5

2.1K 165 2
                                    

Aku tahu sudah ada nama lain di hatimu, dan itu bukan namaku. Aku tahu, bahkan sejak pertama kali aku bertemu denganmu.-Leea

--

Annisa perempuan yang sangat friendly. Dia bisa langsung terlihat akrab dengan siapa saja, termasuk Aleea. Sejak duduk di kantin dan menikmati makan siang bersama, Annisa terlihat sangat mudah sekali mencari topik supaya suasana di antara ketiganya tidaklah menjadi canggung.

"Uhuk." Annisa tersedak, dengan cepat Ali langsung menuangkan air putih yang ada di meja untuk Annisa. Aleea menatap mereka sendu.

"Ini kak." Aleea memberi Annisa tissue.

"Makasih Lee." Annisa kemudian mengelap bibirnya. Aleea tersenyum.

"Oya Kak. Aku habis ini ada quiz, jadi aku balik ke kelas duluan ya." Aleea tanpa ragu pamit untuk pergi ke kelasnya terlebih dahulu. Annisa sempat menghentikannya, namun apa boleh buat. Apalagi ketika Ali sudah mengangguk meng-iya-kan.

--

Di kelas, Aleea duduk sendiri. Tatapannya sendu, ia melamun di bangkunya. Rahel hanya memerhatikan Aleea dari bangkunya yang berada di sebelah Aleea. Ia tahu, kalau sedang begini biasanya Aleea memang sedang ada masalah, dan dia butuh waktu sendiri.

Aleea memegang dadanya. Ada sesuatu yang menyesakkan, tapi entah apa.

Aleea belum menyadarinya, atau memang dia masih mencoba menutupi apa yang sebenarnya ia rasa. Iya, tentang perasaannya kepada Ali.

Bibir Aleea terlihat berkomat-kamit mengucap istighfar. Dia sungguh sedang tidak bisa mengontrol perasaannya sendiri.

--

Ali dan Annisa masih duduk bersama di kantin. Keduanya masih belum menghabiskan makanannya. Suasananya sedikit lebih canggung semenjak kepergian Aleea tadi. Ali menyeruput es tehnya, sedangkan Annisa fokus pada makanan yang sedang ia nikmati.

"Mm, Nis?"

"Iya Al?"

"Gimana tentang hubunganmu sama Adrian?"

Mendengar nama itu disebut Ali, Annisa langsung berhenti mengunyah makanannya. Pemilik nama itu, yang pernah teramat istimewa untuk Annisa. Namun, pemilik nama itu juga yang pernah menggoreskan luka yang begitu dalam di hatinya.

"Apaan sih Al? Aku sama dia kan udah lama nggak ada hubungan apa-apa." Annisa menjawab seolah sudah biasa-biasa saja mendengar nama Adrian disebut. Bahkan dia sedikit menyungging senyum dari bibirnya, senyuman yang terlihat ia paksakan.

"Bukan itu maksudku. Mm, maksudku apa kamu sudah bisa melupakannya?"

Jujur saat Ali bertanya tentang hal ini padanya, Annisa nampak begitu kaget. Perasaan dalam hatinya benar-benar campur aduk.

"Andai kamu tahu Al, aku sudah lama melupakannya. Dan, sudah ada orang lain yang berhasil membantuku menggantikan namanya. Dan itu kamu sendiri." Ujar Annisa dalam hatinya. Namun, ya seperti itulah, ia hanya bisa mengatakannya sendiri di dalam hatinya. Sejak putus dengan Adrian, memang Ali lah yang selalu bisa menghibur Annisa. Mereka sudah berteman sejak SMP. Dan, entah sejak kapan perasaan itu muncul dalam hati Annisa. Ali yang sebelumnya hanya ia anggap sebagai sahabat, perlahan menjadi sosok yang teramat sangat istimewa di hatinya. Namun Annisa takut jika perasaannya justru akan membuat persahabatannya dengan Ali menjadi terganggu.

"Masa laluku sudah tertinggal jauh, dan aku tidak mau lagi menyentuh apa pun tentang itu. Sekarang, aku sudah lebih nyaman seperti ini." Jawab Annisa terdengar begitu mantap.

"Mm, bagaimana kalau ada orang lain yang suka sama kamu?"

Annisa menaikkan salah satu alisnya, bertanya keheranan. "Mm, maksud aku, apa kamu udah siap untuk jatuh hati lagi?" cara bicara Ali sejak tadi terdengar bingung. Ia berulang kali bergumam.

Annisa hanya mampu tersenyum, namun Ali dengan gugup sangat menantikan jawaban itu.

"Aku yang ditanya, kok malah kamu yang kelihatan gugup?" ujar Annisa yang berhasil membuat Ali salah tingkah. Ali kemudian menarik nafasnya dalam.

"Aku siap kok jatuh hati kapan saja, asal ada yang mau nangkap aja. Soalnya, kalau jatuh dan nggak ada yang nangkap, kan sakit." Ujar Annisa sedikit bercanda. Butuh waktu beberapa detik, Ali tertawa kaku, begitu pun dengan Annisa.

"Lagian nih ya Al, aku udah nggak mau lagi pacaran kayak dulu. Aku sadar itu nggak baik. Kalau aku ingin mendapatkan lelaki yang baik, aku juga harus mau memperbaiki diri. Begitu kan katamu dulu?". Ali jugalah seseorang yang membantu Annisa berhijrah. Annisa yang sekarang berhijab, dan terlihat lebih religius, semua juga karena tuntunan Ali. Ali memang tidak pernah memaksanya, namun ini semua memang sudah kemauan dan kemantapan hati Annisa, Ali hanya membantunya.

Ali mengangguk, dan senyum pun terukir di wajah dinginnya.

"Kamu sendiri?" Annisa balik bertanya. Pertanyaan Annisa sontak membuat Ali bingung. Maksud Annisa apa? Pacaran saja Ali belum pernah, dan sama sekali tidak tertarik. Hanya saja, memang ada wanita yang sejak dulu menarik hatinya.

"Aku?"

"Iya kamu. Apa kamu nggak lagi suka sama siapa-siapa?"

"Hah? Oh, itu. Emm.." Ali nampak bingung hendak menjawab apa. Dia memalingkan pandangannya dari Annisa, menhindari kontak mata dengan perempuan di depannya itu.

"Aleea manis dan menggemaskan loh Al."

Aleea? Kenapa tiba-tiba saja Annisa menyinggung tentang Aleea?

"Lalu kalau dia manis dan menggemaskan kenapa?"

"Kalian cocok."

Ali terdiam. Annisa, perempuan yang sebenarnya sudah ia sukai sejak SMP, secara langsung berkata seperti itu padanya. Apa mungkin, Annisa tidak menyukainya, dan membiarkannya merasakan cinta sendiri? Dulu, walau kenyataannya Ali tahu Annisa menerima cinta Adrian, hati Ali tak pernah berubah. Walau pun ia tahu, Annisa dulu mungkin tak se-sholeha sekarang, namun hatinya juga tetap bertahan pada sahabatnya itu. Ia yakin kalau suatu saat Annisa pasti akan berubah, dan itu benar terbukti sekarang.

"Mm, dia bukan tipeku."

"Tapi, kalau Allah berkehendak, kamu bisa apa?"

"Ya..." Ali nampak bingung. "Ah, aku nggak tahu. Tapi untuk saat ini aku memang nggak menyukainya." Ali melanjutkan perkataannya. Pelipisnya mulai basah oleh keringat. Sedangkan Annisa menatapnya sambil menyungging senyum.

Abu-abu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang