Bagian 1

624 26 10
                                    

Gadis yang menggunakan seragam SMA itu tengah melahap makanan bersama ayah dan ibunya. Seperti biasa, ia selalu sarapan pagi sebelum berangkat sekolah.

"Kemarin tugasnya udah selesaikan?" tanya ibu gadis itu memastikan. Pasalnya anak satu-satunya itu tadi malam pulang sangat larut. Katanya dia mengerjakan tugas di rumah temannya.

"Udah kok, Mah," jawab gadis berambut panjang itu cuek sambil melahap nasi goreng buatan Mama-nya itu.

"Ohh, ya udah. Lain kali kalau tugas itu dikerjakannya awal jangan ditunda-tunda!" nasihat mama gadis itu dengan nada lembut.

Diah menjawab dengan gumam-man karena ia sedang mengunyah nasi goreng kesukaannya, "Mmmm.."

"Dengerin kata mama kamu itu!" Tama------ papa Diah----- akhirnya buka suara.

"Iya iya," sahut Diah setelah menelan sesendok nasi goreng di mulutnya.

Setelah percakapan singkat itu, mereka melanjutkan sarapannya masing masing.

Diah adalah anak satu-satunya dari Tama dan Riana. Mereka sangat menyayangi Diah dari kecil sampai sekarang. Jadi, jangan heran kalau Diah jarang dimarahi Tama maupun Riana apabila berbuat salah. Mereka mempunyai cara tersendiri untuk memberikan pelajaran kepada anaknya, yaitu dinasihati dengan lembut. Jadi mereka berpikir apabila anak dimarahi anak itu bukan malah menjadi semakin baik namun malah menjadi semakin membangkang.

"Alhamdulillah, selesai juga sarapannya," ucap Riana----mama Diah--- dengan senyuman tipis lalu ia membereskan piring piring milik Diah dan Tama yang sudah bersih, tak ada nasi gorengnya lagi.

Diah tampak mengacungkan jempolnya ke arah Riana, "Enak banget nasi gorengnya."

Riana hanya menyunggingkan senyum sebagai jawaban setelah itu dia berjalan ke tempat cuci piring.

Setiap hari, Tama pergi bekerja ke kantor sedangkan Riana di rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah.

"Mah, papa berangkat kerja dulu!" Tama tampak mengeser kursi yang diduduki-nya ke belakang lalu ia berjalan ke arah Riana yang sedang mencuci piring untuk berpamitan.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Ma Pa, Diah berangkat dulu ya? assalamu'alaikum." Diah juga beranjak dari tempat duduknya
lalu berjalan ke arah Riana dan Tama untuk berpamitan. Setelah itu ia berjalan lagi ke ruang tamu untuk mengambil tas yang sudah disiapkannya sejak tadi.

***

"Iya, terus gue lari sekenceng-kencengnya. Terus gak tau gimana, pas gue berhenti karena kelelahan dia udah gak ada. Aneh banget.
Gue takut." cerita Diah dengan ekspresi ngeri.

"Jangan-jangan yang ngikuti lo itu pembunuh lagi!" komen Jesika dengan mata melotot. Ia membayangkan bagaimana jika teman dekat atau lebih tepatnya sahabatnya itu diikuti oleh seorang pembunuh.

"Hush.... jangan ngomong sembarangan!" Putri mengingatkan.

"Ya kan gue cuma nebak." balas Jesika sok polos.

"Hah terserah lo, Jes. Makan lagi yuk! nanti dingin lagi bakso-nya."

Diah hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah dua sahabat-nya itu. Ia menghela napas panjang. Seharusnya ia tak terlalu memikirkan masalah ini. Bisa saja orang itu hanya kebetulan sedang berada di jalan yang sama atau bisa jadi orang itu mengikutinya karena memang jalan yang ditujunya sama dengan Diah atau masih banyak lagi kemungkinan lain.

Sedari tadi mereka berada di kantin. Ya ini jam istirahat dan semua siswa sedang berada di kantin saat ini. Suara riuh percakapan dari siswa siswa yang sedang makan, mampu membuat Diah berdecak pelan. Untung Diah, Jesika, dan Putri sudah menghabiskan bakso yang dibelinya tadi. Mereka sudah tak sabar ingin segera pergi dari tempat riuh ini. Mereka mulai beranjak dari duduknya, namun seseorang membuat mereka kembali duduk.

TERORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang