4. perpustakaan

9.3K 2.2K 80
                                    

Kapan-kapan, aku akan berpikir dua bahkan tiga kali sebelum mengiyakan ajakan Somi. Anak itu, kadang membuatku berpikir ulang tentang makna seorang teman.

"Canggih banget, buku jaman sekarang ada kakinya."

Tanpa perlu melihat wajahnya, aku tau itu Haechan. Suaranya khas sekali, tidak ada samanya di sekolah ini. "Ini Jeni, Chan."

"Lah? Mba Jeje mukanya mana?"

"Heh gobs! Ya ketutup bukulah! Lo nggak liat itu buku numpuk kek piring kotor di iklan?"

Oh, ada Jaemin juga rupanya.

Aku tidak bisa banyak bergerak, pun ruang lingkup penglihatanku terbatas. Jadi aku hanya bisa bergerak sedikit demi sedikit agar tidak menabrak. "Misi ya, kalian. Mau ke perpus."

"Eh, tunggu tunggu!" cegat Jaemin. "Ini segini banyak kenapa bawa sendirian?"

"Tadi sama Somi."

"Terus Sominya mana?"

"Ke toilet."

"Kenapa nggak tungguin aja?"

"Kelamaan."

"Mesti banget kalian berdua yang bawa? Segitu nggak adanya cowok di kelas?"

"Jadwal piket, Jae."

"Ya masa dari sekian banyak yang piket hari ini nggak ada yang cowok? Ini ada satu, dua, tiga—"

"Halah kelamaan lo! Nanya-nanya mulu kek wartawan! Itu berat gobs! Bukannya bantuin juga."

Beberapa detik selanjutnya aku sudah bisa melihat dengan leluasa. Haechan mengambil separuh buku yang kubawa.

"Oh, iya. Sorry, lupa. Hehe." Jaemin menyengir. Ia juga mengambil separuhnya lagi.

"Eh! Nggak usah, nggak usah! Kalian masuk kelas aja! Nanti gurunya—"

"Udah nggak papa. Kita ijin ke toilet kok tadi. Lagian gue sama Haechan juga bosen di kelas."

"Tul! Kelamaan duduk nggak bagus buat kesehatan. Entar tepos."

Aku terkekeh. Ada-ada saja Haechan ini. Well, kalau mereka sudah bilang begitu ya apa boleh buat? Menolak rejeki itu tidak baik, kan?

"Perpus, kan? Caw!"

Kami bertiga berjalan beriringan menuju perpustakaan. Jaemin dan Haechan masing-masing membawa sepuluh buku dan aku membawa sisanya. Setelah ini aku harus berterima kasih pada mereka. Kalau Somi tidak muncul juga dan aku harus membawa semua buku ini ke perpustakaan sendirian, mungkin pelajaran selanjutnya aku sudah tidak bisa menulis lagi. Bagaimanapun juga 25 buku paket itu tidak ringan.

Sesampai di perpustakaan kami menyerahkan buku-buku itu pada petugas.

"Makasih banyak. Kalian balik sana."

"Owkay!" Haechan dan Jaemin kembali ke kelas mereka.

Aku menunggu hingga semua buku-buku itu selesai diperiksa untuk selanjutnya dikembalikan pada raknya.

Hah.

Lucu.

Bodohnya aku lupa kalau tempat buku-buku ini berada cukup tinggi—sangat tinggi—hingga aku harus menggunakan tangga agar bisa menyusunnya dengan baik di atas sana. Aku menengok ke kanan-kiri untuk memastikan tidak ada orang yang melihat—walau harusnya memang tidak ada karena sekarang masih jam pelajaran—karena aku takut rokku terangkat.

Ini Somi ke toilet rumahnya apa gimana? Kenapa sampai sekarang nggak balik-balik?

Mengatur posisi dengan nyaman, aku mulai menyelipkan buku itu satu per satu.

"Merah, ya?"

Aku sedikit terlonjak hingga beberapa buku di pangkuanku terjatuh. Tangganya bergoyang, menimbulkan bunyi yang cukup berisik. Aku nyaris terjun bebas ke bawah. Untungnya gerakan refleksku masih cukup baik, aku lekas berpegangan pada rak-rak buku ini hingga getaran tangganya berhenti.

"J-J-Jen? Uhm, you okay?"

Aku menoleh cepat ke sumber suara, mendapati Jaemin sedang memegangi tangga. Aku menunduk lagi, masih belum bisa berbicara. Jantungku masih berdegup dengan cepat, entah efek karena hampir jatuh, atau karena ada Jaemin di bawah sana. Yang mana pun sama saja, sama-sama tidak baik untuk kesehatan.

"S-s-sorry. Gue nggak maksud. Lo nggak apa-apa?"

Aku menyeka ujung mataku yang berair. Terserah kalian mau bilang aku berlebihan atau apa. Yang jelas, ini sangat menyeramkan. Kalau aku benar-benar jatuh tadi, entah bagaimana jadinya.

Aku menghela napas panjang. "I'm okay, Jae."

"Lo bisa turun? Biar gue yang balikin sisanya."

Aku mengangguk. Aku tidak mau lebih lama lagi di atas sini. Ini terakhir kalinya aku naik tangga untuk mengembalikan buku.

"Ja-jangan liat."

"Hah? Oh, ok-oke, oke." Kedua tangan Jaemin masih memegangi tangga. Tapi kali ini ia menutup mata dan menunduk.

Setelah aku turun, gantian Jaemin yang naik dan aku yang memegang tangga. Buku-buku yang sempat jatuh tadi juga kuberikan padanya.

Ngomong-ngomong, apa tadi ada buku yang menimpanya?

"Jen," panggilnya.

"Hm?"

"Gue bercanda, kok. Gue nggak liat apa-apa."

Entah dia bohong atau tidak, tapi itu memang merah. "Iya."

"Jen,"

"Hm?"

"Sekali lagi sorry, ya?"

"Iya."

Kemudian keadaan kembali hening seperti sedia kala. Baik aku maupun Jaemin sudah tidak bersuara. Aku ingin bertanya kenapa dia kembali ke sini? Tapi bibirku rasanya kelu tak mau berbicara.

"Jen," panggilnya untuk kesekiankalinya.

"Hm?"

"Kontak gue, lo yang kasih ke Heejin?"

Aku mendongak, mendapati Jaemin sedang melihat ke arahku juga. Spontan aku mengalihkan pandanganku pada apa pun selain Jaemin. "Dia bilang apa?"

"Nggak ada. Pas gue tanya dapat dari mana, dia cuma bilang dari temen."

"Temannya Heejin banyak."

"Kan gue nggak tau. Pas dia bilang gitu yang terlintas di kepala gue cuma lo."

Aku menggigit bibir bawahku, bingung harus bereaksi seperti apa. Aku tidak tau yang tadi itu patut dibanggakan atau hanya sekadar basa-basi saja.

"Terus, kalian gimana?" Hah. Lucu. Kenapa juga aku bertanya?

"Nggak gimana-gimana. Cuma sapa-sapaan aja. Ngomong-ngomong, lo belum jawab pertanyaan gue." Jaemin turun dari tangga.

"Em, iya."

"Kenapa?"

"Nggak boleh?"

"Boleh, sih."

"Terus?"

"Nggak. Cuma deretan yang nge-chat gue makin banyak. Gue jadi pusing. Banyak chat yang tenggelam soalnya."

Aku mengangguk pelan. "Em, sorry, i guess?"

Jaemin mengernyit. Ia kemudian tertawa. Dan, menepuk puncak kepalaku dua kali. "Ada-ada aja. Dah, ya. Gue balik."

Setelah itu, Jaemin perlahan menghilang dari jarak pandangku. Dia tidak pernah tau, perilaku sesederhana itu berarti banyak untukku. Mungkin, aku akan mempertimbangkan banyak hal sebelum mencuci rambutku.










"Em, cie?"

Oh, Somi akhirnya muncul.

Aoratos | JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang