Abu-abu [END]

PROLOG

Apa yang paling terlihat abu-abu untukmu?

Bagiku, dialah yang paling terlihat abu-abu di mataku.

Kenapa abu-abu?

Sebab dia selalu saja terlihat semu. Tidak memberi ketegasan seperti warna hitam, atau putih yang benar-benar memberi kepastian akan menghilang.

Aku sendiri di matanya, mungkin hanyalah warna kuning yang menyilaukan. Masih dapat terlihat, namun enggan untuk ia lihat.

Rasanya benar abu-abu. Kadang dia seolah memintaku untuk menunggu, tapi selepas itu dia pergi tanpa memberitahu.

Kembali lagi, namun disaat aku mulai mencoba berhenti. Hingga lagi-lagi kadang kuurungkan niatku untuk melepasnya pergi.

Meski belum tertanam dalam, namun selalu saja dia memberiku secercah harapan. Membuatku enggan melepaskan dan selalu saja merasa takut kehilangan. Dan disaat aku kembali mengisi hatiku dengan harapan, kau lagi-lagi malah mengacuhkan.

Kadang aku ingin mendekat, namun dia terlalu jauh.

Kadang aku ingin menggapai, namun aku lupa kalau dia untukku hanya sesosok bayangan yang kapan saja bisa menghilang.

Aku terlalu berani mengambil resiko dalam mencintainya. Diam-diam hatiku selalu menyebut namanya, dan otakku pun penuh dengan bayangan wajahnya.

Mungkin dia memang mempersilakanku untuk masuk, namun hanya untuk duduk di ruang tunggu hatinya. Menyerah atau menunggu memang pilihanku. Tapi dia juga harus tahu, menyerah pun tidak semudah itu.

Tentang rasaku, dia seolah pura-pura tak tahu, diam membisu, bahkan menutup mata.

Dia mengabaikanku, rasaku, bahkan hatiku. Dia lebih memilih egonya.

Aku tahu, sebenarnya dia sudah tau tentang isi hatiku, bahkan walaupun aku tak memberitahu. Tapi kenapa dia seolah bungkam? Membiarkanku merasakan sendirian, tapi tak membiarkanku pergi perlahan.

Jika dengan mencintainya aku bisa belajar mengalahkan keegoisan, tapi meninggalkannya bagiku bukan pilihan.

Tapi apa daya, jika suatu saat nanti pergi menjadi suatu keharusan. Dan mengikhlaskannya adalah kenyataan yang paling menyakitkan