganggu lagi.

Lantas, pesan itu benar-benar mengakhiri percakapan mereka yang sebenarnya panjang. Chika menghela napas selang beberapa menit Rifki tak membalasnya lagi. Desain biru kontras di layarnya, justru membuat jari Chika semangat mengulang pesan sebelumnya.

Tentang Chika mengirim Path Daily.

Sajak-sajak yang mengandung semangat atau bahkan membuat Rifki dapat menjadi sosok lebih baik. Ya, Chika benar-benar merasakannya sebelum piknik sekalipun.

Berulang kali ia tekan quote yang berupa gambar dan berisi tagar itu, lantas membacanya berulang kali. Latar jembatan dan bunga yang beguguran di atasnya membuat Chika berusaha mengambil makna lain. Tiba-tiba saja, perasaannya tak enak. Isakan seorang samar-samar membuatnya bergidik ngeri.

"Oke, ini bukan piknik lagi yang bisa nakut-nakutin," tukas Chika sembari menyalakan senter di ponselnya. Ia berusaha mencari sakelar lampu yang berdekatan dengan sebuah pigura foto. Ruangan yang sepenuhnya gelap itu, kini sudah terang kembali.

Suara itu masih ada.

"Jangan-jangan Kak Tiara?" tanya Chika sembari membatin yang tidak-tidak. Rambutnya yang tergerai nan sedikit kusut itu terkibas. Chika dengan kaki tanpa alas itu berlari menuju pintu dengan dua kaca yang menempel. Wajah Chika memucat. Suara pintu yang terbuka mulai terdengar, hingga menunjukkan ruangan luar.

"Kak?" tanya Chika sembari mengetukkan pintu kamar kakaknya yang tak jauh dari kamarnya. Tepat bersebelahan dengannya. Chika dengan celana di atas lutut dan pakaian lengan pendek segera memutar knop pintu dan membuka.

Napasnya tertahan. Jantungnya berusaha menetralisirkan keadaan sekarang.

"Lo kenapa?" tanya Chika sembari memasuki ruangan yang padang itu. Ditutupnya pintu pelan-pelan. Chika sadar, jika ia berbicara banyak, yang ada kakaknya semakin stres. "Gak biasanya lo gini."

"Jauhin Rifki, Chik."

***

Rifki maju menuju papan tulis dengan spidol hitam di genggamannya. Matanya mulai menelusuri area LCD yang menunjukkan sistem organ tubuh.

"Nah, Rif, tolong lingkari dan beri keterangan apa itu nama dan fungsinya," ujar Bu Warni dengan kacamata dan jilbabnya. Senyumnya tampak begitu tulus, membuat Chika sendiri membatin, bahwa Rifki benar-benar berubah.

Suasana saat itu seketika sunyi. Ada yang mengigiti kukunya, takut ia melakukan hal yang sama atau bahkan, mengibaskan tangan tanda meremehkan. Kipas angin yang berputar di kelas itu seperti tak berfungsi. Chika sendiri panas dingin. Materi itu sedikit rumit, apalagi banyak yang belum sempat mencatatnya. Pendikte yang cepat.

Rifki mengamati papan tulis yang disinari dan tergambar jelas. Tepat sekali di depan matanya. Ia mulai mengarahkan pucuk spidolnya ke arah papan tulis. Gerakan tangannya membuat orang di kelas seperti menahan napas dan berkeringat dingin.

"Ya, benar," ucap Bu Warni setelah Rifki selesai. Tulisannya mungkin seperti cakar ayam, tetapi bisa dibaca dan benar. Wajar Bu Warni tak meremeh lagi sekarang. Chika turut tersenyum. Bahkan, seisi kelas mulai menepukkan tangannya kagum.

"GILEEE, SI RIFKI! SEJAK KAPAN DIA PINTER?"

"Rifki habis minum apa, kok bisa bener?"

"Aish, coba aja gue yang maju, pasti kalian juga heran kenapa gue bisa sepinter itu. Padahal, gue udah pinter dari dulu, ya, gak?" tanya Bima dengan menyatukan jari tengah dan telunjuknya, lantas mencium dan melepaskannya seolah sapa penggemar.

"BODO AMAT, GUE GAK BAKALAN PERCAYA!"

Bima yang hiperaktif itu kemudian mendapat lemparan kertas dari murid lain dan seruan mengejek. Bima bahkan tak pernah masuk dua puluh besar. Apalagi, yang dilakukan setiap pelajaran juga sama.

Sontak, seisi kelas pun tertawa. Bima mendelik gemas ke arah teman-temannya. Dia bahkan mengata-ngatai balik orang yang meremehkannya. "ETTTDAHH, SEWOT AJA NIH ANAK MANUSIA."

Chika tak henti-hentinya menepukkan kedua tangannya pelan sembari melihat Rifki yang tampak tersenyum ke arahnya. Matanya menatap kosong. Jawabannya cukup rinci. Apa ini yang dinamakan orang kurang pintar sekalipun bisa memberi kejutan yang dahsyat?

Apa lo beneran berubah gara-gara gue, Rif? Gimana jadinya kalo gue milih menjauh saat gue udah berhasil ngebuat lo jadi orang baik? Apa yang bakal terjadi, Rif?

Senyum miris timbul di bibir Chika. Matanya berlinang takut. Ia sungguh bimbang. "Gue kagum sama lo," bisiknya dengan suara yang sangat tipis nan tak terdengar. Keyla bahkan menyenggol bahu Chika dengan kedua alis yang naik turun.

"Apa ini ada hubungannya sama lo, Chik? Kayaknya lo emang ngerubah banyak, ya? Gue lihat, lo beneran memperhatikan Rifki sebegitu dalemnya saat satu bus sebelumnya."

Chika lagi-lagi bernostalgia. Senyum mirisnya berubah menjadi senyum tulus. Rifki segera kembali ke tempat duduknya dengan tos-tosan dari teman-temannya. Tegap tubuhnya yang sangar kini semakin terlihat. Ia benar-benar bersinar semakin hari.

"Aaaaa, Keyla, rasanya piknik cepet banget, ya," ucap Chika sembari memeluk Keyla. Riku justru tersenyum miring setelah tertawa kagum. "Gue beneran pengen balik, nih!"

Di bus, Chika sempat mencuri banyak pandang ke arah kursi belakang. Dengan sumpalan earphone-nya dan juga wajah mengalanalisis orang-orang di sana. Senyum Chika terus tergurat malu-malu. Tangannya menutup kedua mata, yang suka mengintip Rifki diam-diam, atau melihat ke belakang.

"Euyy, ada yang punya obat muntah, gak? Dio muntah!" teriak Rifki yang tiba-tiba masuk ke dalam bus.

Saat itu, bus tengah parkir ke tempat makan yang mana banyak rumput tinggi dan sedikit becek dikarenakan gerimis. Udara begitu dingin sekali. Chika sempat mengecek suhunya dua puluh lima derajat celsius.

"Gilaa, Dio muntah? Padahal dia yang ngejek gue atau menerka gue bakalan muntah!" sorak anak laki-laki lainnya yang kebetulan malas ke luar bus. Ya, hanya ada enam sampai delapan anak di sana.

Chika yang kebetulan melangkahkan kaki ke dalam bus dan disambut lagu dangdut trendi itu setia mendengarkan. Matanya menatap mata Rifki dari kejauhan. Sungguh, setelah bervideo call kemarin, ia serasa ingin mati.

"Gue bawa, Rif," ucap Chika sembari berlari menuju tas ranselnya. Ia selalu cadangan di bagian tempat minum. Chika yang memakai pakaian merah dengan huruf Q berbintang banyak itu kemudian menyodorkannya ke arah Rifki.

Senyum malu-malu tergurat di kedua insan itu. Ya, Chika merasa, tatapan Rifki saat itu benar-benar spesial. Rifki yang mendekat pun membuat Chika seolah meleleh di tempat. Bukan apa-apa bagi murid lainnya, tetapi bagi Chika, itu hal luar biasa.

Gue bener-bener gak tahu kenapa Tuhan pandai banget memutarbalikkan misi gue, Rif.

Better Person ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang