Hari itu bukanlah hari yang biasa Zia rasakan. Hari dimana dia merasa bahwa dia saat ini memiliki sosok yang sangat dia percayai. Gejolak rasa takut membuatnya berpikir seribu kali untuk mempercayainya. Percaya dia akan ada, percaya dia akan melindungi, dan percaya dia tak akan pergi.
Banyak hal yang membuatnya mengurungkan niatnya untuk jatuh kepada pelukan orang lain. Bukan karena dia merasa bahwa dia mandiri, namun karena dia merasa bahwa dia hanyalah wanita tanpa rasa hormat terhadap dirinya sendiri. Dia selalu berpikir, bagaimana orang lain bisa menghargai dirinya namun dia sendiri tak mampu melakukannya. Baginya, harganya adalah beberapa lembar uang berwarna merah dengan nominal terbesar di negaranya.
Pemikiran itu berubah, saat dia bertemu dengan seorang lelaki. Matanya berwarna coklat hazel, rambutnya hitam dengan tatanan menggunakan pomade kalau jaman sekarang itu sebutannya. Terkikik Zia membayangkan wajah lelaki itu. Tubuhnya yang tinggi dan badannya yang tegap, senyumnya yang hangat, dan pandangan atas dirinya membuat dia jatuh kepelukannya.
"Aku jatuh cinta" tiga kata itu berkata dihatinya. Perasaan yang tak pernah dia rasakan, maklumi saja. Ziandra Senja sang cupu dijamannya menjadi wanita nakal yang tak pernah merasakan apa itu cinta. Hanya kebohongan yang dia rasakan. Presepsinya tentang rasa cinta tak pernah ada. Hanya rasa timbal balik yang dia tahu. Kamu memiliki uang aku akan menggoyang. Sedikit vulgar, namun itu nyatanya.
"Kamu kenapa?" Teguran lelaki di kursi pengemudi mengaggetkannya.
"Tidak, aku tidak apa-apa. Hanya berpikir" Jawabnya dengan mata kosong menatap ke arah jalanan.
"Tentang?" Lelaki itu menoleh sedikit.
"Perasaan ku terhadap mu"
Setelah pengucapan itu tak ada satupun yang bersuara.Sudah hampir tiga bulan lebih pertemuan Zia dengan kakak Archie serta pernyataan cintanya. Dan tiga bulan itu Zia bekerja dengan Archie. Menjadi asistennya. Pagi hari dia bangun dan langsung menuju rumah sakit. Mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan Archie. Mulai dari mengambil dokumen pasien, membersihkan ruangan, hingga menyiapkan makanan untuknya. Gadis ini tahu bahwa pekerjaan yang Archie tawarkan adalah alasan. Sesungguhnya dia tidak memerlukan asisten. Pegawai rumah sakit mampu melakukan apa yang Zia lakukan. Hanya saja, Zia membutuhkan pekerjaan ini untuk menghidupinya.
"Hari ini kamu akan bertemu Gio?"
"Tentu saja, aku harus bertemu dengannya. Setelah kamu bertemu dengannya, dia ga pulang. Papa udah nyari, tapi waktu dihubungin dia cuma bilang mau menenangkan diri. Aku hanya ingin tahu, apa kakak ku sebegitu cintanya dengan Wina."
"Entah, aku juga ga tahu. Yang pasti Wina sangat menyukai Gio. Aku bahkan tak tahu apa yang Wina lihat dari Gio."
"Hoho kamu meremehkan kakak ku."
"Aku tak meremehkannya, aku membencinya."
"Hm, setelah kenal aku baru sadar bahwa kamu orangnya cukup pendendam ya nyonya."
"Oh terima kasih kamu sudah mengingatkan ku atas sifat buruk ku yang sangat ku favoritkan."
"Hahahaha."**********************
Laki-laki dengan tatanan rambut rapi itu sedang menatap jendela, sambil membawa buku yang ditangannya. Itu bukan buku. Itu bukan sekedar buku, itu adalah buku harian Wina. Gio, si bodoh yang selalu membuat keributan. Itu sebutan Wina untuk Gio. Bisa disingkat Gio si tolol.
Tentu, dengan gelar dokternya Gio tak mungkin tolol dibidang akademis, dia hanya tolol tentang perasaan manusia. Alias tidak peka sebutannya. Di dalam buku itu Wina menuliskan segala hal tentang Gio disana, mungkin tidak segalanya tapi kebanyakan. Dibukanya buku itu, Gio tahu bahwa dia telah membacanya berulang kali. Hanya saja kali ini berbeda. Dia ingin merasakan sensasinya. Membayangkan kembali bertemu dengan Wina.
Pertemuan itu berawal ketika si wanita merasa bahwa dia tidak bisa lagi hidup dengan pekerjaan ini. Bahkan, dia menyeret sahabatnya sendiri untuk mengikuti alurnya. Berdiri di atas atap sebuah apartemen di Jakarta. Dia berdiri disisi siap untuk melompat. Dengan memejamkan mata dia melangkah. Langkah demi langkah hingga sampai di ujung.
"Nasi uduk masih enak, tapi kamu ingin mati? Sayang sekali"
Ucapan seorang lelaki dengan kacamata menganggetkan Wina yang kala itu benar-benar dilanda depresi.
"Pergilah menjauh, jangan melarang ku" Jawab Wina dengan sinis dan meyakinkan dirinya atas keputusan bodohnya itu.
"Siapa yang akan melarang mu, lompat saja. Hanya saja, disini hanya ada aku. Jika kamu melompat lalu orang berpresepsi aku mendorong mu memang kamu akan menolong ku?"
"Maka dari itu pergilah! Anggap kamu tidak melihat hal ini."
"Oh, benarkah? Bagaimana ya, aku mempunyai mata tuh. Ada empat lagi. Dua buatan Tuhan dua buatan manusia. "Wina tidak sadar, percakapan itu hanya membuatnya terlengah. Laki-laki itu perlahan mendekatinya. Mendekati untuk menyelamatkannya.
"Apa yang kamu bicarakan?"
"Maksud ku, aku diberikan anugerah empat mata, lalu kamu menyuruh ku untuk berpura-pura tidak melihatnya? Wah wah, kamu sangat jahat. Aku merasa terhina."
"Pergilah! Kamu mengalihkan ku!"
"Beneran nih aku mengalihkan? Apa aku tampan sampai kamu teralihkan?"
"Apa? Kamu tampan? Hah, lebih baik aku menikah dengan diriku sendiri daripada mengatakan kamu tampan"Tiba-tiba jarak mereka sudah tinggal beberapa jengkal. Dengan memutar otak, Gio menarik tangan gadis itu. Mereka berdua terjatuh di tanah, dengan posisi Wina berada diatas Gio. Kedua insan itu saling memandang dan saling merasakan detak jantung masing-masing. Berdegup kencang layaknya atlet lari yang sedang berlomba. Dag dig dug dag dig dug. Kurang lebih detaknya seperti itu.
"Hai aku Gio, kamu?"
"Wina"Setelah mengingat kejadian itu, Gio membentuk lengkungan di sudut bibirnya.
"Dasar gadis bodoh, apa sampai akhir kamu hanya akan mencintai ku?"
Gio membatin dengan mata yang berkaca-kaca.
Ya, dia mencintai Wina. Tapi resiko yang diambil terlalu besar. Bagi Gio hidup tidak ada yang sempurna. Karir yang cemerlang bukan berarti kisah cintanya seperti itu juga. Belum lagi ayahnya yang maha dan serba pengatur itu mengetahuinya.Gio tidak bermaksud meninggalkan janji atau meninggalkan Wina. Dia tidak ingin Wina mengetahui betapa gelapnya hidupnya. Betapa kejamnya orang kaya-kaya ini. Betapa jahatnya keputusan yang akan diambil. Gio tahu betul apa yang dia rasakan, hingga detik ini dua tahun berlalu. Perasaan itu tak berubah, dia mencintai Wina seperti apa adanya dia. Mencintai kejujurannya akan hidup, mencintai tawa yang tanpa menutup mulutnya, mencintai apa yang dia punya. Keberanian dalam mengakui sesuatu. Baginya, tidak ada gadis seberani Wina.
Kisah ini, bukanlah kisah utama. Namun kisah ini adalah kisah tentang bagaimana dua insan saling mencinta tapi tak bisa bersama. Memang Tuhan yang memutus percintaan ini, tapi yang lebih parahnya adalah, manusia itu sendiri yang takut mengambil resiko untuk saling memperjuangkan.
Hallo long time no see nih readers maaf ya lama banget updatenya. Author lagi galau gara gara magang kuliah nih, jadi masih belum ada inspirasi. Di chapter ini semoga kalian semakin penasaran ya, ditunggu chapter berikutnya😘. Jangan lupa vote, komen, dan share ke seluruh medsos yang kalian punya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zia atau Senja
Teen FictionDia Zia atau Senja? Yang mana saja tak masalah. Asal orang yang sama. Orang yang aku cinta.