Masa Depan

48 1 0
                                    

Cahaya matahari sudah mulai menampakan dirinya dari mendungnya awan hujan sisa semalam. Masih ada tetesan air hujan di kelopak bunga balkon rumah megah itu. Cuaca sejuk dilengkapi angin semilir membuatnya terbangun. Berusaha melihat sekitar dengan nyawa yang belum lengkap akibat tertidur terlalu pulas.

Pekerjaannya yang menumpuk membuatnya susah tidur akhir-akhir ini, hingga pada akhirnya di pekan minggu ini dia merasa bernafas, merasa seperti manusia.

Melihat ke langit-langit kamar, kemudian memejamkan matanya lagi. Dia melihat seorang wanita dengan rambut hitam legam tergurai membelakanginya lalu kemudian menengok ke arahnya dengan mimik wajah tersenyum yang mana senyumnya mengikuti bentuk mata cerianya.

Membuka matanya kembali dia tak sadar bahwa dia ikut tersenyum dengan angan-angannya.

"Aku merindukannya." Dia berdehem pelan sambil memposisikan lengannya menutupi separuh wajahnya.

Dia beranjak dari tempat tidur besar itu, perlahan menuju kamar mandi. Melihat kedalam cermin dan memandang bekas operasi itu.

Hari ini adalah hari libur, dia memutuskan pergi untuk menemui gadisnya yang sudah lama tak ia jumpai sambil ingin berkata hallo apa kabar atau sekedar basa basi lainnya.

Tak lupa dia membelikan sebuah bunga mawar putih yang mungkin itu adalah bunga kesukaannya, minggu lalu dia membawa bunga matahari kecil. Setiap kali dia datang, dia membawa bunga yang berbeda. Ini dia lakukan karena keegoisannya, dia terlalu banyak terlelap sehingga hal-hal sederhana seperti warna kesukaan atau bunga favoritnya dia tak ketahui. Jadi dia bertekad akan membawa bunga yang berbeda setiap datang menemuinya.

"Sarapan dulu." Ajak seorang pria tua yang tak lain adalah ayahnya.
"Aku akan makan diluar, papa makan dulu aja sama kak Gio." Jawab lelaki itu sambil membenarkan jam tangannya dan bergegas menuju mobilnya.

Lelaki tua itu di selimuti rasa bersalah yang mendalam kepada anak-anaknya. Keras kepala dan kekakuan sikapnya membuat anaknya semakin menjauh. Saat ini dia sedang bekerja keras membuat anak-anaknya kembali memandangnya.

"Aku terlalu egois"
"Aku terlalu keras kepala"
"Aku tidak pernah memikirkan apa yang orang lain rasakan terhadap ku"

Begitu banyak cacian maki yang dia lontarkan untuk dirinya sendiri.

Duk...duk...duk...

Suara sepatu menuruni anak tangga, kali ini adalah anak sulungnya.

"Gi, ayo sarapan." Ajak lelaki itu kembali.
"Mana Archie? Apa dia tidak sarapan dengan kita?" Tanya Gio.
"Dia sudah berangkat, seperti hari biasanya selama dua tahun terakhir."

Anak sulungnya menghampirinya, untuk sekedar makan bersama sang anak merelakan egonya untuk membuat ayahnya bahagia. Dia tahu, bahwa apa yang dilakukan ayahnya tak lebih karena menyayangi mereka, tapi cara yang dia lakukan salah.

Memisahkan seseorang yang benar-benar ingin bersama adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan atau disalahkan. Kepentingan masing-masinglah yang membuat semua itu terjadi.

****************

Mobil itu berhenti di sebuah pemakaman kampung, tempatnya sedikit terpencil dengan rumah penduduk yang padat. Para penjaga makam sudah hafal dengan mobil mewah itu.

"Selamat pagi pak, hari ini pagi sekali datangnya." Ucap salam salah seorang penjaga makam.
"Iya, saya mendadak mengingat dia pagi ini. Mari pak." Balas sapaan itu dengan senyumannya. Dia tersenyum, namun tak terlihat seperti tersenyum. Dia terlihat seperti sosok sedih, seperti manusia yang bukan manusia atau seperti sebuah karya seni.

Badannya tegap atletis, tampan, seorang dokter sekaligus calon pewaris rumah sakit, semua gadis menginginkannya. Tapi itu tak membuatnya seperti hidup, dia melambaikan tangan kesana sini, berucap selamat pagi dan selamat siang pada seluruh pasien rumah sakit. Mendatangi setiap pesta eksekutif dan selalu mendapatkan perhatian karena bentuk fisiknya, selalu di sapa oleh gadis-gadis cantik yang bahkan kawan-kawannya ingin menerkam para gadis itu seperti kawanan serigala. Dia tersenyum namun seperti tidak bernyawa.

"Hai, apa kabar?" Dia melihat tulisan nisan makam itu dan mulai menangis kemudian langsung terduduk disampingnya. Menaruh setangkai mawar putih dan melihat bunga matahari yang minggu lalu dia bawa telah layu.

"Bunga layu tidak pantas untuk mu yang indah. Dia harus dibuang. Kamu tahu, minggu ini adalah minggu yang berat. Aku melakukan beberapa operasi besar dan aku berhasil berkat mu. Saat aku takut aku memejamkan mata sejenak dan melihat mu dan aku berhasil. Pacar mu ini memang hebat dalam segala hal, tapi tidak dengan melindungi mu. Nikki bulan ini akan menikahi seorang pengusaha kaya Norwegia, dia sangat senang, begitupun aku. Mungkin pada saat itu datang, aku tidak bisa berada disini menemui mu. Jika kupikir, jika saja, kamu disini aku akan mengajak mu sambil bergandengan tangan dan membicarakan hal konyol yang selalu kita lakukan. Atau kita bisa saja mengkomentari Nikki dengan suaminya. Mungkin saja kamu akan membandingkan aku dengan suaminya, kamu akan berkata dia lebih tampan, lebih tinggi dan lebih mempesona. Dan aku akan tertawa dan menyuruh mu pergi ke arahnya lalu kamu akan menghentikan ku dan berkata hanya aku yang ada di dalam mata mu saat ini. Cih....maaf aku terlalu mengada-ada. Aku hanya, merindukan mu. Sangat merindukan mu. Bahkan saat aku bernafas seperti ini aku tidak merasa hidup Zi. Ada yang hilang, seperti aku tidak menemukan siapa aku. Aku hanya menjalani kehidupan tanpa aku tau apa yang aku inginkan lagi. Aku menjalani kehidupan karena kamu menyuruhku begitu. Setiap kali aku berjalan, sepersekian detik aku menoleh kebelakang. Berharap kamu ada dan mengejar ku sambil memeluk ku. Maafkan aku Zi, seharusnya aku menyelamatkan mu, seharusnya aku bersama mu, seharusnya...seharusnya saat itu aku tidak tertidur terlalu lama kemudian mengetahui tentang ini. Seharusnya....."

Ucapannya terhenti, tangisannya memuncak. Dia begitu merindukan tempatnya bernaung tempatnya mencurahkan segala keluh kesahnya.

Mereka sangat singkat, namun begitu melekat. Seperti terkena kutukan yang siapapun akan susah untuk menghancurkan kutukannya.

Sudah selama ini Zia telah pergi meninggalkan Archie sendirian. Namun Archie seperti tak berhenti berharap bahwa Zia akan bersamanya lagi. Terkadang pikiran gila itu membuat teman-temannya sedikit khawatir. Mereka takut Archie melakukan hal gila, tentu saja Archie tidak akan melakukannya. Sebab, surat Zia yang membuat dia masih bisa bertahan se normal mungkin seperti manusia pada umumnya.

Selama ini, Archie hanya melihat kebelakang tanpa tahu apa yang ada di depannya. Dia terbelunggu dalam rasa bersalah yang amat dalam, bahkan di detik akhir Zia tiada, lelaki itu tak menemaninya sekalipun terdapat pesan oleh Zia bahwa dia tak boleh menyalahkan dirinya sendiri.

**************

Terlihat sang kakak menunggunya di teras rumah.
"Pergi menemuinya?" Tanyanya.
"Iya." Jawab Archie tanpa menoleh dan hanya berjalan menuju ke dalam rumah.

Sebelum menuju kedalam, kakaknya menahan dirinya.
"Sampai kapan? Ini sudah dua tahun. Lu harus sembuh Arch."
"Sampai dia kembali lagi, bisakah kakak mengembalikannya?" Toleh Archie dengan mata berkaca-kaca.

Gio terdiam dan membiarkan adiknya berjalan. Dia juga merasa bersalah karena menyembunyikan hal ini kepada adiknya. Seharusnya dia memberitahunya sehingga tidak ada penyesalan kembali dalam diri Archie.

Ketika melepaskan sesuatu, membutuhkan keberanian yang lebih besar daripada mempertahankannya. Itu yang saat ini pria itu hadapi. Dia tidak memiliki cukup keberanian melepaskan gadisnya yang saat ini sudah tiada.

Halo semua, semoga suka dengan chapter ini. If you want to know me more you can follow me on instagram @chatpuris dm aja kalo mau di follback hehe. Jangan lupa beri like dan komentar agar aku bisa berkembang ya. Terimakasih banyak

Zia atau SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang