1. tidak perlu tau

25.1K 3K 127
                                    

Seperti biasa setiap pulang sekolah aku akan duduk di gazebo sambil menunggu Jeno datang. Kutebak, dia sedang bermain futsal di lapangan dengan teman-temannya sekarang. Katanya kalau tidak main sebelum pulang rasanya ada yang kurang. Ah, menyusahkan saja.

Kalau boleh memilih, sebenarnya aku lebih suka pulang sendiri, entah itu dengan kendaraan umum atau ojek pun tidak masalah. Hanya saja, sebagai anak perempuan yang mempunyai saudara laki-laki yang bersekolah di tempat yang sama, orang tua kami pasti tidak akan mengizinkan hal itu terjadi. Kalau bisa hemat biaya, kenapa tidak? Begitu katanya.

Tepat pukul 5, Jeno akhirnya menampakkan batang hidungnya. Dia tidak sendiri. Ada tiga orang lagi di sekitarnya. Tapi tidak seperti Jeno yang jalan dengan santainya, dua orang temannya sedang memapah temannya yang satu lagi. Sebut saja mereka Haechan, Renjun dan Jaemin. Yang dipapah adalah yang terakhir kusebutkan tadi. Ada apa lagi ini?

"Jen, bawa kotak P3K nggak?" tanya Jeno. Mereka berempat kini ikut bergabung denganku di gazebo.

Aku mengangguk. "Bawa. Ini kenapa?Gara-gara main futsal?"

"Ya nggaklah!" kilah Jaemin cepat.

"Santai dong lo!"

"Iye, Bang. Maap."

Aku terkekeh. Kadang, Jeno memang suka berlebihan jika ada orang yang berbicara dengan nada tinggi padaku. Padahal aku sendiri tidak masalah. Toh, maksudnya tidak seperti itu.

"Jatoh dari pohon dia, Jen. Tadi bolanya nyangkut. Karena dia yang nendang, jadi ya dia yang harus ngambil. Tapi tau sendiri si Jaemin banyak gaya kayak orang cacingan. Ya udah, jadinya kepleset terus nyungsep," jelas Haechan.

"Gue gak kebanyakan gaya, ya! Tadi banyak semut yang gigit-gigit!"

"Ya udah, iya." Aku mengeluarkan kotak P3K yang kubawa sehari-hari dan menyodorkannya pada mereka.

Tapi bukannya membuka kotak itu, mereka berempat malah memandangiku.

"Kenapa?"

Jeno menggaruk pelipisnya. "Em, kan yang anak PMR lo, Jen. Bukan kita."

"Ya sebenarnya sih, gue mau-mau aja. Tapi kayaknya si Jaemin yang nggak mau kalo gue yang obatin."

"Ya ogahlah gue sama lo, Chan! Yang ada kaki gue infeksi."

"Dih! Lo kira gue bakteri? Kampret emang! Udah bagus nggak gue tinggal lo tadi."

"Heh, situ kalo nggak ikhlas nggak usah sekalian!"

"Dih, ngambek aja lo kek cewek."

"Ngom—"

"Bacot banget sih lo berdua dari tadi! Nyerocos mulu kek bebek!" sergah Renjun.

Haechan dan Jaemin kontan menghentikan perdebatan mereka, tapi masih saling mencibir juga ujung-ujungnya.

"Ya udah buruan, Jen. Habis itu kita pulang. Bunda udah nyariin tadi."

Tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Jujur, aku sangat ingin menolak. Maksudku, kalau harus mengobati Jaemin, berarti dia harus menggulung celananya, kan? Berarti ... Kulitnya ...

Aku tidak siap untuk ini! Kulit Jaemin yang terekspos itu tidak baik untuk kesehatanku!

"Hoy! Lama, deh!" Jeno menyenggolku.

Aku memejamkan mata sejenak. Ya sudah. Sepertinya aku tidak punya pilihan. Dari pada kita tidak pulang-pulang?

Aku berjongkok di depan Jaemin dan membuka kotakku.

Ugh, ini terlalu dekat. Ku harap tidak ada yang mendengar bunyi degup jantungku.

"Aw! Aduduh! Sssh ... pelan-pelan, Jen! Aduh! Jen, Jen! Aduh! Jen!"

"Woi berisik! Tahan dikit elah! Lanjut aja, Jen."

Aku tidak berani mendongak ke atas. Tapi sepertinya Haechan menutup mulut Jaemin karena aku tidak mendengar keluhan lagi setelahnya.

Aku menutup kotak P3K-ku lalu berdiri. Membelakangi mereka, aku menggeleng pelan dan menepuk kedua pipiku.

Parah! Ini parah!

"Owkay dech! Makasih banyak, Sis! Kita cabut duluan!" Haechan membantu Jaemin berdiri.

"Thanks, Jen." Jaemin tersenyum manis kemudian pergi bersama Haechan. Renjun mengekor di belakang mereka.

Aku membereskan barang-barangku lalu berdiri. Sayangnya Jeno masih belum beranjak sejak tadi. Dia malah memandangiku dengan tatapan yang tidak biasanya.

"Kenapa lagi? Katanya dicariin Bunda? Ayo pulang."

"Kuping lo merah," katanya.

Aku mengerjap. Kontan ku sembunyikan kedua telingaku di balik rambut. "Apaan, sih? Ada-ada aja!"

Kedua mata Jeno memicing. "Jen, lo nggak suk—"

"Eh, tadi Yena nitip sesuatu," potongku. Aku tidak mau membahas tentang hal ini dengan Jeno.

Bagai sebuah mantra, kata 'Yena' berhasil membuat Jeno lupa dengan pembahasan kami sebelumnya. "Apaan? Mana mana?"

"Nanti. Di rumah. Udah sore banget."

Jeno mendecak sebal. Ia mempercepat langkahnya ke tempat kita parkir tadi pagi.

"Dah?"

"Hm."

"Pegangan."

Seperti itu, kami meninggalkan lahan sekolah.

Sepanjang perjalanan Jeno tidak membahas apa-apa. Sepertinya dia benar-benar sudah lupa dan hanya ingin sampai ke rumah secepatnya. Ah, dasar laki-laki. Begitu berhubungan dengan pawangnya, mereka langsung lupa segalanya.

Tapi tidak apa-apa.

Yang seperti ini lebih baik adanya.

Jeno tidak perlu tau, kalau aku menyukai temannya.

Aoratos | JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang