9

1.8K 150 4
                                    

Aku tidak akan menjadi insan mulia jika aku menunggu permintaan maaf darimu, dan aku pun tidak akan menjadi insan hina jika aku meminta maaf terlebih dahulu padamu.-Aan

--

Wildan—Si Ketua OSIS masuk dengan wajahnya yang tertekuk ke dalam ruang OSIS. Semua anggotanya, termasuk anggota MPK dan Rohis juga sudah berada di situ. Kali ini ada rapat mendadak, entah mau membahas apa. Tapi jika dilihat dari raut wajah Wildan, sepertinya ada yang tidak baik-baik saja.

Wildan pun membuka rapat, dia kemudian membahas langsung ke inti pembicaraan yang hendak ia diskusikan dengan anggota-anggotanya.

"Bulan depan akan ada acara kemah untuk siswa kelas 10, apa kalian sudah tahu?" begitu tanyanya dengan suara yang terdengar sangat lantang. Semua anggota saling melempar pandangan, begitu pun dengan Aan dan Ali. Aan mendesah pasrah, sepertinya dia sudah tahu permasalahan apa yang sudah terjadi.

"Seharusnya acara itu kita yang handle. Tapi kenapa tiba-tiba kelas 12 IPA 4 yang terpilih menjadi panitia? Dan itu juga keputusan sepihak?! Aan bisa tolong kamu jelaskan?!" ujar Wildan langsung mendesak Aan. Memanglah di sekolah mereka belum ada organisasi pramuka. Sekolah mereka masih menggunakan kurikulum 2006 yang tidak mewajibkan ekstrakulikuler tersebut. Namun, baru-baru kemarin waka kesiswaan menugaskan Aan untuk mengadakan acara kemah, seolah sebagai awal permulaan karena tahun depan sudah berganti menjadi kurikulum 2013. Aan merasa bingung, sebab pada waktu yang ditargetkan sekolah untuk mengadakan kegiatan kemah itu bentrok dengan kegiatan OSIS yang lain. Otomatis akan banyak anggota OSIS yang tidak bisa ikut serta menjadi panitia kemah.

"Assalaamu'alaykum warahmatullohi wabarakatuh. Maaf tapi aku tidak memutuskan itu secara sepihak Wil. Aku sempat mendiskusikan masalah ini dengan beberapa anggota, dan sebagian besar dari mereka juga menyetujui kalau aku menunjuk salah satu kelas untuk menjadi panitia kegiatan kemah."

"Tapi apa harus kelas 12 IPA 4? Apa harus kelasmu?"

"Oh enggak!" suara Aan terdengar keras menyangkal, mungkin dia memang sudah kelewat geram. "Mungkin aku bisa saja menunjuk kelas lain untuk meng-handle kegiatan tersebut. Tapi, apa kamu mau kegiatan sekolah dipegang oleh anak kelas lain, kelasmu mungkin?" ujar Aan sedikit menyindir. Ya, di antara kelas 12, memang kelas 12 IPA 4 lah yang terbilang paling 'benar'. Terlihat bagaimana guru-guru sering memuji-muji kelas tersebut, yang katanya kelas unggulan untuk kelas 12. Berbeda dengan kelas lain yang kebanyakan muridnya adalah murid-murid 'hiperaktif' atau murid yang sekolah hanya untuk mendapat uang saku dan formalitas untuk mendapat ijazah. Terutama kelas Wildan yang terkenal dengan kelas paliiiinng 'istimewa'. Jika sekolah saja mereka tidak mementingkannya, apalagi urusan kegiatan seperti ini.

"Kenapa kamu nggak diskusiin sama aku dulu? Kita kan bisa saja menyeleksi anak, nggak harus semua itu dari kelasmu. Berasa kelas paling luar biasa aja, mentang-mentang kelas unggulan gitu?!" Wildan masih tak mau kalah. Aan hanya menarik nafas, mencoba meredam amarah yang mulai membakar dirinya. Ali yang di samping Aan hanya menatapnya, merasa kasihan. Ali tahu Aan tidak sepenuhnya salah di sini.

"Kamu sendiri gimana?!! Nggak usah minta diajak diskusi! Orang rapat mingguan aja kamu sering bolos. Datang cuma kalau ada maunya aja, dan selalu akhirnya nge-ciptain masalah!" Aan akhirnya mengeluarkan segala uneg-unegnya di sini. Suasana ruang OSIS yang penuh, kini terasa sunyi. Anggota yang lain hanya diam, namun sebenarnya sebagian besar dari mereka setuju dengan apa yang Aan katakan barusan. Wildan selama ini memanglah tidak mengemban tugasnya dengan baik. Tak jarang kewajibannya di organisasi ia tinggalkan.

"Cih!" karena merasa terpojokkan, Wildan yang tadinya bersikeras membela dirinya pun akhirnya keluar. Selepas kepergian Wildan, banyak anggota yang mendekati Aan dan membantu menenangkan amarahnya.

Abu-abu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang