Keinginan

490 14 1
                                    

Wanita dengan paras indah itu kini sedang berada dibawah pohon rindang di sebuah taman daerah Jakarta menikmati angin yang pelan namun menenangkan. Hati serta harinya cukup membaik di siang hari. Hanya malam yang ditakutkannya.

Rambut berwarna hitam mengkilat itu bertebaran mengikuti aliran angin yang datang. Dari barat ke timur. Dari utara ke selatan. Angin kini merasuk ke pori-pori kulitnya hingga menimbulkan sensasi yang berbeda. Yah, ini lah keinginannya. Hidup tanpa beban dan dosa yang terkenang. Menikmati hidup tanpa adanya campur tangan siapa saja. Hanya ada dirinya, udara, dan Tuhan yang melihatnya.

Namun perlahan lamunannya dikejutkan oleh deringan handphone yang berada di saku kanannya.
"Hallo, siapa ini?" Ucap Zia dengan nada suara indah seperti hari-hari biasanya.
"Hallo, ini dari pihak Rumah Sakit, apa benar ini wali dari bapak Zaki?" Jawab seorang wanita.
"Iya saya Zia, anaknya. Ini siapa?"
"Saya perawat Anna, saya hanya ingin menyampaikan bahwa bapak Zaki mengalami kecelakaan dan tewas di tempat. Saya harap Anda sebagai pihak keluarga menjemput jasadnya agar di makamkan"

Tubuhnya mematung, telinga dan otaknya benar-benar mengolah kata demi kata perawat itu, ia tidak mempercayai apa yang terjadi. Berteriak, dalam hati. Tidak ada air mata yang mengalir di pipinya, yang dia lakukan hanya menghela nafas sembari berkata "Saya akan menuju ke sana."

Tanpa berlari, hanya berjalan tergoyang-goyang ke kanan dan kiri, Zia menuju kamar mayat untuk menengok mayat yang dibicarakan di telpon siang itu.

Saat ini dia sedang berdiri, terdiam melihat sebuah kain putih dan tubuh pucat membiru. Dibukanya kain itu, dia melihat dengan seksama siapa lelaki itu.
"Iya benar, dia ayah saya."
"Kalau begitu mari saya antar ke bagian administrasi."
Menuju ke loket yang cukup padat diramaikan beberapa pasien, membayar seluruh tagihan. Lalu ia berencana membawa pulang jasad ayahnya. Tidak ada ekspresi tangisan di parasnya. Hanya ada ekspresi dengan tatapan kosong yang mengisyaratkan bahwa kesedihannya tidak cukup hanya dengan air mata.

Di tempat lain, seorang laki-laki baru turun dari mobil jeepnya. Menggunakan setelah dokter muda bertuliskan universitas ternama. Archie. Calon dokter muda yang saat ini banyak disukai perawat karena elok wajah dan badan sexynya. Selain itu kehangantan hati yang dia berikan kepada siapa saja mampu membuat setiap inci dari tubuh kaum hawa menenggang hebat.

Saat ini dia menuju ke ruangan bertuliskan Dr. Gio dan mengucap kata-kata sapaan seperti "Selamat pagi'" atau bahkan "Selamat siang." Tergantung pukul berapa dia datang.
"Hai dokter, selamat siang. Ada berapa pasien kah hari ini. Hahaha."
"Elu tuh ya jam berapa baru dateng ha? Untung bokap ke luar negeri. Kalo dia tau elu dateng jam segini yang mati bakalan elu juga." Ucap seorang dokter dengan usia pertengahan 30 tahunan, menggunakan kacamata, tinggi dan memuaskan mata.
"Sante dong bang, abis party kemarin gua. Party main ps sama anak-anak noh di hotel Kemang. Mangkannya telat. Maafin gua ya."
"Ar, elu tuh udah gede, gua tau elu pinter tapi please elu peduli dong sama rumah sakit ini, sama pasien, sama bokap, sama gua."
"Iyalah bang, bawel amat kayak ga pernah muda aja hahaha. Udah-udah ada yang bisa gua bantu enggak?"
"Ada orang meninggal hari ini, ketabrak mobil. Bapak-bapak. Udah periksa dulu sana jasadnya. Belajarin, kematiannya karena apa. Soalnya banyak saksi yang bilang itu cuma kecelakaan kecil. "
"Okey bos. Siap. Bye."

Zia menunggu di ruang tunggu untuk memulangkan jasad ayahnya. Dia berlari sembari melihat ada seorang pria memakai jas dokter keluar dari kamar mayat. Dia ingin tahu apa sebabnya ayahnya meninggal hanya karena kecelakaan itu atau karena hal lain. Karena Zia tahu ayahnya memiliki penyakit jantung yang seharusnya dioperasi setahun yang lalu namun pendonor tak kunjung ada.

"Permisi, saya wali dari bapak Zaki. Saya ingin bertanya apa penyebab ayah saya meninggal? Saya melihat jasad ayah saya hanya ada goresan di tangan dan goresan kecil di kepalanya. Menurut saya, luka kecil itu tidak akan menimbulkan kematian. Tolong jelaskan." Mata penuh harap itu menelisik mata seorang dokter muda yang telinganya seolah tertutup dengan parasnya. "Dia wanita di lift itu."
"Dokter! Tolong jelaskan!" Zia meninggikan suaranya.
"Ah, oh iya. Kematian bapak Zaki bukan dari kecelakaannya, tapi saya ingin bertanya apakah beliau memiliki penyakit jantung lemah? Maksud saya benar-benar lemah? Karena menurut medis beliau meninggal karena terkejut akan kecelakaan yang menimpanya."

Mata Zia mulai terasa perih, "Iya dia menderita penyakit itu."
Bagai ombak membelah batuan, Zia mati-matian menyalahkan dirinya sendiri karena menurutnya kematian ayahnya adalah 100% kesalahannya. Seandainya dia siang ini tidak pergi meninggalkan ayahnya, mungkin kejadian ini tidak terjadi. Atau bila mungkin Zia bekerja keras, maka Zia akan mampu mengobatkan ayahnya dengan layak.

Sebuah mobil ambulance melaju menuju rumah Zia, bersama jasad sang ayah. Seluruh upacara pemakaman juga telah di lakukan. Yang datang hanya para tetangga dan teman-teman Zia juga teman-teman ayahnya. Tak ada keluarga lain yang menengoknya. Karena masa lalu ayah dan ibunya membuat kedua keluarga menjadi acuh. Ada keluarga seperti itu? Ada, Zia merasakannya. Merasakan tidak ada orang yang sedarah daging dengannya memeluknya dan berkata semua akan baik-baik saja. Yang dirasakannya hanyalah perasaan marah, kecewa, kehilangan.

Esok paginya, Zia terbangun di kamar ayahnya. Dia ketiduran saat membereskan barang-barang ayahnya, hingga dia menemukan sebuah kotak sepatu berwarna biru. Dibukanya kotak itu. Terlihat disitu ada beberapa lembar foto yang terlihat. Foto dirinya ketika masih bayi, foto ibunya, dan foto mereka bertiga. Terlihat jelas ayahnya berada di samping kanan, ibunya berada di samping kiri menggendong seorang balita mungil. Latar belakang foto itu adalah sebuah kamar yang menurut Zia adalah rumah sakit. Ditemukan pula sebuah diary dengan tulisan sampul "Untuk Ziaendra Senja" dibukanya diary itu.

"Hari ini, adalah hari dimana usia mu menginjak 3 minggu dalam kandungan ibu mu, aku merasa sangat bahagia mengetahui bahwa aku akan memiliki seorang anak dari wanita yang kucintai. Aku harap aku bisa menjadi ayah yang baik untuk mu."

"Kamu sudah lahir, kamu adalah seorang gadis cilik. Aku memberimu nama Ziaendra Senja. Aku tidak tahu apa artinya, namun yang pasti kata senja yang tercantum dalam nama mu akan menjadi keunggulan, karena kamu indah seperti senja matahari."

Zia membacanya dengan teliti, dengan sabar dan mempersiapkan hatinya untuk membaca lembar demi lembar diary ayahnya itu. Hingga berada di lembar terakhir yang cukup panjang.

"Sudah lama aku tidak membuka diary ini semenjak kepergian ibu mu nak. Menurut ku diary ini melambangkan kebahagian diriku bersama mu dan ibu mu. Tapi entah kenapa hari ini aku berniat menuliskan sesuatu padamu. Untuk Zia anak semata wayangku, maafkan ayah yang tidak bisa menjadi ayah yang baik untuk mu. Hanya bisa menjadi beban mu. Melihat mu keluar setiap malam dan pulang ketika fajar tiba membuat ayah sedikit takut. Hingga ayah tahu bahwa kamu berurusan dengan Madam Laine. Ayah tahu nak, ayah tidak menyalahkan pekerjaan mu, ini semua karena ayah yang tidak cakap menjadi orangtua yang benar. Ayah bahkan tidak bisa mengkuliahkan mu karena ayah lemah. Dalam doa, ayah hanya berharap jika nanti ayah sudah tiada, tolong jangan terlalu bersedih. Maafkan ayah yang membiarkan mu sendirian dan merindukan orang yang sudah tidak bisa disamping mu. Maafkan ayah yang tidak bisa melarang mu melakukan pekerjaan itu karena ayah tahu bahwa semua demi ayah yang tidak berguna ini. Selepas ayah pergi, keinginan ayah hanyalah hiduplah bahagia. Tinggalkan urusan dengan Madam Laine, hiduplah sesuai dengan apa yang kamu inginkan. Berhentilah. Setiap malam ayah berdoa agar kamu selalu berada di lindungan Tuhan agar saat ayah terbangun esok paginya, ayah bisa melihat mu dengan senyuman kebahagiaan. Dari ayah mu yang tak cukup cakap, untuk anak ku yang sangat tegar, Zia."

Air mulai menggenang di kelopak matanya, kesedihannya sudah memuncak. Bahkan saat ayahnya menuju peristirahatan terakhir air mata itu tidak kunjung menetes. Teriakan dan isakan memenuhi sebuah ruangan dengan satu tempat tidur dan lemari berukuran sedang. Sambil memeluk sebuah buku yang menurutnya sangat berharga. Di dalamnya tertuang segala curahan ayahnya dan segala bentuk permohonan maaf. Zia menangis mengenang ayahnya, seorang laki-laki yang sangat Zia cintai kini sudah tidak ada lagi. Tidak ada yang mendoakannya saat ini, tidak ada yang menyuruhnya makan lagi, atau berkata apakah dirinya baik-baik saja.

Keinginan tulus ayahnya menyadarkan wanita muda ini, bahwa dia harus hidup sesuai dengan keinginannya dan berhenti untuk bertemu Madam Laine yang membuatnya terjerat di lubang hitam.

"Aku akan mengabulkan keinginan ayah. Aku berjanji."
Hanya kata itu yang terucap dan yang terpikirkan oleh Zia. Seorang wanita malam yang sedang berusaha keluar lagi zona gelap karena rasa kehilangan yang teramat dalam.

Hallo readers selamat malam. Maaf ya baru update. Akhir-akhir ini saya sedang sibuk-sibuknya. Bagian ke-3 sudah di publis. Semoga kalian menikmatinya ya. Dan saya harap tidak ada yang mengcopas cerita saya ini karena ini hasil kerja imajinasi saya😭imajinasi juga butuh asupan gizi. Berikan komentar dan saran cerita ke saya agar saya bersemangat lagi untuk menulis chapter selanjutnya. Maaf kalau feelnya kurang🙏🏻akan saya perbaiki kedepannya.

Zia atau SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang