"Jenneth."
Tangannya hangat. Tapi aku buru-buru menariknya sebelum ia menyadari kalau tanganku begitu dingin. Aku masih belum beranjak dari posisiku, karena aku pun sedang bingung memikirkan bagaimana caranya.
"Nama yang bagus," puji Gerald. Senyumnya kian melebar.
"Ger, ayo cepat! Apa yang kau lakukan di sana?" seseorang berteriak dari dalam lapangan.
Bagus, kesempatan untuk melarikan diri.
"Tunggu, Jenneth!"
Aku berhenti, melirik sedikit dari sudut mataku tanpa memiliki niat untuk berbalik. Gerald memutar-mutar bola basket di tangannya pelan. Ia menjilat bibir sebelum tersenyum kecil dan berkata, "Senang mengenalmu. Semoga kita bisa bertemu kembali."
Kukira awalnya perkataan bobrok seperti itu sudah sering kulihat di film-film, hanya sekedar modus saja supaya si pemeran laki-laki bisa mendekati pemeran gadisnya. Tapi nyatanya aku salah. Gerald benar-benar serius dengan ucapannya, atau mungkin memang sudah takdir.
Dua hari setelah kejadian itu, ketika aku ke minimarket sekitar rumah untuk membeli mie instan, aku seperti merasa nasibku akan berubah. Saat aku menunggu mie-nya matang, tiba-tiba Gerald duduk di sampingku membawa makanan yang sama. Memang aku terkejut dan heran, namun aku tak punya alasan untuk menghindar. Lagipula ia bukan siapa-siapaku. Jadi, aku hanya menganggap itu suatu kebetulan dan aku mengabaikannya.
Seminggu setelah kejadian itu, aku sering melihatnya berkeliaran di kompleks sekitar rumah. Ketika aku berniat membuang sampah, ia juga kebetulan ada di TPA perumahan melakukan hal serupa. Saat itu ia menyapaku dengan lambaian tangannya, dan yang kulakukan untuk membalasnya hanya mengangguk pelan. Namun kupikir Gerald cukup tolol karena ia tak merasa kecewa atau bahkan terluka. Nyatanya ia masih bisa tersenyum saat hari-hari berikutnya bertemu lagi denganku di sekolah.
Hari sudah sore dan kelas sudah berakhir. Aku mengayun-ayunkan kakiku saat duduk dengan bosan menunggu bus yang akan mengantarku pulang datang. Aku hanya ditemani oleh bapak-bapak dengan kacamata tebal yang sedang sibuk membaca koran di ujung sana. Membosankan, tapi aku sudah terbiasa.
Dan... dari sudut mataku dapat kulihat seseorang datang dan menduduki tempat di sebelahku. Otomatis aku menoleh. Lagi, aku melihat senyum itu.
Hai, Jenneth. Pasti ia akan berkata seperti itu lagi.
"Hai Jenneth."
Aku mengangguk pelan. Aneh, aku tak merasa bosan mendengarnya.
Senang bertemu kembali.
"Senang bertemu kembali."
Kita bertemu lagi akhirnya.
"Kita bertemu lagi akhirnya."
Atau jangan-jangan ini takdir?
"Oh busnya sudah datang."
Oh, aku salah memperkirakannya.
Gerald berdiri dari duduknya, sementara aku tidak. Ketika aku hanya duduk dan menontonnya berdesak-desakan masuk, entah kenapa ada dorongan dalam diriku untuk ikut berdiri juga. Tapi, tidak. Aku ingin sendiri. Aku lebih baik sendiri. Baiklah, aku bisa menunggu bus selanjutnya lagi tiba. Sejam dua jam tidak masalah buatku.
Tepat pada saat aku memutuskan untuk tetap merekatkan pantatku pada kursi besi halte, sesuatu terjatuh dari tas Gerald dan menggelinding--lagi--di ujung sepatuku. Aku menatapnya sebentar, sebelum mengambilnya dan menyadari bahwa itu adalah gantungan kunci.
Buang saja, benda seperti itu banyak dijual di sekitar sini.
Aku mendengar sesuatu berbisik. Aku masih membeku, menatap benda itu dalam genggaman tanganku dengan rasa aneh yang mulai menjalar. Apa kuabaikan saja?
Jangan jadi gadis jahat. Cukup kembalikan dan semuanya akan selesai.
Ada yang lain lagi berbisik. Aku masih membeku.
Kembalikan...
...atau...
...tidak?
Baiklah, kuputuskan.
Aku berdiri. Aku melangkah maju. Aku menatapnya yang sudah naik ke dalam bus. Pintu bus akan segera ditutup.
Bibirku bergetar kecil, sebelum terbuka sedikit.
"G-G..." tubuhku bergetar. Aku mengepalkan tangan. Ayo, katakan! "G..." Katakan atau menyesal. "Gerald!"
Berhasil.
Gerald berbalik, terkejut menatapku. Laki-laki itu berbicara sebentar dengan supir bus sebelum sosoknya menghampiriku. Ia hanya terdiam menatapku. Dan aku tau, ia menantiku berbicara.
Aku mengulurkan tangan. "Kau menjatuhkannya."
Laki-laki itu memandang takjub benda dalam genggaman tangannya. Kemudian tatapannya beralih padaku. Aku agak terkejut melihatnya sedikit... berkaca-kaca?
Aku ingin tahu, tapi aku tidak mau bertanya.
Dan seperti suatu gelombang elektromaknetika, ia tersalur, dan ia paham. "Mendiang ayahku memberikannya padaku. Lihat, ada tanda tangan Michael Jordan di sebelah sini. Beliau sangat suka dengan basket."
Terpaku, aku tak bisa berkata-kata. Gerald maju selangkah. Ia tersenyum kecil, "Terima kasih banyak Jenneth." Dan tak disangka-sangka, ia menarik tanganku. Aku tersentak. "Ayo pulang, Jenneth." Ia menggenggam erat tanganku.
Deg... deg... deg...
Apa ini yang berdegup kencang dalam tubuhku?
Oh tidak, aku tercekik dan sulit bernapas.
Siapapun tolong aku!
KAMU SEDANG MEMBACA
Known as Love ✔️
Short StoryCinta. Bagaimana kau mendeskripsikan satu kata berjuta makna itu? Apa cinta hanya tentang rasa ingin memiliki dan takut kehilangan? Atau... ikhlas dan bahagia meski ia pergi untuk selama-lamanya? Ya, aku sedikit setuju dengan opsi terakhir. *** Mula...