Perubahan

364 13 0
                                    

Sudah sebulan penuh ayahnya pergi. Meninggalkan beberapa kenangan dan secuil rasa bersalah dalam dirinya. Sebab sang wanita hanya menganggap bahwa dirinya adalah beban keluarga.

Sering dia bertanya untuk apa dia di lahirkan di keluarga yang mana ayahnya penyanyang sedangkan ibunya perusak segalanya. Pernah dia berpikir saat mengetahui ayahnya mengidap penyakit, ia sempat bergeming "Bagaimana bila aku mati saja?" Semua beban dipundak sudah sangat terasa, sesak di dada, meledak dari otak bagian kanan, kiri, dan tengah.

Rasa bersalah itu semakin menyelimuti dan semakin mencekik dirinya tak kala sang ayah tahu bahwa dia bekerja sebagai wanita malam. Wanita rendahan yang banyak orang bilang "Cuma modal ngangkang sudah bisa punya banyak uang." Atau banyak juga yang bilang "Dasar wanita pembawa sial." Atau belum lagi bila si pelanggan adalah wanita beristri "Dasar perusak rumah tangga." Dan mungkin saja bila sang pelanggan memiliki anak "Dasar wanita murahan." Hal itu adalah makanan rutin yang diterimanya.

Lalu, sang ayah meninggalkannya. Satu-satunya tempat berlabuh dari segala cemohan yang dia terima.

"Aku juga tak ingin menjadi wanita seperti itu, kamu tahu apa tentang aku? Aku melakukan pekerjaan hina ini untuk menghidupi keluarga ku, mengobati ayah ku. Aku di perbudak oleh secarik kertas bernama uang. Dimana ada uang disitu ada kekuasaan. Aku hanya berusaha mencari nafkah. Siapa yang ingin menjadi seperti ini? Hanya orang bodoh yang menganggap bahwa pekerjaan ini enak." Tak mungkin sang wanita mengucap umpatan-umpatan itu di depan orang yang sedang mengamuk padanya. Hanya matanya yang berbicara, namun bibirnya terkunci dengan rapat. Sangat rapat.

Kini perasaan bersalah itu semakin menumpuk. Tuhan melihat segalanya yang dia kerjakan, mungkin ini teguran dari Tuhan karena pekerjaan kotornya. Karena pekerjaan ini merenggut ayahnya.

Matahari masih berada di atas kepala. Sangat panas hari Rabu ini. Sang wanita berjalan menuju rumah megah dengan pagar berwarna putih dengan halaman seluas rumahnya, dengan banyak ART berlalu lalang atau sekedar saling menyapa. Para penjaga gerbang berpakaian warna hitam sedang asik mengobrol di pos mereka dengan menyeruput secangkir kopi hitam yang di yakini sebagai obat penghilang kantuk akibat aktivitas begadang semalam. Tak itu saja, ada dua orang pria yang bertugas untuk merawat tanaman dan bunga-bunga dihalaman itu. Kemudian sampailah ia di depan pintu berawarna coklat dengan ornamen emas yang sangat indah.

"Selamat siang madam." Ucap Zia yang sedang berdiri di depan pintu kepada seorang wanita yang di siang hari ini hanya menggunakan lingerie.
"Well hallo, selamat siang Senja. Masuklah. Hm, ku dengar ayah mu meninggal bulan lalu. Tapi kenapa kamu tidak mengabari ku?" Ucap wanita itu.
"Maaf sebelumnya madam Laine, saya tidak bermaksud untuk tidak menghormati Anda. Hanya saja, kepergian ayah sungguh diluar dugaan dan itu cukup membuat saya terkejut."
"Baiklah, tak apa. Ini uang belasungkawa saya." Disodorkannya sebuah amplop berwarna coklat. "Itu berisi 10 juta, saya rasa cukup untuk kebutuhan mu satu bulan. Saya ingin kamu libur dua hari dah kemudian kamu bisa bekerja kembali. Tapi ingat, jangan sampai kamu memperlihatkan wajah..."
"Saya akan berhenti dari pekerjaan ini madam. Tujuan saya kemari untuk mengatakannya. Ayah saya tahu tentang pekerjaan ini, dan ayah saya mengingkan saya lepas dari pekerjaan ini. Saya harap madam bisa terima dengan keputusan saya."
"Kamu yakin akan keluar? Kalau begitu kembalikan apa yang saya keluarkan. Dari awal kita bertemu. Ingat, saya yang mengobati ayah mu selama 6 bulan pertama kamu bekerja."
"Saya akan kembalikan uangnya. Berapa total yang harus saya kembalikan?"
"50 juta. Dan saya ingin kembali dalam waktu satu bulan. Pergi dari sini! Satpam!"

Pergilah Zia yang saat ini diselimuti rasa cemas. "50 juta? Satu bulan? Bagaimana caranya aku mendapatkan sebanyak itu? Aku harus bekerja sebagai pekerja komersial lagi. Baiklah ini yang terakhir saja. Setelah hutang ini lunas aku akan benar-benar pergi dari dunia ini."

Malam menunjukkan pukul 12 malam, lalu lintas masih saja ramai.  Zia yang sedang mencari pelanggan mengganti rutenya agar tidak ketahuan dengan antek-antek madam Laine.

"Malam ini gua pengen main cewek nih bro." Ucap laki-laki blesteran Belanda itu. "Sakit hati gua, bu Silfa nikah minggu depan. Man lu tau kan gua cinta sama dia."
"Iya gua tahu. Yauda sekarang cari cewek aja di pinggir jalan. Buat ngilangin rasa sebel lu." Usul Boby
"Gak ah, gua takut. Kalau dia penyakitan gimana?"
"Ada kond** lu tenang aja."
"Guys, barang itu cuma ngelindungin 99% doang 1% nya lu masih bisa ketularan." Ucap Archie.
"Yee pak dokter, kan angka untuk selamat masih lebih banyak hahaha."

Zia hari ini berdandan sangat terbuka. Pakaiannya membentuk lekuk badannya dan bagian dada agak turun ke bawah memanjakan setiap mata yang lewat. Tiba-tiba mobil berawarna hitam berhenti di depannya. Dibukannya kaca mobil itu.

"Hai, sendirian aja nih. Ikut kita aja gimana?" Ucap Boby
"Bertiga?" Zia kaget melihat isi mobil tersebut ada 3 orang dalam batinnya "Mampus aku."
"Engga cuma si supir doang, dia lagi galau nih. Bantuin ya."
"Hm, okey. Cuma punya waktu 2 jam ya. Aku harus cari yang lain soalnya."
"Oke siap deh."

Saat pintu mobil terbuka dan Zia masuk ke dalamnya sontak Archie melihatnya. Terkejut bukan main. Wanita yang dia suka, wanita yang dia cari selama ini adalah wanita yang seperti ini. Dia diam. Tak bergeming. Sibuk dengan pikirannya.

"Nama mu siapa?" Jones saat ini buka suara agar tidak terlalu canggung karena dirasa wanita di sampingnya ini seumuran dengannya. Atau mungkin setaun lebih tua darinya."
"Banyak yang panggil aku Senja. Panggil aja itu. Kamu?"
"Aku Jones, yang tadi godaain kamu itu Boby. Terus yang si pendiam di belakang itu Archie calon dokter muda."
"Oh, hebat ya udah muda jadi dokter. Kalau kamu ngapain?"
"Aku? Aku lagi sibuk buat tes masuk orkestra di Jepang. Aku violin. Kalau Boby gatau dah dia ngapain hahahaha"
"Yee, gila lu. Gua lagi sibuk ngurus bisnis."
"Oh ya bisnis apa?" Seru Zia.
"Bisnis kayak wedding organizing gitu. Ngurusin orang nikah. Terus ngurusin orang party."
"Cool"

Sampai mereka di sebuah apartemen kalangan elit. Mereka ber-4 turun dan Zia langsung saja menggaet tangan Jones. Archie yang sedari tadi hanya diam, dia kini mulai merasa marah. Lalu dia segera menarik tangan gadis itu dan pergi meninggalkan teman-temannya.

"Sorry Jones, gua pinjam bentar. Kata lu harus balik dalam 2 jam kan? Gimana kalau gua pake lu sampek jam 6 pagi? Gua bayar 3x lipat."
"Ha?"
Teman-teman Archie dibuat bingung dengan teman yang mereka anggap sangat pendiam itu. Boby dan Jones hanya saling tatap dan menggerakan bahunya seolah mereka sepakat berkata tidak tahu apa yang terjadi.

Malam itu adalah malam pertama Archie memegang tangan Zia. Dan malam itu adalah kali pertamanya Archie berani mengambil langkah untuk mulai mengambil sebuah perubahan dengan resiko yang cukup besar. Sedangkan Zia, hanya bingung tak mengerti ucapan laki-laki bertubuh atletis itu.

"Tunggu, lepas. Sakit!" Teriak Zia.
"Maaf." Jawab Archie sambil melepas tangannya.
"Mau mu apa? Aku harus mencari uang."
"Aku akan memberi kamu uang juga. Lalu apa bedanya dengan kamu pergi bersama teman-teman ku."
"Lalu apa urusan mu dengan pekerjaan ku?"
"Kamu benar-benar tidak mengingatku?"
"Maksud mu?"

Zia atau SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang