15

601 99 14
                                    


***

Hening.

Di ruang makan ini hanya ada tiga orang. Jimin, Ibu Jimin dan juga So Hyun.

Semuanya hanya mampu terdiam sebelum akhirnya sang Ibu berdehem pertanda ia akan memulai pembicaraan. Matanya melirik pada So Hyun yang tengah menunduk ketakutan.

“Kudengar kau tidak memiliki tempat tinggal ataupun keluarga, tidak memiliki pendidikan yang tinggi maupun ekonomi yang cukup. Kau hanya tinggal bersama dengan anakku ketika aku tidak ada di rumah. Sebenarnya kau ini siapa hingga bisa mengusik ketenangan anakku?” tanya Ibu Jimin yang kini mulai merasa geram.

Baiklah, ini semua memang menjadi gengsi tersendiri bagi ekonomi kalangan atas. Sudah menjadi hal yang sangat umum jika sebuah keluarga berkenonomi kelas atas, memiliki pendidikan yang tinggi, dan sebuah perusahaan untuk memiliki menantu yang juga memiliki kualitas yang sama.

Akan sangat memalukan sekali ketika para ibu-ibu itu berkumpul dan memamerkan menantunya yang ternyata hanya seorang masyarakat biasa. Gengsi dan kebiasaan itu sudah mendarah daging di kalangan ini, dan itu juga sudah mempengaruhi ibu Jimin sendiri.

Jimin melirik pada So Hyun yang masih menunduk, mungkin ia juga tidak bisa membantah perkataan ibunya karena apa yang ibunya katakan adalah kebenaran.

Tapi Jimin tentu saja tidak bisa menerima itu semua. Di hadapannya saat ini adalah wanita yang ia cintai, tentu saja sebagai seorang laki-laki ia harus membela dan melindungi pujaannya dari kemurkaan ibunya sendiri.

Jimin mengangkat kepalanya. “Ia memang bukanlah apa-apa, tapi jangan lupakan jasanya terhadapku, eomma. Jika bukan karenanya, aku tidak mungkin bisa menikahi seorang wanita.”

“Tapi kau tidak harus melakukan terapi bersamanya!” seru sang ibu menatap Jimin marah.

“Kau bisa melakukan terapi pada dokter manapun. Aku bisa membayar dokter manapun yang bisa menyembuhkanmu tanpa harus membuatmu menikahinya!” ibu Jimin mendengus kesal, ia melirik So Hyun yang masih menunduk dalam diam, “Dan aku ingin kau segera meninggalkannya. Aku tidak ingin memiliki menantu sepertinya.”

“Eomma!”

“Apa?!”

“Dia wanita yang kucintai.”

“Tapi kau bisa mencintai wanita lain, aku akan menjodohkanmu dengan gadis pilihanku.”

Jimin tersenyum sinis, “Gadis pilihanmu yang mana lagi? Gadis pilihanmu yang dulu kini sudah mendekam di penjara. Gadis yang selalu kau agung-agungkan itu kini sudah membusuk di sel penjara.”

“Park Ji Min! Kau–“

“Cukup!” So Hyun berdiri dari duduknya, menatap sepasang keluarga yang seharusnya tidak bertengkar karenanya.

“Kau tidak perlu mengusirku dan bertengkar dengan anakmu sendiri, aku yang akan pergi meninggalkan anakmu. Tapi tidak sekarang, aku butuh waktu. Dan kumohon kau tidak perlu mengusik kami, karena aku akan menepati ucapanku.”

So Hyun pun melangkah mendekati Jimun, menggenggam lengannya dan menyeret Jimin keluar, meninggalkan ibu Jimin yang masih tercengang akan keberanian gadis itu yang berani berbicara panjang padanya. 

Ia mendengus, “Orang kalangan bawah memang tidak memiliki sopan santun.”

***

Jimin dan So Hyun duduk di pinggir sungai Han. Cuaca di musim panas ini sangatlah tidak menyenangkan, apalagi dengan rasa yang juga panas di dalam rumah Jimin. Dua kaleng minuman dingin kini hanya menjadi pajangan karena isinya sudah kosong.

ROBBOT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang