Bagian 12

162 16 2
                                    

__

Putri memandang cowok berhoodie hitam yang sedang duduk di rerumputan tempat yang biasa dia dan cowok itu kunjungi. Entah kenapa setiap Putri melihat cowok itu hatinya begitu senang. Putri melangkahkan kakinya mendekati cowok itu.

Dari tadi, cowok itu sadar atas kehadiran Putri tapi dia memilih untuk diam menunggu Putri mendekatinya.

"Hei."

Cowok itu kini menoleh ke arah Putri yang sudah tersenyum lebar. Cowok itu balas tersenyum. Tipis.

Putri melangkah satu kali lalu ia duduk di samping cowok itu.

"Kok, aku nggak ngelihat kamu pas camping, sih?" tanya Putri penasaran.

"Gue emang di tenda terus. Gue males keluar."

"Owh. Terus kamu tahu kejadian Claire dibunuh?"

"Tahu."

"Ngeri aku."

Cowok itu menatap Putri yang kini heran kenapa cowok itu menatapnya. "A-apa?"

Kali ini cowok itu memegang kedua bahu Putri dengan erat. "Lo harus hati-hati. Jangan deket sama orang yang belum lo kenal."

Putri menahan senyumnya ketika cowok itu melepaskan tangannya dari kedua bahunya. "Iya. Aku tahu."

"Jangan deket-deket sama temen lo itu."

Putri mengerutkan keningnya. "Temen yang mana?"

Cowok itu kini menatap serius ke arah Putri. "Diah."

Putri kaget. Matanya melebar. Di dalam hati ia bertanya-tanya mengapa dia harus menjauhi sahabatnya itu. Padahal sahabatnya itu bukan orang jahat atau semacamnya. "Kalau kamu suruh aku buat jauhin Diah aku nggak mau. Dia itu sahabat aku. Kamu nggak berhak larang aku kayak gitu. Aku nggak suka. Lagian Diah bukan orang jahat, kok."

"Gue lupa. Semua udah terlambat. Dia udah ngincer lo."

"Maksud lo apa?!" Putri meninggikan suaranya. Sedetik kemudian dia membekap mulutnya sendiri. Ia sadar   bahwa cowok di sampingnya ini pemarah. Cowok itu tak suka dibantah.

Dengan takut-takut Putri menoleh ke arah cowok itu. Benar. Wajah cowok itu memerah. Dia marah karena Putri meninggikan suaranya. "Fe..Felix."

"Nyawa lo dalam bahaya karena lo deket sama Diah! Ngerti nggak! Lo nggak tahu apa-apa tentang sahabat lo itu! Gue lebih tahu daripada lo! Jangan deket-deket sama dia!" Felix menekankan setiap kata yang ia ucapkan. Ia benar-benar khawatir pada keselamatan Putri.

"Ta..Tap--"

Tangan Felix bersiap menampar Putri. Tapi untungnya ia mampu menahannya. Tidak heran lagi sikap Felix seperti itu. Ia memang pemarah. Sifatnya itu tumbuh dalam dirinya karena ia memiliki papa yang kejam. Dia melihat kedua telapak tanggannya dengan gemetar. "Maaf..maaf." Gumamnya. Kalau dia tidak menahan emosinya pasti Putri kali ini sudah terluka.

Putri menagis sesenggukan. Meskipun ia terbiasa dengan sifat Felix tapi hari ini hatinya terasa sakit. Karena permintaan Felix adalah menjauhi sahabatnya sendiri. Diah.

Felix terus memandangi kedua telapak tangannya. Ia menyesal telah membuat Putri-nya menangis. Secepat kilat Felix menoleh ke arah Putri. Kali ini ekspresinya berbeda. Ekspresinya berubah bengis dan matanya menatap Putri tajam.

"Lo..udah bikin gue nyesel," ucap Felix dengan geraman.

"Fe..felix. Lo kenapa?"

                             ***

Langkah Jesika semakin cepat. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Ia merasa diikuti seseorang.

Dia sebenarnya baru saja dari minimarket untuk membeli makanan ringan. Karena jarak antara rumahnya dan minimarket terbilang dekat jadi dia memilih untuk berjalan kaki.

Jesika beberapa kali menoleh ke belakangnya untuk memastikan apakah ada orang yang mengikutinya. Tapi ia tak melihat apapun. Gadis itu bernapas lega ketika sudah berada di depan rumahnya.

Tapi, tiba-tiba ada seseorang dari belakangnya yang membekap mulutnya menggunakan kain. Gadis itu meronta-ronta meminta untuk dilepaskan. Tapi tentu saja seseorang yang membekapnya itu tak melepaskannya. Perlahan badannya lemas pandangannya mengabur dan semuanya gelap. Seseorang yang membekap Jesika menyeringai puas. Tak sia-sia dia menggunakan alkohol pada kainnya. Mangsanya ternyata langsung pingsan seketika. Jadi, dia tak terlalu repot untuk membawa gadis itu pada kematiannya.

Seseorang itu menggendong tubuh Jesika ke dalam mobilnya. Sebenarnya mobilnya sejak tadi ia parkirkan di depan rumah Jesika. Tapi gadis itu tak menyadarinya. Ia terlalu fokus pada belakangnya.

Setelah memasukkan Jesika ke dalam mobilnya seseorang itu masuk ke dalam mobilnya dan mulai menyetir mobilnya.

Seseorang itu tersenyum senang. "Tinggal tunggu giliran orang selanjutnya."

                           ***

Ting

Sebuah pesan masuk dari ponsel Diah membuat gadis itu segera membuka ponselnya.

Diah terpaku. Ia benar-benar tak menyangka nomer yang dulu sering ia telpon dan kirimi pesan ternyata terpampang jelas di layar ponselnya. Nomer itu tak pernah membalas satupun pesan atau telpon darinya dulu. Itu adalah nomer kakaknya yang telah lama hilang.

Mata Diah berbinar. Ia sangat rindu dengan Linda---kakaknya. Cepat-cepat ia membuka pesan itu.

Kak Linda

Lo nggak tahu Linda dimana? Lo harus tahu kalau dia udah nggak ada. Dia udah mati. Gue yang bunuh.

Diah

Lo siapa! Dimana Kak Linda!

Perasaan Diah tidak enak. Pikirannya berkelana. Apa mungkin Kak Linda-nya sudah di bunuh. Diah menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merasa tak boleh berpikiran seperti itu. Ia yakin kakaknya masih hidup.

Gadis itu segera mengetikkan pesan lagi ke nomor yang mengirimi pesan itu.

Diah

Gue nggak percaya. Kakak gue masih hidup. Lo siapa!

Diah mendengus. Matanya mengeluarkan air mata. Ia begitu rindu dengan kakaknya. Tidak mungkin kalau kakaknya itu sudah meninggal. Itu tidak mungkin.

Diah bangkit dari kasurnya. Ia berjalan cepat menuruni tangga. Ya dia akan bertanya kepada mamanya bahwa Linda dimana. Kalau mamanya bersikeras untuk tidak memberi tahunya, ia akan terus memaksa mamanya untuk memberi tahu.

Setelah menuruni tangga, Diah bergegas ke dapur untuk menemui mamanya. Diah menghembuskan napasnya ketika Riana---Mama Diah terlihat sedang memotong-motong sayuran.

"Ma?" Diah mendekati mamanya.

"Iya?"

"Ma, sebenarnya Kak Linda dimana?" Tanya Diah lirih.

Agaknya Riana terkejut dengan pertanyaan Diah. Ia menghentikan aktifitasnya dan kini ia menyuruh Diah duduk di sofa ruang tamu bersamanya.

"Ma, jawab pertanyaanku!" Diah tak bisa membendung air matanya ketika sudah duduk. Gadis itu menatap serius ke arah mamanya yang saat ini air mata mamanya itu sudah berada di pelupuk mata.

"Aku kangen sama Kak Linda."

"Maafin Mama sama Papa kamu. Mama sama Papa hanya ingin yang terbaik untuk kakak kamu," ucap Riana pelan. "Maafin Mama."

Diah hanya diam sambil menunggu kelanjutan ucapan mamanya. Sesekali air matanya menetes.

"Kakak kamu itu kabur dari rumah karena Mama sama Papa nggak pengen dia nikah sama cowok pilihan dia."

"Terus kenapa Mama nggak cari Kak Linda?"
    
                              ***

       

TERORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang