Bagian 7

218 18 1
                                    

___

Di kepala pemuda itu, terpasang perban. Perban itu masih kelihatan baru. Luka pada kepala pemuda itu juga tak terlalu serius. Jadi, hari ini dia bisa langsung masuk sekolah setelah satu hari ia absen.

Sekarang ia tengah duduk di ruang tengah rumahnya. Ia baru saja selesai memakai sepatu. Diliriknya bunda yang selama ini mengurusnya. Bundanya tersenyum tipis kepada pemuda itu.

"Yakin?"

Pemuda itu menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. Bundanya menghela napas panjang.

"Yaudah kalau gitu tapi harus Bunda yang ngantar kamu ke sekolah," ucap bunda pemuda itu tegas.

"Ah terserak Bunda ajalah." pemuda itu pasrah menuruti keinginan bundanya.

Pemuda bernama Deon itu sangat menyayangi ibunya. Begitu pula dengan ibunya itu ia selalu mengurusi Deon dengan sabar tanpa mengeluh sekalipun.

Suara langkah kaki terdengar jelas dari arah kamar dan itu membuat Deon dan bundanya seketika menoleh ke arah sumber suara itu. Di sana telah berdiri Kakak dari Deon satu-satunya. Guntur. Mereka berdua adalah kakak-beradik yang sangat akur. Mereka berdua selalu memahami satu sama lain dan juga selalu membantu apabila salah satu dari mereka ada masalah.

"Bang!" sapa Deon kepada kakaknya.

"Lo udah siap aja kayaknya. Baru aja sembuh."

"Iya lah. Adek lo ini kan emang kuat."

"Halah sok lo."

Deon tertawa kecil. Ia kembali mengingat kejadian saat ia jatuh dari tangga. Itu bukanlah sebuah kecelakaan tapi itu murni kesengajaan dan Deon tahu benar siapa pelakunya. Ia tak menyangka bahwa orang itu bertindak senekat ini. Dendamnya begitu dalam dan orang itu tidak dapat diremehkan. Bisa saja orang itu akan berbuat lebih dari ini.

"Bun, aku berangkat sekarang." Guntur mendekati bundanya dan mecium tangannya, sambil mengucap salam, "assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Guntur langsung melangkah dan meninggalkan bunda dan Deon. Guntur hanya berbeda satu tahun dengan Deon. Mereka selalu memilih sekolah yang berbeda dari SD sampai sekarang mereka tak pernah satu sekolah. Entah apa alasan mereka sehingga memilih sekolah yang berbeda bundanya hanya menuruti keinginan mereka berdua.

"Deon, ayo?"

"Iya, Bun."

Kedua orang ibu-anak itu juga mulai melangkahkan kaki mereka. Mereka akan ke sekolah.

                             ***

Mata Diah menangkap sosok Deon sedang asik berbincang dengan teman sekelasnya. Di kepala cowok itu terpasang perban. Awalnya Diah hanya penasaran apakah  Deon hari ini sudah masuk sekolah apa belum mengingat kemarin dia tidak jadi menjenguknya.

Kini, gadis itu sedang berdiri terdiam di depan kelas X Ips 1. Tapi matanya memandang ke arah kelas X Ips 2. Arah dimana Deon berada. Bisa saja ia menghampiri Deon untuk menanyai keadaanya ataupun bertanya tentang maksud pesan itu tapi ia sekarang merasa canggung dengannya. Ia merasa enggan untuk bertanya pada cowok yang dulu adalah sahabat dekatnya.

Ia memilih berbalik dan kembali ke kelasnya sebelum Deon tahu bahwa ia sedang melihatnya.

Setelah sampai di kelas, ia segera masuk. Di kelas tak ada satu orangpun. Diah sendiri. Kebetulan sekarang jam istirahat jadi, semua teman-temannya ke kantin. Tadi sebenarnya Putri dan Jesika mengajaknya tapi Diah menolak ia berasalan masih kenyang tapi alasan sebenarnya adalah Diah ingin melihat Deon. Apakah Deon sudah masuk sekolah apa belum.

Diah mengambil ponsel di saku bajunya dan membuka pesan-pesan dari peneror itu. Ia begitu penasaran siapa sebenarnya orang yang menerornya.

Tiba-tiba ada pesan masuk.

08124********

Kamu merenggut kebahagianku

Jantung Diah terasa mau copot. Tangannya mengeluarkan keringat. Entah yang kesekian kali pesan-pesan dari nomer berbeda-beda itu menerornya. Ia segera menyimpan kembali ponselnya ke saku. Tak sengaja matanya menangkap seorang siswa cowok yang memandangnya tanpa ekspresi dari balik jendela luar kelasnya. Diah terperanjat. Ia segera mengejar siswa cowok itu yang mulai menjauh darinya. Dia berlari seperti menghindari Diah agar gadis itu tak mengetahuinya. Diah tak mengenal wajah itu. Meskipun ia sepertinya satu sekolah dengannya tapi ia tak pernah melihatnya.

Langkah cowok itu semakin cepat dan Diah terus mengejarnya. Ia tak peduli cowok itu akan kemana yang penting ia perlu tahu kenapa cowok itu tadi melihatnya di kelas. Bisa jadi cowok itu adalah sang peneror yang selama ini menerornya.

Langkah Diah terhenti ketika ia sadar bahwa sekarang ia berada di tempat yang katanya jarang di lalui siswa-siswi tepatnya tempat yang tak digunakan lagi. Kamar mandi lama.

Pandangan gadis itu mengedar. Entah kemana cowok tadi dia telah hilang dari pandangan Diah. Di tempat sepi ini membuat nyali Diah menciut. Ia memilih berlari dan kembali ke kelas.

Setelah sampai di kelas, Bu Ita--wali kelas sudah datang. Diah buru-buru masuk kelas dan duduk di tempat duduknya. Putri dan Jesika memandang heran ke arah Diah. Mereka ingin bertanya tapi mereka urungkan ketika Bu Ita sudah mulai mendahului mereka berbicara.

"Assalamu'alaikumwarahmatullahi wabarakatuh." Bu Ita mengucap salam kepada semua siswa.

Serempak semua siswa menjawab, "Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."

"Oke, kalian sudah tahu, kan kalau besok kita camping?" Bu Ita menanyai para siswa.

"Udah, Bu."

"Sudah mempersiapkan semua? mulai dari pakaian, jangan lupa juga peralatan seperti senter terus buat masaknya. Udah dibagi, kan?"

"Udah semua, Bu. Tinggal persiapan keberangkatan besok," jawab salah satu siswi.

"Oke. Untuk tendanya sudah dipersiapkan oleh pihak sekolah jadi kalian tidak perlu pinjam tenda. Terus kalian jam 7 pagi besok harus sudah sampai sini. Ada pertanyaan?"

Seorang siswi mengangkat tangannya,  "Kesananya naik apa, Bu?"

"Kesananya kita naik Bus. Jangan lupa juga kita disana selama 3 hari 2 malam. Untuk semua saya mohon untuk lebih berhati-hati disana jangan bertindak yang aneh-aneh. Tempat campingnya di hutan. Jadi, kesananya kita akan melewati medan-medan yang sulit."

"Siap, Bu."
   
                                ***

Masih ingat siapa Guntur?


TERORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang