Katakan padaku, sudah berapa lama aku merindukan genggaman tangan hangat ini?
Jemari tangan yang lebih besar dari milikku itu terus menggenggam erat tanganku, seolah-olah tak mau lepas. Tubuh tinggi tegapnya berjalan di depanku, menarikku yang berjalan pelan--bahkan terkesan menyeret langkah.
Aroma parfum khas Gerald kembali memenuhi indera penciumanku. Aku rindu ketika menghirup aroma ini. Aku rindu ketika aku bisa menghirup aroma ini lagi. Dan aku begitu rindu saat di mana aku begitu menyukai aroma ini.
Bahkan hingga saat ini, aku masih menyukai aromanya.
Aku tak tahu apa yang sedang ada dalam pikirannya. Gerald bisa menjadi bodoh dan pintar di saat yang bersamaan.
Ia begitu bodoh ketika membiarkan seorang gadis lusuh dengan piyama tidur dan sandal jepit berjalan sedikit terbirit-birit di belakangnya. Laki-laki yang terlalu bodoh untuk tidak peduli akan bagaimana tatapan tiap-tiap orang yang melihat kami. Lihat, ia begitu necis dan rapih. Sementara aku lebih mirip beruang sehabis hibernasi.
Tapi kuakui ia juga pintar. Ia pintar karena ia tahu bagaimana aku. Jika ia menungguku untuk dandan, mungkin saja ia bisa kukibuli dan kami tak akan pernah bisa berjalan bersama lagi seperti ini.
Ia si nekat yang begitu kurindukan.
"Kenapa kau membawaku ke tempat ini?" kurasa adalah pertanyaan yang logis kukeluarkan saat melihat bangunan tinggi di yang ada di hadapan kami sekarang ini adalah sebuah gereja.
Gerald tersenyum menatap bangunan itu, tapi aku tahu ia sedang mengawasi gerak-gerikku lewat sudut matanya. "Aku... ingin berdoa bersamamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Known as Love ✔️
Short StoryCinta. Bagaimana kau mendeskripsikan satu kata berjuta makna itu? Apa cinta hanya tentang rasa ingin memiliki dan takut kehilangan? Atau... ikhlas dan bahagia meski ia pergi untuk selama-lamanya? Ya, aku sedikit setuju dengan opsi terakhir. *** Mula...