Bab 2

64 2 0
                                    

06-06-01

    Lonceng itu berbunyi, anak itu segera bangun menatap sinar matahati pagi yang masuk ke celah-celah jendelanya. Kemudian menuju ke arah meja makan. Ia mendapati ibunya sedang menata piring lalu, berjalan ke arah pintu dan membukanya, ia melihat ayahnya yang sedang berkebun.
   "Ayahh" teriaknya. Ayahnya menoleh dan melambaikan tangan kepadanya. Ia duduk di kursi reyot meja makan itu. Rasanya sangat membosankan melihat langit yang kelabu, menu makanan yang sama, kebun yang penuh lumpur, rumah tua yang bercat hampir pudar, dan atap yang bocor. Anak itu selalu protes ke orang tuanya tetapi jawabanya selalu tidak sesuai dengan apa yang diharapkanya.
   Anak itu kembali menatap sup yang sama seperti kemarin kemudian ia melirik ke arah ibunya, mengisyaratkan kalau dia bosan.
"tidak ada yang harus kau bosankan, kau harus hidup dan memakan ini. Kita akan memanfaatkan hasil kebun kita untuk sementara waktu" ibunya memberitahunya. Anak itu menjadi vegetarian belakangan ini, jarang menemukan daging-dagingan apapun. Semua serba organik.
"Aku selalu berharap ada daging sapi disini" anak itu berbicara tiba-tiba membuat orang tuanya kaget.
Ayahnya terbatuk.
"tidak akan sebelum ku menemukan pekerjaan yang layak untuku." ayahnya tersenyum kecil.
"Kau harus mengerti kondisi kami" kata ibunya sambil mengambil sup.
Anak itu menggelengkan kepala kearah orang tuanya. Seketika ketika ia makan ia merasakan manis dan asamnya sup itu. Dia mencoba untuk menahan marahnya hari ini.
    Dia berjalan di kebun - kebun depan berniat untuk membantu ayahnya, ia berjalan di atas kubangan lumpur yang basah dan menjijikan. Tetapi ia tampaknya sudah terbiasa dengan itu. Dunia kini tidak seperti yang dulu dimana dia bisa bermain bebas dengan teman-temanya, dimana ia bisa bersekolah dan mendapatkan daging sapi dari kantinya. Semua ini berubah ketika masalah sang ayah dengan pekerjaanya.
    Ia berjalan menghampiri ayahnya di taman, hal yang seperti biasanya. Berkebun. Anak itu memulai bicara kepada ayahnya.
"Lihatlah diriku sekarang. Aku... Aku sungguh berbeda." Protes Cassie
"Apa maksudmu?" tanya Ayah
"sungguhkah kau tidak melihatnya?", "aku bukanlah Cassie yang bersekolah mempunyai teman dan bukan vegetarian!" tambahnya.
   Ayahnya mengerutkan dahinya kepada anaknya, dan dia sangat kecewa dengan apa yang dikatakan anaknya. Sebenarnya ia mempunyai sejuta perasaan yang ingin diungkapkan dan segala rahasia tentangnya dengan perusahaan. Tetapi, itu selalu gagal ketika ia melihat anaknya selalu sedih. Dia sekarang tak mampu menjawab anaknya.
    Anak perempuan itu, Cassie. Dia sangat kesal atas semua yang terjadi, hal-hal arbstrak mengelabui kehidupanya sekarang dan dia sangat membutuhkan penjelasan atas ini semua.
    Ia berjalan ke arah bangku taman, dan duduk melihat ke arah langit yang tak kunjung hujan juga. Cassie selalu melepaskan harapanya kelangit berusaha agar percaya bahwa tuhan akan memberikan jawaban kepadanya. Apa yang harus ia lakukan, ini sungguh seperti bukan hidupnya yang sesungguhnya.
    Anak itu menatap ayahnya yang terus menggali tanah dan memasukan bibit-bibit itu kesana. Sedangkan ia diam di tempat dan bingung harus melakukan apa. Cassie sebenarnya ingin membantu tetapi niat itu tebendung dengan segala pertanyaan yang ia punya.
"Maafkan aku, aku tidak seperti yang kau harapkan terakhir ini." katanya
"Ini salahku bukan kau." kemudian ayahnya kembali melanjutkan penanaman itu.
"Aku sama sekali sangat bingung dan memiliki banyak pertanyaan atas ini semua." Cassie tertunduk
"Aku juga, mungkin semua orang juga." jawab ayahnya datar. Cassie berjalan kembali ke rumahnya dan ia mendapatkan seseorang. [ ]

 Dream Journey Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang