Tujuh belas tahun aku hidup tanpa cinta.
Ketika itu aku belum mengenal apa itu cinta. Cinta untuk keluarga, aku rasa aku sudah menjelaskannya di episode sebelumnya. Cinta untuk teman atau sahabat, percayalah, siapa yang mau bersahabat denganku. Kau aneh, begitu tatapan mata mereka ketika melihat sosokku melintas.
Mereka menyebutku, "Gadis seram."
Aku dingin, bisik mereka. Bibirku tak pernah mengukir senyum, kata mereka. Mataku bagai silet tajam yang mampu menggores kulit, seru mereka.
Oke, itu cukup memberiku jawaban.
Aku menyeramkan.
Terkadang aku merenung sendiri, apa aku ini memang manusia, atau aku hanyalah robot yang diciptakan oleh kedua orangtuaku, sehingga semuanya terasa hambar.
Apakah hidupku hanya akan begini-begini saja sampai aku mati? Lalu bagaimana dengan Papa dan Mama? Bagaimana dengan Simon? Bagaimana dengan Elisa?
Bagaimana tentang cinta untuk lawan jenis?--lupakan tentang yang ini.
Semua pertanyaan berkecamuk dalam otakku. Ragaku memang terus berjalan menelusuri lapangan basket untuk sampai ke kelasku yang ada di ujung sana, namun pikiranku tak sejalan dengan ragaku. Aku terus merasa... entahlah. Semuanya hanya tentang bagaimana bagaimana dan bagaimana.
Sampai suatu ketika sesuatu menggelinding tepat mengenai ujung sepatuku.
Aku terdiam, menatap benda bulat itu dengan tatapan datar, sama sekali tak ada minat. Lalu aku melayangkan pandangan ke depan, ke hadapan gerombolan anak laki-laki yang langsung tersentak begitu menatapku, seolah-olah aku ini monster.
"Kau saja yang mengambilnya!" bisik lantang salah satu dari mereka ketakutan. Aku melihat bola matanya bergetar ketika menatapku.
"Suruh saja dia menendang bolanya kemari, bodoh!" balas temannya.
Aku menghela napas pelan, sebelum menundukkan sedikit badanku, berniat untuk meraihnya sebelum sebuah tangan mendahuluiku melakukannya. Aku sedikit tersentak. Buru-buru aku menegakkan kembali punggungku.
"Payah, mengambil di depan seorang gadis saja tidak berani bagaimana mau berani merebutnya dari tangan musuh!"
Aku mendengar suara lantang yang berasal dari tubuh tinggi tegap yang berdiri membelakangiku. Netraku menelusuri setiap inci tubuhnya dari sisi belakang. Rambut berwarna coklat dengan potongan bergaya cepak. Kulitnya seputih susu. Ia sedang memegang bola basket dan ia sedang mengenakan seragam basket sekolahku. Oke, aku dapat menyimpulkan sesuatu. Ia anak tim basket sekolah.
Laki-laki itu berbalik. Aku masih menatapnya datar, sebelum ia beranjak maju selangkah untuk memperkikis spasi di antara kami. Jujur, aku lumayan tersentak.
Untuk pertama kali, aku terkagum.
"Maafkan mereka ya, mereka memang kadang suka berkata seenaknya," katanya pelan. Lalu tak selang lama kulihat sudut-sudut bibirnya terangkat.
Aku berkedip sekali. Ia tersenyum padaku?
Ia masih tersenyum ketika tangannya terulur padaku. "Aku Gerald."
Kutatap tangan itu tanpa berkedip. Dan aku merasa ada sisi gelap dalam diriku berbisik, abaikan saja dan terus berjalan. Tapi melihat senyum tanpa dosa itu entah kenapa, sesuatu yang lain juga seolah ikut berbisik, terima jabatan tangannya dan katakan namamu, lalu selesai.
Ketika itu aku belum tahu apa arti cinta yang sesungguhnya.
Tapi aku tahu satu hal.
Aku tahu namanya.
Gerald.
KAMU SEDANG MEMBACA
Known as Love ✔️
Short StoryCinta. Bagaimana kau mendeskripsikan satu kata berjuta makna itu? Apa cinta hanya tentang rasa ingin memiliki dan takut kehilangan? Atau... ikhlas dan bahagia meski ia pergi untuk selama-lamanya? Ya, aku sedikit setuju dengan opsi terakhir. *** Mula...