Hati adalah tempat kita menaruh sebuah rasa, tentang sesuatu yang kita ketahui tanpa orang lain mengetahuinya. Hati tahu apa makna sebuah rasa itu sendiri. Hati tahu, kita ingin bersandar pada siapa. Hati tahu kita inginkan apa. Semua ini tentang sebuah perasaan yang hanya kita ketahui, perasaan yang mampu membawa mu tenggelam begitu dalam hingga sebelah nafaspun tak akan pernah kamu rasakan. Hanya akan terdengar suara detak jantung mu sendiri, seperti kamu hidup dengan dirimu sendiri, rasanya tak akan pernah nyaman.
Bersembunyi. Itu yang saat ini pria itu lakukan. Bersembunyi dari hatinya. Iya, ini cerita tentang betapa fiktifnya pria ini mencintai seorang pelacur. Pria yang di kehidupan nyata tak akan pernah melakukan hal ini. Pria mana yang akan mencintai sosok pelacur? Tak ada. Mungkin akan ada bila kita hidup di kisah ini.
Dia berdiri, disamping jendela ruang VIP. Pemandangannya bagus. Taman hijau dengan banyak pasien yang sedang berjalan-jalan, melamun, berbincang dengan perawat, atau beberapa anak kecil yang sedang sakit namun masih bisa tertawa seperti dunia hanyalah sebuah tempat bermain karena semuanya akan kembali pada-Nya.
Menoleh ke handphonenya, melihat beberapa text pesan dari kekasihnya dan beberapa panggilan tak terjawab yang memang sengaja diabaikan. Lelaki ini bingung dengan situasinya. Baru sebentar gadisnya merasa bahagia dan saat ini dia merasakan kekecewaannya. Dan kekecewaan itu datang dari dirinya sendiri. Menyalahkan diri tak akan ada habisnya, kita hanya bisa menghadapinya dengan berani. Mudah berbicara, memang. Itulah guna saran, hanya berbicara tanpa melakukan sebuah aksi.
"Minum obat mu, ini sudah lewat makan makan siang." Kakaknya sedang berusaha membujuk adiknya untuk melakukan pengobatan sesuai dengan standarnya.
"Gua harus bagaimana? Gua udah buat dia kecewa." Ucapan pria itu sungguh lirih, seolah-olah dia tertarik dengan medan magnet yang sangat besar. Magnet itu menahan suaranya. Dia tak menangis tak bergeming, hanya saja dia sendiri tahu bahwa hatinya begitu hancur.
"Lu harus beritahu dia. Dia berhak tahu" Ucap lelaki berkacamata itu mencoba menenangkan adiknya.
"Apa yang harus gua katakan? Hai beib, gua sakit leukimia atau hai beib kamu harus cari pria lain karena aku akan mati, seperti itu"?
"Bodoh, lu ga akan mati semudah itu."
"Kalo gua ga akan mati, terus gua bakalan apa? Sekarat? Gua bakalan mati kak, gua udah merasakannya".
"Gua ga akan biarin lu mati begitu mudah. Gua masih pengen lu ada disini, jangan buat gue, jangan buat bokap, jangan buat temen-temen lu, tapi buat Zia".
Dia hanya berdiam mendengar kakaknya menyebut nama kekasihnya.
"Bilang gua ke Norwegia buat lanjut studi".
"Dia tahu lu belum lulus bego".
"Oh, okay. Gua lupa".
"Bilang gua ada urusan? Gua ga bisa ketemu dia kayak gini aja kak, gua butuh kesiapan. Begitu juga dia. Kita butuh kesiapan".
"Fine. Tapi gua mau bikin skenario terburuk, kalo keadaan lu bertambah parah gua terpaksa harus bilang ke dia. Ini buka sesuatu yang mudah buat lu rahasiain dari dia".
"Gua tau. Kalo gua makin parah, bilang ke dia. Oke gua terima".
******************
Sudah lebih dari tiga hari Archie tak mengabari Zia. Gadis itu rindu pada aromanya. Rindu akan segala hal yang membuat dia mampu tersenyum tanpa beban. Hanya ada kasih.
Sebuah mobil terparkir di depan rumah kecilnya. Kemudian keluar sosok pria berkacamata dengan tubuh tegap. Terlihat bijaksana. Terlihat pintar.
"Gio? Ada apa?" Tanya gadis cantik itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zia atau Senja
Teen FictionDia Zia atau Senja? Yang mana saja tak masalah. Asal orang yang sama. Orang yang aku cinta.