11. Kita tidak akan pernah jauh

48 16 0
                                    

          Jujur, setelah kejadian itu, tepatnya sebulan yang lalu, aku berbeda.

          Aku memilih berbeda.

          Dan aku tidak menyesal.

          Aku tak banyak bicara. Aku selalu menghindar jika ia memintaku untuk menemaninya ke suatu tempat. Kami hanya bersama saat berangkat dan pulang sekolah, ditambah belajar bersama di rumahku. Itupun jika kami sedang berdua saja di rumah, satu-satunya suara yang memenuhi isi rumah hanya suara Gerald, aku lebih memilih menggunakan bahasa tubuh.

          "Aku jarang melihatmu keluar bersama Gerald. Kalian putus?"

          Kuabaikan Simon yang sedang duduk di ruang tamu dengan secangkir teh panas dalam tangannya. Aku baru sampai beberapa menit yang lalu dari minimarket, membeli beberapa camilan untuk menemani libur sekolah, dan entah kenapa tiba-tiba aku kesal saat melihat ada sosok Simon di dalam rumah. Kapan ia pulang? Seingatku kemarin tidak ada siapa-siapa di rumah ini selain si menyedihkan Jenneth. Ia seperti hantu saja. 

          Saat akan menaiki tangga ke satu yang akan mengantarkanku ke kamar, suara Simon kembali menghentikanku.

          "Hari ini weekend kalian juga tidak kencan? Tumben."

          Aku meliriknya sebentar, "Urusi saja urusanmu sendiri."

          Sudah kusiapkan beribu alasan jika dugaanku benar bahwa Gerald akan spam pesan untuk mengajakku pergi keluar menghabiskan liburan entah kemana. Bahkan ponselku sudah kuatur dalam mode silent, supaya aku merasa tak terganggu dengan deringnya ketika sedang asik menonton film sambil memakan camilan, atau saat aku tidur untuk menghabisan liburan yang panjangnya lebih dari satu minggu ini.

          Ya, begitulah liburan kali ini akan kuhabiskan. Tak ada rencana lain selain menonton film di laptop, makan, dan tidur. Sama sekali tidak ada yang menarik.

          Tapi suatu ketika, pada hari kelima liburan, seseorang mengetuk pintu rumahku. Awalnya satu ketukan, dan ketika aku mengabaikannya, itu berubah menjadi puluhan ketukan yang begitu bising.

          Aku menggeram kesal sambil mengacak-acak rambut, lantas melirik sebentar ke jam weker. Jangan bilang orang gila yang masih mengetuk pintu rumahku sekarang ini adalah Gerald? Mau apa lagi orang itu kemari?

          Aku berjalan terseok-seok ke pintu, menguap sebentar kemudian membukanya perlahan.

          Dan memang benar, siapa lagi?

          Tapi kali ini tampilannya agak sedikit... berbeda?

          Mataku langsung melebar seketika. Tidak biasanya ia berpakaian begitu rapih. Kemeja putih yang lengannya digulung setengah, celana kain hitam, dan kacamata dengan bingkai hitam yang begitu terlihat kharismatik. Aku terhipnotis sesaat sebelum ia menyapa.

          "Hai, Jenneth."

          Aku berdeham kecil, lalu mengangguk singkat.

          Terbesit perasaan sedikit kecewa dalam rautnya ketika hanya mendapat respon anggukan dariku. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena ia sudah tersenyum lebar.

          "Ayo ikut aku."

          "H-hah?"

          Dalam sekali sentakan, ia sudah berhasil menarik tanganku pergi.

          Aku menebak-nebak, apakah setelah ini aku akan lebih hancur lagi?

          Mungkin.

          "H-hey kita mau kemana, aku belum bersiap-siap!"

          "Sudah ikut saja. Tidak apa-apa. Tidak akan ada yang mempermalukan penampilanmu."

Known as Love ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang