Kita yang sebatas kata .pernah'.
Kita pernah sedekat nadi, sebelum akhirnya takdir membuat kita menjadi sejauh matahari dengan bumi.
Kita yang pernah berjanji, sebelum akhirnya janji itu teringkari sendiri.
Kala sedih, kita pernah saling mengobati, sebelum akhirnya saling melukai.
--
Dafa menepuk bahu Akmal yang tengah berdiri sambil memandang keluar lewat jendela kamarnya.
"Maaf."
Akmal hanya menolehkan kepalanya sebentar, melemparkan pandangannya ke tangan Dafa yang masih menempel di bahunya.
"Lo bener suka ke Aleea?" lagi-lagi Dafa bertanya tentang hal yang sama pada Akmal. Akmal berdecak kesal, lalu menepis tangan Dafa dan melenggang pergi mendudukkan tubuhnya di atas kasur.
"Gue dukung lo." Ujar Dafa membuat Akmal heran dibuatnya. Akmal pun kemudian memandang Dafa heran.
"Aleea perempuan yang baik. Kamu pun juga laki-laki yang baik. Kalian cocok." Lanjut Dafa dengan suara bergetarnya. Jujur, hatinya berdesir sakit ketika mengatakan hal itu.
"Daf? Bukannya lo masih..." Akmal tak melanjutkan kata-katanya. Namun, apa yang hendak dikatakan Akmal sudah mampu dimengerti Dafa duluan.
"Iya memang, gua masih suka ke Aleea. Namun mencintai tidak harus memiliki kan? Bisa jadi, dengan melepasnya adalah bentuk lain dari mencintainya. Lagi pula, dengan mencintai Aleea gua bisa belajar mengalahkan keegoisan." Dafa tersenyum, berusaha meluaskan perasaannya. Akmal pun ikut tersenyum, namun senyum miris.
--
Di ruang tengah, Aleea melamun memikirkan kejadian siang tadi saat bersama Dafa. Jujur saja ada perasaan lega dalam hatinya karena kini segala selisih paham antara dia dan Dafa sudah mampu diselesaikan. Namun di sisi lain, rasanya ada sesuatu yang hilang. Menolak secara terang-terangan perasaan Dafa kepadanya, berarti membebaskan Dafa untuk menentukkan pilihannya. Tergantung Dafa, tetap bertahan pada perasaannya, atau mungkin akan berpindah pada hati yang lain. Karena hari ini, Aleea telah menciptakan jarak sendiri di antara mereka berdua. Dan hal yang paling menakutkan dari jarak adalah, menambah rindu atau malah selamanya pergi dan berlalu.
Hati Aleea kini memang bukanlah tertuju pada Dafa, namun kenapa rasanya masih sakit yang di rasa ketika harus melepas kembali Dafa?
--
Annisa memarkirkan sepeda motornya di salah satu rumah makan yang berada di dekat alun-alun kota. Ia memasuki rumah makan tersebut, dan langkahnya terhenti serta dahinya mengerut ketika melihat sosok yang ia kenal sedang duduk juga di situ.
"Dafa? Kamu bener Dafa saudaranya Akmal kan?" tanya Annisa tampak ragu, takut jika ia salah orang.
"A-annisa?" Dafa juga turut memastikan. Keduanya lalu tertawa renyah setelah saling menyadari.
"Ngapain kok ada di sini?" tanya Dafa basa-basi.
"Ohh, mancing Daf. Hehe." Jawab Annisa asal-asalan. Dafa mengernyitkan dahinya bingung.
"Yaelah Daf, ya mau beli makan lah, masa beneran mau mancing." Dafa pun menggaruk kedua tengkuknya malu setelah menyadari dirinya habis dikerjai oleh Annisa.
"Oh, yaudah makan bareng yuk." Ajak Dafa, lalu mempersilakan Annisa untuk duduk di depannya. Annisa sempat ragu, namun akhirnya ia menerima tawaran Dafa. Dafa pun kemudian memanggil pelayan, dan memesan makanan.
"Daf? Bukannya itu bukunya Aleea?" Annisa memandang heran ke arah buku yang sejak tadi ada di depan Dafa. Dafa sekilas memandang buku itu, lalu kembali menatap Annisa. Ia kemudian tersenyum, lalu mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abu-abu [END]
SpiritualYang abu-abu itu bukan seragam sekolahku! Terus apa yang paling terlihat abu-abu untukmu? Bagiku, dialah yang paling terlihat abu-abu di mataku. Kenapa abu-abu? Sebab dia selalu saja terlihat semu. Tidak memberi ketegasan seperti warna hitam, atau p...