Lelaki berambut putih itu menghela nafas dengan dalam-dalam. Mendapati anaknya untuk pertama kali membantah apa yang ia katakan. Anak sulung yang selama ini diam meskipun, tahu bahwa dirinya sedang terluka. Berbekal takut dibilang anak durhaka, ia membiarkan dirinya direndung rasa bersalah. Padahal, tak selamanya apa yang diinginkan seorang anak itu mendapat dosa, hanya saja orangtua terkadang lebih keras kepala sehingga mengorbakan perasaan anaknya.
Beruntung mereka adalah keluarga yang kaya raya, materi dan tahta mereka dapatkan dan hanya wanita yang meninggalkan mereka.
Perkataan Gio pagi menjelang siang ini seperti cambukan untuk lelaki itu, anak bungsu kesayangannya menderita hal yang sama dengan mendiang istrinya. Ia takut akan kehilangan seseorang lagi, ia takut perasaan bersalah menyelimutinya, ia takut mengatakan bahwa dia tidak benar selama ini.
Air dari pelupuk matanya keluar, tanpa ada isakan ataupun suara tangisan. Dia menangis begitu dalam, hingga tak mampu bibirnya mengucap. Hanya ada pikiran buruk tentang apa yang akan terjadi nantinya. Dia merasa saat ini dia berada dalam lubang hitam yang tak seorangpun mampu memberikan bohlam lampu, untuk hanya sekedar membuatnya melihat.
Melihat jejak kakinya sendiri ataupun melihat mendiang istri dan anaknya. Kalut hatinya saat ini. Lidah Gio menyadarkannya bahwa dirinya telah menyakiti anaknya. Uang bergelimang tak menjamin adanya kasih dan cinta, hanya saja uang yang akan selalu berkuasa. Menutupi rasa kesepian dan kesendirian, tentunya hanya berlangsung sementara.
Lelaki itu beranjak dari atas ranjangnya dan segera berganti pakaian, tak lupa jas dokternya pun dia bawa. Tidak Archie. Dia tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kali.
Menuju pintu besar, dia melihat anak sulungnya berjalan dengan membawa tas yang cukup besar. Lelaki tua itu hanya berdiri di belakang anaknya dengan jarak yang cukup tak terlihat. Dia merasa malu. Malu mengatakan maaf ataupun terimakasih. Maaf telah menyakiti dan terimakasih untuk menyadarkan.
Saat dia rasa waktunya sudah cukup untuk tak bertemu dengan anaknya, ia membuka pintu itu kemudian tertegun mendapati seorang gadis cantik berambut panjang berdiri di depan pintunya.
"Halo, saya teman Archie. Apa Archie ada?" Sapa gadis itu dengan senyuman.
"Tidak, dia tidak ada." Balas lelaki tua itu dengan dingin dan tatapan kosong.
"Hm, baiklah. Oh, saya lupa maaf. Saya Zia. Anda....?"
"Saya ayah Archie."
"Senang bertemu dengan anda Pak. Saya termasuk karyawan bapak dirumah sakit." Ucap Zia dengan uluran tangan.
"Karyawan?"
"Iya pak, saya diperkerjakan oleh Archie." Mengetahui uluran tangannya tak disambut, Zia menurunkan kembali tangannya dengan perasaan yang gundah.
"Sebagai?"
"Maksud bapak? Oh, sebagai asisten pribadi. Saya benar-benar berterimakasih kepada bapak, karena mendidik Archie menjadi orang yang sangat baik."
"Apa kamu teman pelacur itu?" Ucap lelaki itu sambil melipat kedua tangannya mendekap di dada.
"Maaf?" Jawab Zia dengan tatapan berkaca-kaca karena mengingat keadaan Wina saat itu.
"Kamu teman wanita yang disukai anak saya, yang berkaca mata. Anak sulung saya!"
"Iya, iya benar saya temannya."
"Jadi kamu sama pelacurnya? Berapa yang kamu inginkan? Berapa? Saya akan berikan semua. Tapi tolong tinggalkan anak saya. Mana ada orangtua yang mau anaknya dekat dengan pelacur."
"Saya tidak mengingkan uang bapak."
"Jangan sungkan, sebutkan nominalnya, saya akan tuliskan di cek saya. Cepat!"
"Saya sudah bilang saya tidak menginginkan uang bapak."
"Kenapa? Kamu merasa rendah? Bukankah memang apa yang ada dipikiran mu hanya uang? Itulah kenapa kamu menjadi pelacur! Saat saya memberikan uang tanpa melepas sehelai kain di tubuh mu saja kamu merasa rendah, apa kamu tak merasa rendah bila telanjang di depan pelanggan mu?"
"Cukup pak." Ucap Zia lirih sambil menggigit bibir bawahnya.
"Kenapa? Cepat katakan berapa yang kamu mau."
"Gio benar, anda bukanlah seseorang yang bijak. Profesimu saja yang mulia, tapi lidah dan hati anda tak lebih baik dari seorang pelacur. Permisi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Zia atau Senja
Teen FictionDia Zia atau Senja? Yang mana saja tak masalah. Asal orang yang sama. Orang yang aku cinta.