Better Person 9

197 13 1
                                    

Gue capek untuk mengiakan karena pada akhirnya, gue yang terluka sendiri.
🎀Better Person 9🎀
.
.
.
.
.

Jangan nangis apalagi buat gue karena gue gak pantes ngedapetin ini.

Mata Chika yang tengah menyusuri ke mana tintanya bergerak pun mulai membelalak. Tiba-tiba saja, kala menuliskan kata-kata mengenai tugas kimianya itu, hatinya terasa sakit.

Tangannya terus bergerak unuk terus menulis. Waktu sebelumnya, Chika beranggapan, bahwa otaknya tetap harus berjalan, tapi sekarang, ada bagian dirinya yang terus membayangkan kejadian menyedihkan itu.

"Kenapa harus lo lagi malam ini, Rif? Kalo lo beranggapan lo gak pantes, seharusnya gue gak perlu ngedeketin lo selama ini. Sesungguhnya, setiap orang punya hak untuk merasakan cinta, tergantung lo memperlakukannya."

Rambut Chika sudah dicepol menggunakan satu buah karet di tengahnya. Hingga sisa helai rambut bawahnya digerai begitu saja. Banyak sekali saran yang ingin ia katakan pada Rifki, tapi ia memang tak pernah dibiarkan berbicara lebih hanya karena takut. Takut Rifki lebih rela ia menjauh.

"Gue benci lo Rifki!" teriak Chika sembari memukul-mukul kepalanya sendiri. "Buat apa gue mikirin lo dan galau seberat ini padahal besok kita bakalan ketemu?" Kali ini, Chika mulai melempar asal pensilnya sembari melumat bibirnya sendiri. Napasnya memburu tak segan-segan, sedangkan matanya membelalak gemas.

Gak ada yang bener-bener tahu gue, Chik.

"Apa lo masih berani mikirin hal itu? Gue bahkan berusaha untuk menyelam lebih dalam dan lo seenak jidat ngomong gitu?"

Dada Chika sesak. Tangannya mengepal dan mulai memukul-mukul mejanya secara kasar. Ia kembali menunduk dengan lipatan tangan di bawahnya. Ada beberapa buku yang bertumpukan di depannya, siap ia kerjakan. Namun, pikirannya justru sedang mempermainkannya.

"Gue benci, benci, dan benci lo!"

Chika membenci segala hal tentang Rifki saat malam ini. Mengganggu pikirannya yang ingin berputar selayaknya mesin. Nyatanya, ia bukan membenci Rifki seutuhnya. Ia hanya benci dengan otaknya sekarang.

"Ya Tuhan ...," isak Chika sekarang. Matanya berkaca-kaca sedangkan otaknya sekarang muncul berbagai perkataan Rifki dan wajah menolaknya itu. Sungguh, Chika tak ingin menyerah meskipun logikanya menyuruh untuk berhenti.

"Rifki, gue benci lo."

Lagi-lagi, Chika mengatakan kata yang sama. Hidungnya mulai memerah. Kantung matanya mengeluarkan air matanya lagi sedangkan dada Chika naik turun tak kuat. Chika terus memegangi kepalanya sembari menangis. "Iya, gue capek. Capek melebihi apa pun. Gue udah stres untuk mikirin orang yang bahkan gak pernah mau menoleh ke belakang sekalipun!"

Tiba-tiba, pintu terbuka dengan tergesa-gesa. Chika tak menoleh. Pikirannya masih terasa pecah. "Gue benci ...."

"Chi-Chika," ucap Tiara dengan mulut terbuka. Tangannya meremas kuat gagang pintu sembari melihat Chika yang masih saja menangis, bahkan terganggu berlebihan.

Tiara segera berlari melewati televisi yang lurus tatatannya dengan sebuah kasur karena meja belajar Chika berada di ujung ruangan. Lampunya masih menyala dengan buku-buku yang terkena tetesan air mata.

"Dia ngehancurin apa yang gue harapin," racau Chika sembari meratapi otaknya lagi.

"Terkadang, apa yang lo butuhin adalah meluapkan rasa sakit, bukan memendamnya seorang diri. Cerita sama gue, daripada suatu saat lo semakin gila akan pikiran buruk," ucap Tiara sembari berlutut di samping kursi Chika. Rambut Tiara yang dikuncir kuda itu terlihat bergerak-gerak kala ia mulai menggelengkan kepala sembari mengusap tangisnya.

"Andai lo cowok, gue pasti udah bakalan lebih sakit hati, Kak."

"Mungkin, lo gak butuh siapa-siapa untuk mencurahkan stres mata pelajaran lo karena udah terbiasa rajin. Namun, kalo tentang perasaan yang permulaan, gue rasa lo gak bisa nyerobot, Chik."

Tiara menghela napasnya. Sebelum masuk, ia mendengar racauan Chika yang mengatakan sosok lelaki yang ia katakan di hari dulu. Rifki.

"Gue capek, Kak. Gue capek suka sama dia, tapi hati gue gak pernah mau berpaling. Gue capek untuk mengiakan karena pada akhirnya, gue yang terluka sendiri. Apa itu sebabnya banyak orang patah hati bunuh diri?"

Chika mulai menoleh. Air matanya mulai turun berjatuhan. Bahkan, kala mata Tiara mulai bertautan, ada rasa sakit yang menghunjam Tiara pula. Sekarang, gue udah punya keputusan, Chik.

"Orang seistimewa lo gak perlu capek atau pusing mikirin dia. Lo gak berhak sakit hati karena seseorang yang bahkan gak sesuai dengan logika lo." Tiara mulai mengambil kursi lipat di bawah meja belajar Chika dan duduk di sana. Menunggu Chika menjawab pendapatnya.

"Masalahnya, logika gue gak sepenuhnya seratus, Kak. Gue bukan orang sempurna. Beberapa persen yang tersisa mengandung perasaan, itu juga bisa menguasai." Isakan Chika lagi-lagi keluar. Sungguh, Tiara tak mampu untuk mengempaskan rasa ikut sakitnya. "Apa ini yang dimaksud patah hati emang paling banyak dibanding senangnya?"

"Ya karena dari situ, kita bisa tahu, bahwa rasa senang sesungguhnya itu langka, jadi kita gak diperuntukkan untuk menyia-nyiakannya." Tiara ikut beragumen. Sesekali, ia mengusap-usap pelipisnya. "Gue punya satu tips, Chik."

"Apa?" tanya Chika dengan tangan yang mengepal sedari tadi. Ternyata, semakin dibahas, ia justru semakin sulit untuk membuangnya jauh-jauh.

"Lupain dia perlahan-lahan."

Jantung Chika terasa dipukul sebegitu kerasnya. Dahinya berkerut sembari meneteskan air matanya semakin deras. Sudah ia katakan, bahwa kehilangannya, ia justru akan semakin sakit. Hatinya akan semakin terluka pada waktu yang perlahan-lahan itu juga.

"Kak."

"Gue tahu."

"Lo gak berhak ngatur perasaan gue." Chika menatap nanar kakaknya yang berada di depannya. Dada Chika semakin sesak kala harus mempertimbangkannya sekarang. "Apa lo pernah ngerasain sakitnya patah hati juga? Bahkan lo seperti pernah mengalami sakitnya asmara di mata lo."

Tiara turut mengeluarkan satu tetes air mata saat itu. Tangannya dingin dan gemetaran, tapi ia sembunyikan di samping pinggangnya.

"Gue gak pernah ngerasain hal itu. Namun, gue hampir merasakan."

Tiara tersenyum kali ini, meski matanya tak bisa membohongi, bahwa saat ini, ia turut berduka. "Kita gak diperbolehkan untuk menyukai mereka karena kita terlalu pantas, bukan kita yang gak pantas buat mereka," lanjutnya.

Chika menatap kakaknya dengan wajah yang sulit dimengerti. Wajah Tiara tampak biasa saja saat itu, tapi sungguh, mata dan suaranya seperti mengatakan, ada yang salah dari kekokohan hatinya selama ini.

"Lo ngomong sama persis seperti yang Rifki katakan, Kak. Kalo gue gak pantes untuk menyukai dia."

Ingatan Chika tak bisa meneteralisirkan keadaan. Ia jurstru semakin teringat akan bagaimana Rifki mengatakan hal itu dengan suara yang sama menyakitkannya.

Chika mulai bangkit dari tempat duduknya. Direntangakannya kedua tangan sembari menatap Tiara yang terus tersenyum, tanpa tahu, bahwa ada kisah pahit di baliknya. "Lo masih kecil, Chik saat itu dan saat ini juga."

Chika semakin mengerutkan dahinya. Matanya terasa kebas. Ada rasa tertusuk yang begitu dalam, tapi ia memang tak tahu bagaimana ini bisa kebetulan. Padahal, setiap kebetulan memang ada sangkut pautnya dengan tangan Tuhan.

Better Person ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang