Jean's POV
~
Gue udah nggak peduli bagaimana pendapat atau pandangan Jeka ke gue yang barusan meneriaki dia dengan keras. Tapi mau sekeras apapun gua menjerit dan berteriak, gue yakin seisi rumah ini memiliki radar telinga yang agak tuli. Maka dari itu, gue sedikit nggak enak sama Jeka. Teriakan gue tadi pasti menggema, khawatir aja sama keadaan kupingnya.Gue meringis. Gue terus meringis sambil mengusap jari-jari telapak tangan gue yang sekarang mulai kasar dan udah merah padam. Baru sekali di hidup gue, baru kali ini gue ngerasain apa yang namanya kesetrum. Dulu, gue selalu meremehkan ucapan mama soal saklar listrik. Katanya, jangan main-main sama listrik, kalo kesetrum bahaya. Sakit banget. Dan gue hanya beranggapan biasa saat itu---karna gue belum ngerasain. Tapi setelah gue merasakan getaran itu, gue jadi pengen banget nangis kejer. Mama bilangin gue kayak gitu juga mungkin karna dia udah ngerasain kesetrum dua kali sama ngelihat tingkah gue yang ceroboh.
Mendongak sedikit, mata gue melihat Jeka yang hanya berdiri dalam diam. Pandangannya melesat ke wajah gue, memperhatikan dalam diam. Mungkin dia nggak bakal ngomong apa-apa lagi, atau mungkin dia nggak mau ngomong biar gue nggak teriak lagi kayak tadi. Haduh! Gue makin nggak enak sama dia. "Jek-Jeka.. Sorry yang tadi..." Ujar gue pelan, nyaris menggumam. Gue menunduk lagi. Sumpah, gue nggak betah sama keadaan kayak gini. Pengen nangis aja rasanya!
Sesuatu menumpu di bahu gue. Gue menyadarinya, itu tangan kiri Jeka. Dia mengusap pelan disana. Lalu selanjutnya, gue merasakan ada yang mengusap pelan kepala gue. Lembut, dan terus seperti itu. Astaga, bolehkah gue menangis sekarang?
Helaan nafas dihembuskan diatas kepala gue. "Gitarnya kak Loey ada disini nggak?" Jeka bersuara. Sedikit menundukan kepalanya buat melihat wajah gue.
Gue mengangguk. "Kak Loey nggak bawa apa-apa pas dia pergi tadi. Kayaknya Matilda ada di bawah." Jawab gue.
Setelah itu Jeka nggak ngomong lagi. Dia cuma melemparkan senyumnya dan langsung melenggang keluar kamar gue dan turun tangga. Kayaknya dia mau ngambil Matilda, gitarnya kak Loey. Gue duduk di pinggir tempat tidur gue, mencoba mengabaikan rasa perih yang terus berdenyut di telapak tangan. Kalo lo mengira ini rasanya biasa aja, duh kayaknya lo harus kesetrum dulu deh biar tahu rasanya. Pas kesetrum sih yang dirasain cuma getaran kenceng aja, terus pasti lo kaget. Tapi setelahnya, jangan ditanya. Kulit lo bakalan kasar dan itu perih banget. Udah gitu kemerahan, rasanya kayak ditusuk jarum tapi panas sekaligus nyeri. Lo boleh berpendapat lain kok seandainya lo pernah kesetrum. Bagaimana rasanya? Apa sama kayak yang gue deskripsiin?
Nggak lama, Jeka masuk lagi ke kamar gue sambil bawa gitarnya kak Loey. Dia membuka pintu kamar gue, nggak terlalu lebar, lalu menyalakan AC lewat remotnya yang ada di samping pintu---ada tempat khususnya. Disini gue bingung, dia nyalain AC tapi ngebuka pintunya? Mana kerasa dinginnya! "Lo nyalain AC tapi lo ngebuka pintunya? Gimana sih?" Protes gue setelah dia duduk di lantai sembari memangku gitar Matilda.
Jeka mendengus. "Kalo pintunya gue tutup, nanti dikira ngelakuin yang nggak-nggak! Mending begini aja, jadi kalo misalnya ada yang lewat depan kamar lo, bisa ikut gabung." Jawab Jeka dengan nada sengit. Gue terpukau dalam hati, bahkan mulut gue hampir membentuk huruf O. Keren banget dong kalo pemikiran dia kayak gitu? Dia nggak kayak cowok seperti biasanya. Lagian, yang gue tahu, Jeka itu yah---bandel kayak Vian. Tapi kenapa dia segitunya memperhatikan hal ini? Gue salut, men!
Gue senyum. Pada akhirnya gue ikut duduk dibawah, dihadapan dia. Dia memetik senar gitarnya. Well, mungkin gue bakalan ngelihat Jeka yang seperti di ruang musik dulu. Yang keren banget main gitarnya. Yang bagus banget alunan musiknya. Yang ... tiba-tiba nggak jelas karna bilang kalau gue alesan buat dia sampai bisa mainin alunan musik yang bagus. Tapi kali ini, apa gue bakal ngelihat senyum tulus dia lagi?
Senyum yang enak banget dipandang. Senyum yang menurut gue paling bikin siapa aja yang ngelihat jadi damai. Senyum yang... entah kenapa, gue suka kalau dia senyum kayak gitu. Gue sadar, mungkin ini salah satu alesan kenapa Jeka disukai banyak orang---sampai dapat julukan Most Wanted. Tapi, emang Jeka pernah menunjukan senyum tulus itu ke orang lain?Jeka masih memetik gitarnya. Dari alunan musiknya, sedikit gue dengar ada kemiripan beberapa melodi seperti yang di ruang musik dulu. Dia senyum sambil nunduk, fokus sama jari-jarinya yang asik memetik senar gitar. Gue yang menonton hanya bisa diam sambil mengukir sebuah senyuman di bibir gue. Toh, gue seneng dengernya.
Tiba-tiba Jeka berhenti. Dia mendongak dan mengubah posisi duduknya menjadi agak tegak. Lalu, dia menjulurkan tangan kanannya ke gue. Telapaknya terbuka, dan ekspresi wajahnya nggak kebaca. Gue bingung, maksudnya dia apa? Dia mau minta apa? "Tarok tangan lo yang kesetrum tadi disitu. Sentuh tangan gue. Pelan-pelan aja." Perintahnya.
Bingung, gue mengerjap. "Apa?"
"Touch my hand."
"... Touch your hand?"
Jeka mengangguk singkat. "Ya."
Gue memiringkan kepala gue dan menaruh tangan kanan gue di telapak tangan Jeka. Sedikit ada rasa perih ketika kulit tangan gue membentur kulit tangan Jeka. Lantas, gue langsung menatap Jeka. Dan apa yang gue lihat?
Well, senyum yang lebih dari sekedar tulus. Senyum yang---Astaga! Kenapa dia semanis ini?
Dia mengangkat tangan kirinya lalu mengusap punggung tangan gue pelan-pelan. Dia agak membungkuk dan menunduk, lalu meniup-niup tangan gue yang entah fungsinya agar apa. Jeka terus melakukan itu, sampai waktu yang agak lama. Jujur aja, gue agak risih duduknya. Tapi, gue juga nggak bisa gerak. Keringat dingin mulai membasahi pelipis gue.
Dengan segala tekat dan mencoba menghalau rasa gugup yang tadinya akan menyerang, gue bersuara. "Kenapa lo gituin tangan gue?"
"Biar cepet sembuh."
"Dikasih obat 'kan bisa. Gue kayak anak kecil aja, sampe diginiin sama bapaknya." Ujar gue lagi.
Dia melengos. "Ini emang nggak ngaruh. Tapi, kalo gue ngelakuin hal yang satu ini, pasti langsung sembuh total. Nggak bakal perih lagi." Katanya.
Gua menoleh ke Jeka cepat. "Hal apa?"
Jeka menarik tangan gue saat itu juga dan membawanya mendekat pada wajahnya. Seperkian detik, gue langsung sempurna melotot karna terkejut---banget---sama apa yang dia lakuin. Jeka baru aja mencium punggung tangan gue. Catat! Mencium Tangan Gue!
Oh astaga. Keringat dingin makin mengalir deras melintasi pelipis hingga rahang gue. Perasaan gue nggak karuan. Jantung gue jadi memompa dengan cepat. Ouch! Gue dibuat jantungan sama Jeka tahu nggak! Lagian, kenapa dia nyium tangan gue sih? Seketika, dua tangan gue terasa kebas. Udah nggak terasa perih atau embel-embel yang lain. Mendadak rasa sakitnya udah kalah sama rasa jantungan gue. Gue degdegan parah sekarang. Shock berat!
"Nggak perih lagi 'kan?" Tanya Jeka, memastikan.
"Kebas." Jawab gue, singkat.
Dia senyum sambil menatap gue dengan tatapan manis yang justru bikin gue adem ngelihatnya. Inget ya, dia masih menggenggam tangan gue dan sampai detik ini dia belum melepaskannya. Dan hal itu sukses membuat tingkat pompa di dalam dada gue terasa meningkat pesat. Sumpah! Rasanya gue kacau banget sekarang!
"Kalo tangan lo masih sakit, bilang gue aja. Gue bisa nyium tangan lo lagi biar nggak sakit."
Mati aja lo, Jeka!
-oOo-
Yes up! :v
.
.
Gimana part kali ini? :)
.
.
Hehehe. Vomentnya ya❤💕
KAMU SEDANG MEMBACA
ORDINARY MISTAKE [HIATUS]
Fanfiction"Ngeliat lo kesulitan adalah satu-satunya kesulitan gue." End : ?